Jiwa seorang ilmuwan dunia modern terjebak pada tubuh pemuda miskin di dunia para Abadi. Ia berusaha mencapai puncak keabadian untuk kembali ke bumi. Akankah takdir mendukungnya untuk kembali ke bumi…. atau justru menaklukkan surgawi?
**
Mengisahkan perjalanan Chen Lian atau Xu Yin mencapai Puncak Keabadian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almeira Seika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2—Tragedi (2)
Chen Lian gembira mendengar itu, ia segera masuk ke dalam. Disambut oleh hangatnya senyuman Lu Rei yang tengah terbaring di tempat tidur rumah sakit.
Suara mesin ICU berbunyi...
TUT… TUT… TUT…
Seperti musik yang terus memenuhi ruangan. Lu Rei menatap mata sahabatnya, dan ia mulai berbicara pelan, "Chen... tidak, maksudku Lian'er."
"Tidak perlu bicara sekarang. Kau harus sembuh dulu, baru bicara sama aku." Sahut Chen Lian.
Lu Rei tertawa kecil, dan melanjutkan ucapannya. "Hadiah yang ingin kuberikan pada kalian... adalah hadiah yang tak pernah kalian bayangkan."
"Sssssttt... bicarakan itu nanti." Sela Chen Lian lagi.
Lu Rei tertawa kecil, lalu berkata, "Aku sudah menyiapkannya beberapa hari yang lalu. Tiga buah kolumbarium, di pusat kota. Kau kanan, Fu Heng kiri sementara aku di tengah."
"Persahabatan kita harus abadi. Bahkan pemakaman pun, harus berdampingan. Selamanya." Imbuh Lu Rei.
Air mata Chen Lian merembes hebat di pipi. Lu Rei tersenyum, dan mengeluarkan kata-kata manis. "Kenapa menangis? Bukan berarti aku mati sekarang. Tapi... Fu Heng sudah ada di surga, menunggu kita. Berjanjilah padaku, bahwa saat kau tua nanti akan mengirim abumu di sana."
Chen Lian yang tadinya menangis, ia tersenyum, "Bagaimana aku mengirim abuku sendiri jika aku mati?"
"Astaga... Kau ini bodoh apa gimana? Mintalah anak, istri, atau cucumu untuk mengirim abumu." Balas Lu Rei sambil tertawa.
Chen Lian membuka mulutnya, "Haahhh? Jadi maksudmu, aku harus bergentayangan dulu dan meminta mereka menaruh abuku di sana?"
"Astaga... Kau ini jenius kalau soal fisika kuantum, tapi bodoh dalam hal logika," keluh Lu Rei.
Hari itu, mereka bercanda seharian seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
Dua tahun setelah tragedi itu terjadi.
Langit Beijing berwarna abu-abu. Angin musim semi berhembus pelan. Di sisi jalan memperlihatkan layar hologram raksasa yang menayangkan pengumuman eksklusif.
"Pemenang Nobel Fisika tahun ini adalah Chen Lian dari High School Nasional Beijing, atas penemuannya dalam teknologi partikel stabil yang mampu menekan peluruhan kuantum!"
Lautan manusia yang duduk di sekeliling auditorium megah, segera bertepuk tangan. Chen Lian, mendesah pelan kemudian maju kedepan.
Raut wajahnya tanpa ekspresi, sementara pembawa acara tersenyum ke arahnya dan memegang sebuah piala untuk diberikan pada Chen Lian.
Chen Lian menerima piala itu dan membungkuk, kemudian berkata pada microfon, "Terima kasih." Ucapannya singkat, padat, dan dingin.
Ia tak terlalu peduli dengan pujian yang melambung-lambung. Semua itu hanya angka dan teori. Dunia baginya, adalah tempat penuh ketidakpastian yang harus dipecahkan dengan logika dan data.
Orang-orang hanya bertepuk tangan.
Sementara itu, Chen Lian segera turun dari panggung, kemudian menatap jam tangannya. Keningnya mengerut. Sudah hampir pukul 9 malam, tetapi acara ini tak kunjung usai.
