Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.
Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.
Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.
Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jaga Dia Untukku
Mata-mata utama yang ditempatkan di Kediaman Xuan. Nafasnya nyaris tak teratur. Tapi ia tetap bersujud dalam, menahan napasnya sendiri agar suara tetap stabil.
“Ada insiden, Yang Mulia.
Selir Ji’an menjatuhkan hukuman 100 rotan... kepada Dayang Yu Zhen.
Baru saja terjadi—karena memecahkan hadiah guci Jingdezhen.”
Lian He menegang. Wajahnya berubah. Tapi ia belum bicara. Menunggu Tuannya.
Jing Rui berdiri diam. Hanya napasnya yang sedikit berubah.
Satu detik.
Dua.
Lalu tangannya bergerak pelan, mencabut kancing tali jubah yang menggantung di pundak kirinya.
“Kita ke mana, Tuan?” tanya Lian He pelan.
“Kediaman Ibu,” jawab Jing Rui singkat.
“Berpamitan. Itu wajar sebelum perjalanan panjang.”
Tapi matanya tak menatap siapa pun. Hanya lurus ke depan—arah istana dalam.
Langkahnya mulai cepat. Suara sepatunya menyentuh lantai batu dengan ketukan yang padat dan beraturan.
Dan tanpa perlu berkata lebih, Lian He tahu:
Seseorang... baru saja menyulut sesuatu yang akan sulit dipadamkan.
---
Semua terasa hening.
Tak ada lagi suara bentakan. Tak ada tawa pahit. Bahkan bisikan pun lenyap.
Zhen masih berdiri di tengah serpihan porselen yang kini terlihat seperti bunga tajam yang bermekaran di lantai marmer. Tapi lututnya... mulai gemetar.
Dan ketika ia mencoba berdiri tegak sepenuhnya—baru ia sadar.
Ada sesuatu yang menyentuh telapak tangannya. Hangat. Licin.
Darah.
Bukan dari luka lama di lengannya—tapi dari telapak tangan kirinya,
yang tanpa sadar tersayat pecahan guci saat ia terjatuh.
Ia menunduk pelan, melihat ujung-ujung jari-jarinya memerah dialiri darah, dan beberapa tetesan menetes ke ubin putih.
Sejak kapan...?
Kenapa... tidak terasa tadi...?
Sebelum ia sempat goyah, seseorang menyentuh bahunya.
“Tenang saja.”
Suara itu... rendah, dewasa, dan lembut. Tapi bukan seperti suara pelayan lain.
Bukan suara atasan. Bukan perintah.
Tangan itu—hangat, namun penuh wibawa—mengangkatnya perlahan.
Zhen mendongak. Selir Xuan berdiri di sana.
Ia tidak bicara banyak. Hanya memegangi lengan Zhen dan membantunya berdiri, pelan, seperti seorang ibu yang sedang membantu anaknya pulang dari jatuh pertama.
Zhen ingin berkata terima kasih, atau saya tidak apa-apa.
Tapi suaranya tak keluar.
Dan Xuan hanya berkata lirih, hanya untuknya, bukan untuk orang lain:
“Berdirilah perlahan, istirahat. Tidak perlu bicara sekarang.”
Tidak ada ekspresi jijik, meski darah Zhen sempat menyentuh sisi jubah lembut Xuan.
Tidak ada nada muak karena kekacauan.
Hanya tenang. Tegas. Dan... penuh pengertian.
Zhen terdiam.
Begini rasanya... dilindungi?
Apa begini... rasanya punya ibu di tempat asing?
Ia tidak tahu—bahwa sebenarnya Xuan membelanya karena salah paham.
Bahwa ia dikira menyelamatkan nama Xuan dengan mengorbankan diri.
Zhen kira... memang Xuan sesayang itu pada pelayannya.
Padahal aku baru dikenalnya... dan aku sudah dibela seperti ini...
Ia tidak tahu harus merasa apa. Tapi anehnya, gejala stress seperti perutnya yang tadi mual kini tenang.
Dadanya yang sesak... perlahan reda.
Dan di saat Xuan hendak melepaskan pegangan lembutnya—
suara langkah berat datang dari luar lorong.
Terlalu mantap untuk pelayan.
Terlalu tenang untuk prajurit.
Langkah yang... terdengar seperti tergesa-gesa padahal katanya hanya ingin berpamitan.
Pangeran Keempat. Jing Rui.
Berpakaian lengkap dengan jubah biru safir untuk perjalanan jauh,
sabuk emas tipis di pinggang, rambut ditata ringkas, tapi tetap rapi dan berwibawa.
Semua pelayan langsung berlutut. Termasuk Zhen—yang baru saja akan dibawa mundur oleh Xuan.
