Nathaniel Alvaro, pewaris muda salah satu perusahaan terbesar di negeri ini, hidup dalam bayang-bayang ekspektasi sang ibu yang keras: menikah sebelum usia 30, atau kehilangan posisinya. Saat tekanan datang dari segala arah, ia justru menemukan ketenangan di tempat yang tak terduga, seorang gadis pendiam yang bekerja di rumahnya, Clarissa.
Clarissa tampak sederhana, pemalu, dan penuh syukur. Diam-diam, Nathan membiayai kuliahnya, dan perlahan tumbuh perasaan yang tak bisa ia pungkiri. Tapi hidup Nathan tak pernah semudah itu. Ibunya memiliki rencana sendiri: menjodohkannya dengan Celestine Aurellia, anak dari sahabat lamanya sekaligus putri orang terkaya di Asia.
Celeste, seorang wanita muda yang berisik dan suka ikut campur tinggal bersama mereka. Kepribadiannya yang suka ikut campur membuat Nathan merasa muak... hingga Celeste justru menjadi alasan Clarissa dan Nathan bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nitzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Pelajaran dari Seorang Celeste
Nathan mengurung diri di kamar selama dua hari.
Ia tidak biasanya seperti ini. Tapi penolakan dari Clarissa terasa... seperti ditampar kenyataan. Bahwa cinta saja tak cukup. Bahwa tembok yang bernama status sosial masih tebal dan dingin seperti dulu.
Dan di tengah kesendiriannya, muncullah orang yang tak ia sangka akan peduli. Celeste.
Tok tok
suara ketukan di pintu kamarnya ringan.
Nathan mendengus. “Masuk aja, nggak dikunci.”
Celeste menyembul dengan semangkuk es krim cokelat dan ekspresi ceria yang agak dipaksakan.
“Kamu perlu endorfin, Tuan Alvaro,” katanya, mengulurkan mangkuk ke Nathan. “Senyum dikit gitu, kek.”
Nathan hanya menghela napas. “Kamu nggak ngerti.”
Celeste duduk di pinggir tempat tidur. “Aku ngerti. Kamu habis ditolak Clarissa, kan?”
Nathan langsung menoleh tajam. “Kamu nguping?!”
Celeste mengangkat alis. “Please. Aku lihat kalian di restoran. Dari cara kamu duduk, jelas kamu baru habis ditolak mentah-mentah. Dan sekarang kamu murung kayak janda ditinggal nikah mantan.”
Nathan menatap kosong. “Dia bilang dia nggak cukup pantas buatku. Karena dia cuma pembantu.”
Celeste mendecak. “Ugh, perempuan satu itu. Kadang aku pengin geplak jidatnya.”
Nathan mengangkat alis.
Celeste menghela napas, kali ini pelan dan tulus. “Nathan... dia bukan nolak kamu karena nggak suka. Tapi karena dia gak percaya diri. Dunia udah lama banget bilang ke dia kalau dia cuma ‘pelengkap’, bukan pemeran utama.”
Nathan menunduk. “Terus aku harus apa?”
“Pertama-tama,” Celeste berdiri, “kamu harus tahu: dia nggak akan percaya kamu kalau dia belum percaya dirinya sendiri. Dan itu PR yang besar.”
*
Keesokan harinya, Clarissa menemukan dirinya ditarik paksa ke kamar Celeste.
“Ada apa, Mbak Celeste?” tanya Clarissa gugup, menatap berbagai alat makeup di meja rias.
“Kita mulai makeover hari ini,” kata Celeste sambil membuka palet eyeshadow. “Biar kamu tahu kamu tuh cantik.”
Clarissa menolak halus. “Aku nggak butuh riasan.”
Celeste menatapnya, lembut tapi tegas. “Kamu nggak butuh riasan untuk cantik. Tapi kamu butuh percaya bahwa kamu pantas dilihat. Ini bukan soal Nathan. Ini soal kamu menghargai diri kamu sendiri.”
Clarissa masih ragu, tapi akhirnya duduk juga di kursi rias.
Dan dimulailah sesi pertama mereka. Celeste mengajarkan cara memulas lip tint dengan ringan, membuat alis tanpa mencolok, dan menyisir rambut hingga tampak rapi namun tetap sederhana.
“Lihat cermin,” kata Celeste setelah selesai.
Clarissa menatap bayangannya. Dia tampak... segar. Cantik, tapi tidak berlebihan. Matanya berbinar sedikit, bibirnya berwarna mawar muda, dan rambutnya tergerai manis.
Celeste tersenyum kecil. “Itu kamu. Versi yang lebih percaya diri. Kamu bisa jadi apapun yang kamu mau. Termasuk... berdiri di samping Nathan.”
Clarissa menunduk, matanya mulai berkaca-kaca.
“Makasih... Mbak Celeste.”
“Panggil aku Celeste aja. Dan aku bukan lawanmu, Clar. Aku di sini buat bantu kamu... kalau kamu mau.”
"Iya Celeste.. tapi lipstik ini mahal untuk orang sepertiku.. Kamu gk jijik lipdtik itu bekasku?"
Caleste Menjawab "Kenapa? apa kamu jijik pakai lipstik bekas aku? maaf..."
Clarisa segera menggeleng "Tentu tidak!.. aku hanya berterima kasih Celeste".
"Sama - sama. nanti kita minta Nathan naikin gaji mu untuk membli skincare!" Semangat Celeste.
*
Di luar kamar, Nathan mendengar semuanya. Tak sengaja, tentu saja. Tapi untuk pertama kalinya... ia melihat sisi Celeste yang tak terduga, bukan sekadar wanita galak atau sok tahu, tapi seseorang yang ternyata berusaha memperbaiki luka orang lain.
Dan entah kenapa, dada Nathan terasa hangat.