Chen Lian berdecak, "Kenapa lama sekali?"
"Aku ingin segera istirahat di rumah." Keluhnya.
Sebelum acara selesai, Chen Lian meninggalkan kursinya dan berjalan menuju lift. Sudah 3 hari ia tidak tidur, demi menyempurnakan penemuannya itu.
KLING!
Ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari seseorang.
"Kau menang nobel barusan? Wah, selamat ya! By the way, belikan makanan. Di rumah tidak ada makanan."
Chen Lian memberikan ekspresi jijik saat membaca pesan itu, "Dasar tidak tahu malu."
Setelah melewati berpuluh-puluh lantai, akhirnya Chen Lian sampai di trotoar dan naik taksi. Beberapa menit kemudian, taksi itu berhenti di depan bangunan elit, ia segera menuju lift dan masuk ke dalam unit.
Di rumahnya hanya ada Chen Hu dengan rambut berantakan, kumis yang tak terawat dan usianya sekarang sekitar 26 tahun, ia sedang bermain game di dalam kamar Chen Lian.
"Seperti biasa," keluh Chen Lian sembari menatap pamannya.
"Mana makanannya?" tanya Chen Hu.
"Kau tidak membeli makanan?" tanya Chen Hu lagi.
Chen Lian menghela nafas dan menatap pamannya dengan dingin, ia hanya bisa mengeluh dalam hati. "Paman ini selalu menganggur, pilih-pilih kerja dan bermalas-malasan. Sungguh manusia tak berguna!"
"Aku mau istirahat, pergilah," bentak Chen Lian.
"Kakak ipar dan Kakak Chen Luo pasti pulang larut malam, aku sangat lapar. Bahan makanan habis, jadi aku tidak masak." keluh Chen Zhong.
"Kalau lapar, itu makan! Kalau tidak punya uang, itu kerja! Jangan bermain game terus!" tegur Chen Lian.
Chen Hu tidak peduli, dan melanjutkan bermain game.
Malam itu, Chen Lian memutuskan untuk mandi, dan kemudian segera tidur.
Keesokan paginya, setelah terbangun ia segera bersiap berangkat sekolah. Kedua orang tuanya sedang menunggunya di meja makan untuk sarapan bersama, tetapi, Chen Lian tampak buru-buru.
"Kamu tidak makan dulu, Lian'er?" tanya ibunya dengan lembut.
Chen Lian membalas, "Aku harus segera pergi ibu."
Ketika Chen Lian berada di ambang pintu unit apartemen, ibunya berteriak, "Selamat atas penghargaan nobelmu."
Ekspresi Chen Lian rumit dan tidak berkata apapun, hanya terlihat punggungnya yang segera keluar dari pintu unit.
Beberapa puluh menit akhirnya ia sampai di sekolah.
Saat keluar dari taksi dan berjalan di trotoar sekolah. Para gadis-gadis yang melihat Chen Lian segera mendekat.
Beberapa dari mereka mengeluarkan sesuatu dari tas dan memberikan pada Chen Lian. Ada yang memberi coklat, gantungan, dompet, buku, dan banyak lagi.
Liu Mei, gadis paling populer di sekolah dan dianggap sebagai dewi kecantikan. Mengeluarkan hadiah dari tasnya, sebuah tiket untuk memasuki laboratorium raksasa di Beijing, "Senior, apakah kamu bersedia pergi bersamaku?"
Anastasia, murid pindahan internasional dari Rusia yang sangat cantik, berambut pirang dan kulitnya seputih giok. Ia menatap Chen Lian dengan senyumannya yang menawan, "Kakak Chen, selamat atas kemenangannya. Apakah kamu menemaniku makan malam?"
Dan juga beberapa ucapan manis para gadis-gadis cantik yang centil.
Chen Lian tetap melangkah dan bersikap acuh tak acuh dengan ekspresi dingin. Sampai ia tiba di depan gerbang sekolah dan seorang gadis berteriak.
"Chen Lian?!"
