Setelah kepergian istrinya, Hanan Ramahendra menjadi pribadi yang tertutup dan dingin. Hidupnya hanya tentang dirinya dan putrinya. Hingga suatu ketika terusik dengan keberadaan seorang Naima Nahla, pribadi yang begitu sederhana, mampu menggetarkan hatinya hingga kembali terucap kata cinta.
"Berapa uang yang harus aku bayar untuk mengganti waktumu?" Hanan Ramahendra.
"Maaf, ini bukan soal uang, tapi bentuk tanggung jawab, saya tidak bisa." Naima Nahla
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Sarapan pagi ini tidak sehangat seperti biasanya. Hanya didominasi celotehan Icha yang ditanggapi ayahnya, dan ditimpali Nahla bila mengarah padanya. Karena hari ini Icha tidak mau bareng ayahnya, perempuan itu yang akhirnya mengantar putrinya lebih dulu.
"Hati-hati bawa motornya, setelah dari sekolah langsung pulang!" pesan Hanan pada istrinya.
"Iya Mas," jawab Nahla seadanya.
Icha sendiri kegirangan ketika pagi ini berangkat naik motor bersama ibunya. Sesuatu yang langka, dan baru pertama kali ini tentunya.
"Ma, besok Icha berangkat bareng mama lagi ya?" pinta gadis kecil itu setelah sampai di sekolahan.
"Boleh, selamat belajar sayang!" ucap Nahla melambaikan tanganya setelah gadis kecil itu menyerukan salam.
Usai mengantar Icha, Nahla langsung ke sekolahannya. Seperti biasa mengajar sampai menjelang sore. Perempuan itu niat hati pulang mampir ke rumah ibunya, tetapi teringat Icha di rumah pasti sudah menunggu. Nahla pun memutuskan untuk pulang saja.
"Alhamdulillah ... Ibu sudah pulang, saya mau izin pulang Bu, Icha sedang tidur," lapor simbok menyambut kepulangan majikannya.
"Owh ... iya Mbok, terima kasih untuk hari ini," ucap Nahla tersenyum lembut.
Icha tidur, tumben jam segini tidur? Mungkin gadis kecil itu kecapean karena siang tadi ada les renang. Nahla pun membiarkan saja putrinya terlelap. Hanya menengok ke kamar lalu keluar lagi menutup pintunya pelan.
Perempuan itu lebih dulu bersih diri karena merasa penat. Cukup santai sembari menanti sore. Gamang, niat hati ingin memasak tetapi takut juga suaminya nanti pulang telat. Akan mubadzir juga kalau tidak dimakan lagi.
Nahla kembali ke kamar, sibuk berselancar di dunia maya. Lama tak bersua dan nimbrung dalam grub semenjak sudah menikah. Tiba-tiba netranya terpana dengan lemari kokoh yang terletak di sebelah lemari suaminya. Penasaran, tetapi jujur takut karena Icha bahkan sudah memberitahukan isinya.
Rasa penasaran yang tak bisa dibendung membuat Nahla mendekat. Mencoba membukanya, tetapi sayang dikunci. Perempuan itu tak kehabisan akal, menarik loker di nakas dan ternyata menemukan beberapa kunci di sana. Nahla mencoba membukanya satu persatu dengan kunci yang ada. Cukup lama hingga menemukan yang pas.
Perempuan itu membuka perlahan, deretan pakaian perempuan dan juga pernak perniknya tersimpan rapih di sana. Foto pernikahan, foto mereka berdua, album keluarga, semua tersimpan rapih sempurna. Sudah bisa digambarkan berapa mereka dulu sangat bahagia.
"Kalian benar-benar pasangan yang serasi," batin Nahla menatap figura keduanya.
Cemburu? Bolehkah Nahla merasa cemburu dengan orang yang bahkan sudah tidak ada di dunia. Beruntung sekali perempuan yang dicintainya begitu dalam. Hanya saja, bolehkah Nahla merasa kecewa dan sakit mengetahui ini semua. Sekian bulan jalan bersamanya, ternyata hatinya masih terpaut dengan orang lain.
Nahla menaruhnya kembali di tempatnya. Sepertinya dia mulai benar-benar paham akan sikap Mas Hanan yang bahkan seakan tidak begitu peduli dengannya. Sadar tidak mungkin bersaing dengan orang yang bahkan sudah tiada, walau perasaan cinta suaminya mungkin begitu kuat. Sampai tidur pagi hari menyebut namanya tanpa perasaan.
Perempuan itu menghela napas sepenuh dada. Rasanya nyesek, tetapi bisa apa sih. Haruskah Nahla meminta penjelasan? Atau bahkan mengemis cinta dari suaminya agar mau berbagi perasaannya sedikit saja.
Perasaannya begitu tidak nyaman sejak sore itu. Menemani Icha belajar pun sedikit tidak fokus.