Tapi ia tak sempat menunduk terlalu jauh.
Karena Jing Rui sudah berhenti… tepat di depannya.
Matanya langsung menatap telapak tangan Zhen yang berlumur darah.
Dan matanya melebar.
“Apa yang terjadi...?”
Nadanya tidak pelan. Tidak keras. Tapi terlalu cepat. Terlalu lepas dari kendali biasanya.
Lian He yang baru tiba di belakangnya segera menunduk panik.
“Tuan, itu... bukan hukuman. Sebenarnya—”
Tapi Jing Rui sudah menatap ibunya. Langsung. Dalam.
“Ibu. Dia... baru saja dihukum?”
Xuan tidak menjawab langsung.
Tapi dalam detik itu... ia tahu.
Putraku... sudah jatuh terlalu dalam.
Zhen yang berdiri di antara mereka, hanya bisa mematung. Ia mencoba menyembunyikan lukanya, tapi sudah terlambat.
Jing Rui menatapnya.
Tatapan yang biasa ia berikan pada prajurit yang kembali dari medan perang.
Pada rakyat yang menghadap pengadilan.
Tapi sekarang... mata itu penuh rasa bersalah. Dan takut.
Bukan takut pada orang. Tapi takut kehilangan.
“Kau... tidak apa-apa?”
Zhen mengangguk pelan, berusaha tetap sopan.
“Saya hanya... terkena pecahan.”
Suara itu pelan. Lembut. Tapi bagi Jing Rui...
itu lebih menusuk daripada teriakan.
Xuan mengamati anaknya diam-diam.
Ia melihat sesuatu di wajah itu—yang belum pernah ia lihat saat putranya bicara pada wanita mana pun sebelumnya.
Jika aku saja... bisa terpikat oleh kebodohan, ah tidak, pengorbanan gadis ini,
maka bagaimana putraku... yang jauh lebih menghargai ketulusan?
Namun... ia juga melihat jubah Jing Rui.
Sepatunya yang sudah dilapisi pelindung perjalanan.
Dan peta perjalanan di tangan Lian He.
Dia akan pergi.
Setidaknya... itu memberi jarak.
Xuan menarik napas pelan.
“Kau datang untuk berpamitan, bukan?” tanyanya lembut, seolah ingin mengembalikan irama.
Jing Rui menoleh perlahan. Lalu mengangguk.
“Ya. Tapi... sebelum pergi, aku ingin memastikan…
bahwa dia tetap hidup saat aku kembali.”
Kalimat itu seakan dilempar dengan nada datar. Tapi terlalu jujur untuk tidak terasa.
Semua orang menunduk lebih dalam.
Zhen masih diam. Tapi jantungnya berdetak begitu kencang, hingga seakan-akan memantul di dinding ruang itu.
Setelah semua yang terjadi… suasana lorong terasa sesak.
Jing Rui berdiri setengah membelakangi Zhen. Tapi matanya sempat terhenti sebentar di telapak tangan yang masih berdarah itu—dan entah bagaimana, ia tak bisa menahan sesuatu yang muncul begitu saja dari dalam dadanya.
Suaranya pelan, namun tajam—langsung menembus ruang.
“Ibu...”
Xuan mendongak pada putranya yang cukup jauh lebih tinggi darinya itu. Panggilan itu tidak sering terdengar dengan nada seperti itu.
Dan belum sempat ia bertanya, Jing Rui menambahkan—seolah tanpa pikir panjang, tanpa sadar ia mengatakannya:
“Tolong jaga dia... untukku.”
Xuan tertegun.
Lian He—yang biasanya piawai menyembunyikan ekspresi—ikut menunduk dalam, seolah mencari tempat berlindung dari kalimat itu.
Beberapa dayang yang masih berdiri di sekitar tiang belakang… menahan napas. Salah satu dari mereka menggenggam lengan baju rekannya diam-diam, seakan ingin memastikan: barusan… itu suara Pangeran Keempat, bukan?
Zhen... hanya bisa mematung.
Menjaga diriku untukmu? Apa… maksudnya... untukmu...?
Ia ingin menoleh, ingin menatap wajah laki-laki itu dan bertanya—apa artinya semua ini?
Tapi... Selir Xuan berdiri tepat di sebelahnya.
Ia hanya bisa menunduk dalam-dalam, tangan yang terluka kini tersembunyi di balik lengan bajunya.
Hatinya tak karuan, tapi mulutnya tak bisa bicara.
Kenapa... berpamitan?
Ia... mau pergi ke mana?
Dan kenapa... kalimat itu terdengar seperti titip terakhir...?
Tapi ia hanya dayang.
Dan di istana, dayang tidak bertanya pada pangeran.