Segera Chen Lian mengalihkan pandangannya dan menatap gadis itu, ia adalah Lu Rei. Senyuman tipis terlihat pada bibir Chen Lian.
Namun, ia juga langsung mengalihkan pandangan dingin dengan tatapan yang mengerikan pada para gadis genit itu sehingga mereka segera pergi karena ketakutan.
"Ka... kakak Chen Lian?"
"Aku takut...."
"Aaaaa..."
Jeritan para gadis-gadis centil itu.
Chen Lian berjalan ke arah Lu Rei dan tersenyum, "Apa kau sudah tahu beritanya?"
"Kau pernah bilang, akan memberiku hadiah saat aku berhasil mendapatkan nobel. Jangan lupakan janjimu itu!" lanjut Chen Lian.
Lu Rei menatap Chen Lian dengan senyuman manis, kemudian membalas, "Tentu saja aku tidak lupa!"
"Tapi... aku masih tidak percaya, kalau kau bisa mendapatkan nobel itu," ejek Lu Rei.
Chen Lian mendecak, "Kau ini... Meremehkanku ya?"
Lu Rei membusungkan dadanya dan menyombongkan diri, "Memangnya kenapa kau meremehkanmu? Kau berani padaku, ha?"
"Aku ini master karate lho! Cowok lemah kayak kamu akan mudah aku tumbangkan," lanjut Lu Rei.
Chen Lian membalas dengan senyuman menawan, yang terpancar diwajahnya hanya saat Lu Rei berada di hadapannya.
Mereka berjalan menuju gedung sekolah sambil bercanda. Fakta bahwa Chen Lian adalah lelaki tanpa emosi, bahkan memiliki julukan sebagai 'Pangeran Es.' Tetapi, kalau itu adalah sahabatnya, Lu Rei, es kutubnya mencair.
Setelah berjalan selama beberapa puluh menit, mereka akhirnya sampai di depan pintu gedung sekolah.
"Kau.... masuklah terlebih dahulu," ucap Lu Rei sembari tersenyum menatap Chen Lian.
Chen Lian terkejut, "Kau mau kabur kemana?"
Tiba-tiba tubuh Lu Rei mulai transparan dan menghilang.
Wajah Chen Lian memerah, air matanya tak sanggup menahan lagi untuk tidak keluar. Pertemuannya dengan Lu Rei selama beberapa menit yang lalu hanyalah halusinasinya.
Fakta bahwa Lu Rei dan Fu Heng telah meninggal 2 tahun yang lalu, dan hal itu sangat menyayat hati Chen Lian. Terkadang, ia bisa menjadi gila, halusinasi dan depresi.
"Aku .... Tidak menyangka bahwa semuanya hanyalah ilusi," lontar Chen Lian lirih sembari menunduk ke bawah.
"Kematian.... adalah kutukan," lanjut Chen Lian.
Pemuda yang dulunya lembut, kini menjadi sosok berhati dingin, semenjak kedua sahabatnya meninggal.
Ia berjalan dengan ekspresi dingin melewati lorong-lorong sekolah. Bayangannya saat masih bersama Lu Rei dan Fu Heng dahulu, tersimpan di dalam memori ingatan.
Akhirnya, dia sampai di kelas dan duduk dengan malas. Tubuhnya lemas karena kurang tidur, sementara, mentalnya juga tidak stabil.
Beberapa saat kemudian, guru sejarah masuk dan mengajar. Chen Lian memejamkan matanya di atas meja kelas.
Dalam tidurnya, ada suara samar-samar yang terdengar.
"Yin'er bangunlah! Ini sudah siang dan kamu benar-benar akan ayah hukum."
"Anak kurang ajar ini.... Tidak mau bangun sepertinya?"
pedang biasa bisa apa nggak? tergantung ilmu seseorang atau tergantung pedangnya?
mungkin padanan sapu terbang penyihir atau karpet terbang aladin. cerita2 benda terbang yg jadi kendaraan yang lebih kuno.
ibunya jadi hangat.