"Icha mau makan sama apa? Biar mama buatin? Sepertinya papa lembur lagi jadi Icha makan duluan ya?" tawar Nahla tetap tidak tega membiarkan Icha begitu saja. Dia marah sama ayahnya, tidak seharusnya mengikut sertakan anaknya.
"Nuget sama saus aja Ma, buatin ya," pinta gadis kecil itu bermanja-manja seperti biasanya.
"Iya," jawab Nahla bergegas ke dapur.
Icha ikut nimbrung sembari menanyakan banyak hal. Nahla pun dengan sabar menanggapinya walau hatinya sedang kesal. Suara deru mesin mobil terdengar memasuki halaman. Icha yang mendengar itu otomatis kegirangan.
"Hore papa pulang! Papa pulang Ma!" seru Icha menyambut kepulangan ayahnya.
Gadis kecil itu langsung berlari kecil menyambut ayahnya pulang di depan pintu. Nahla yang biasanya selalu menyambutnya dengan senyuman, kali ini absen dan tetap sibuk di dapur.
"Papa!" panggil gadis kecil itu lompat kegirangan.
"Eh, Icha belum tidur?" sahut Hanan langsung mengangkat putrinya dengan senyuman walau lelah.
"Belum, mau makan dulu, mama lagi goreng nuget," jawab gadis itu merosot dari gendongan ayahnya.
Hanan mengikuti langkah Icha ke dapur. Terlihat Nahla tengah menyiapkan makanan untuk Icha.
"Sudah pulang Mas?" tanya Nahla datar.
"Iya, baru saja sampai. Masak apa?"
"Belum, takutnya nanti udah capek-capek masak nggak dimakan lagi, kan sayang waktu dan tenaganya," sahut Nahla mulai beda. Hanan pun terdiam, mungkin memang kemarin salahnya tidak memberi kabar, jadi wajar saja kalau malam ini Nahla tidak menyiapkan makan malam untuknya.
"Owh ya nggak pa-pa, aku juga belum begitu lapar," ujarnya santai. Bisa delivery juga kalau lapar.
Nahla sibuk menemani Icha makan, sedang Hanan masuk ke kamar mandi. Biasanya Nahla akan dengan ramah mengikutinya lalu menyiapkan ganti. Hanan pun merasa ada sedikit yang berbeda, mungkin nanti setelah selesai mandi disiapkan, pikir pria itu. Namun, nihil, hingga pria itu selesai mandi, tak ada pakaian ganti tersedia untuknya.
Hanan pun sedikit tak masalah, walau merasa ada yang kurang. Beranjak dari kamar mencari istrinya yang ternyata sedang di kamar Icha. Terlihat tengah berdongeng cerita menidurkan putrinya. Hanan pikir, Nahla akan kembali ke kamar, tetapi hingga larut perempuan itu tak kunjung kembali, membuat Hanan yang sudah menunggu menyusulnya.
Begitu pintu kamar Icha terbuka, Nahla yang sebenarnya malas pindah kamar pun pura-pura tertidur saja. Hatinya masih sedikit kacau, jelas tidak nyaman kalau tiba-tiba pria itu mendekat meminta untuk ditemani sebagai istri sesungguhnya.
"Dek, sudah tidur? Ayo pindah!" bisik pria itu mengecup pipinya. Sumpah demi apa Nahla kesal mendengar suara beratnya. Ia tetap pura-pura tertidur, hatinya terlanjur dibuat kecewa.
"Dek, bangun, ayo pindah!" Tak menyerah, pria itu kembali mengusik istrinya.
Nahla tidak menyahut, membuat Hanan nekat menggendongnya. Setengah perjalanan Nahla membuka matanya, dia kesal, sangat kesal bahkan.
"Turunin Mas, aku bisa jalan sendiri," ujar perempuan itu jelas tak mau digendong.
"Maaf, aku terpaksa angkat kamu, takutnya di sana ganggu tidur Icha."
"Cuma tidur masak ganggu, biasanya juga gitu," sahut Nahla dingin. Berlalu begitu saja mendahului Hanan.
Pria itu ikut masuk ke kamar, lalu menguncinya rapat-rapat. Menyusul istrinya yang sudah merebah ke ranjang dengan posisi memunggunginya.
"Dek, hijabnya nggak dilepas?" bisik pria itu mendekap manja dari belakang. Membuat Nahla tiba-tiba risih dan seperti ingin melempar tangannya saja.
"Maaf Mas, aku capek," tolak Nahla menyingkirkan tangan Hanan yang nangkring di pinggangnya, lalu sedikit memberi jarak. Sungguh Nahla merasa berdosa melakukan ini, tetapi hatinya yang sedang kesal, dan pria itu seakan tidak pernah mengerti.