Unconditional Love (Ben And Jeslin)
"Kita bahas masalah ini di tempat lain aja, ya, Jes. Aku nggak enak dilihat orang lain, apalagi yang kenal Susan dan kamu," cetus Ian begitu mereka berdua bertemu untuk membahas masalah Susan, saudara sepupu Jeslin yang kabur dari rumah. Ian adalah kekasih Susan, lebih tepatnya kekasih gelap saudaranya itu.
Susan berumur 3 tahun di atas Jeslin, sudah menyandang status istri dari seorang pria bernama Fachri. Mereka pun sudah dikaruniai seorang putra yang baru berumur 3 tahun. Tapi karena peliknya masalah rumah tangga Susan dan Fachri, Susan memutuskan kabur dari rumah, dan sudah ia jalani selama satu bulan lamanya. Lucunya Fachri justru tampak tidak peduli pada kepergian sang istri.
Susan yang pontang panting sendirian di luar, akhirnya ia menginap di apartemen Jeslin untuk sementara waktu. Ternyata hanya hitungan hari sejak Susan kabur dari rumah, dia justru sudah memiliki seorang kekasih yang umurnya masih tergolong muda. Perselingkuhan tersebut berawal dari sebuah event di salah satu mall, di mana Susan menjadi pengisi acaranya, dan sang kekasih, sebagai salah satu tamu undangan. Mereka yang makin dekat, saling bertukar nomor ponsel, dan akhirnya Susan sering curhat pada Ian. Di saat itulah, kedekatan mereka makin intens, dan akhirnya mereka pun saling memadu kasih. Jeslin sebenarnya sangat tidak menyetujui apa yang Susan lakukan, tapi dia tidak bisa berbuat apa pun, hingga akhirnya Susan pergi dari apartemen Jeslin, kemudian tinggal di rumah Ian.
Tapi baru beberapa hari berselang, Susan justru bertengkar dengan Ian, dan kembali melakukan aksi kabur dari rumah Ian, hingga membuat pemuda itu cemas. Itulah alasan Ian mendatangi Jeslin sekarang.
"Memangnya mau ke mana? Kenapa nggak di sini aja?" tanya Jeslin agak tidak nyaman.
Mereka sudah berada di sebuah cafe yang memang sengaja dipesan untuk janji temu keduanya. Sebelumnya Ian menghubungi Jeslin perihal kaburnya Susan dari kediamannya, dan meminta tolong Jeslin untuk mencari Susan. Ian cemas terjadi sesuatu pada Susan.
"Ke rumahku saja, ya. "
"Ke rumah kamu? Eum, gimana, ya...." Jeslin terus menatap jam di pergelangan tangan, dan sedikit tidak nyaman dengan permintaan Ian. Jeslin tidak enak jika harus terlambat masuk kantor, karena pergi ke rumah Ian lebih dulu.
"Sebentar aja, Jes, please," kata Ian terus memohon.
Akhirnya Jeslin pun menurut, karena dia memang ingin tau, apa yang sebenarnya terjadi antara Ian dan Susan. Apalagi orang tua Susan berkali-kali menghubungi Jeslin, karena menanyakan keberadaan Susan. Fachri ingin menggugat cerai Susan karena kepergiannya dari rumah. Tentu ini adalah kabar yang harus segera di sampaikan pada Susan.
Jeslin mulai naik motor Ian. Mereka melaju cepat menembus jalanan ibukota menuju ke rumah Ian. Jeslin terlalu polos dan baik, dia tidak tau kalau sebenarnya dia sedang dimanfaatkan karena kejadian ini.
Tak butuh waktu lama, Ian dan Jeslin sudah sampai. Ian mempersilakan Jeslin masuk. Rumah Ian memang terbilang megah, dan besar. Dia beruntung karena lahir dari orang tua kaya, padahal dirinya sendiri tidak memiliki keinginan serta usaha keras untuk bekerja. Ian hanya anak manja yang lebih suka menikmati kekayaan orang tuanya untuk bersenang-senang dengan wanita yang ia inginkan.
"Mau minum apa, Jes?" tanya Ian sambil melepas jaketnya.
Jeslin yang baru pernah datang ke rumah Ian tampak sedang memperhatikan isi rumah kekasih Susan tersebut. Ia tidak memperhatikan apa yang Ian lakukan sekarang.
"Apa aja, Ian."
"Oke. Aku buatkan minum dulu, ya."
Pintu rumah Ian kunci, dia bahkan mengantungi kunci rumahnya itu. Ada gelagat tidak baik yang sedang Ian rencanakan sekarang. Ian segera masuk ke dapurnya, dan mengambilkan segelas jus jeruk dingin dari kulkas. Tapi tidak hanya itu, karena tanpa sepengetahuan Jeslin, Ian menambahkan beberapa tetes obat tidur ke minuman tersebut. Ian menyeringai sambil membawa minuman itu ke depan.
Jeslin masih berdiri sambil mengamati foto-foto milik keluarga Ian. Rupanya Ian memiliki seorang kakak laki-laki yang sudah dewasa. Kedua orang tua Ian merupakan salah satu pemilik restoran terkenal di Jakarta. Tidak hanya satu cabang, tapi sudah memiliki beberapa cabang yang semuanya laris manis setiap harinya.
"Minum dulu, Jes," kata Ian sambil meletakkan cangkir minuman dingin berwarna kuning itu ke meja. Jeslin lalu duduk dan segera menyambar minuman itu yang memang tampak menyegarkan dari luar. Ian menunjukkan smirk di wajahnya saat Jeslin mulai meneguk habis minum tersebut. Tinggal menunggu beberapa saat saja sampai obat tadi bekerja.
"Jadi awal mulanya bagaimana, kenapa kalian bertengkar?" Jeslin memang sedikit kesal dengan tingkah Ian dan Susan, karena ini bukan pertengkaran pertama mereka, tapi imbasnya selalu Jeslin yang harus menanggungnya.
"Biasa, Jes. Susan cemburu ke Lili. Padahal aku sama Lili kan, nggak ada hubungan apa-apa."
"Yakin begitu? Bukannya kamu sama Lili sering pergi sama-sama, ya pantas Susan cemburu. Kamu ini gimana sih!" omel Jeslin kesal. Namun perlahan dia justru merasakan kepalanya mulai pening, pandangan matanya mulai kabur, dan dia mulai sulit bernafas. "Ian ...."
"Jes, Jeslin, kamu kenapa"
Jeslin benar-benar tidak sadarkan diri, tapi bukan berarti dia pingsan dan tidak mengetahui apa pun. Justru gadis itu tetap merasakan apa yang sedang Ian lakukan. Tanpa basa basi, Ian mulai melucuti pakaian Jeslin, dia yang sudah berada dalam pengaruh nafsu birahi terus melancarkan aksinya dan menyetubuhi Jeslin.
"Ian ... Jangan," desah Jeslin yang tidak mampu menolak, walau sebenarnya ia ingin beronta dan menendang Ian yang kini berada di atas tubuhnya. Tenaga Jeslin tidak kuat untuk melawan, dan ia hanya mampu menangis saat Ian melakukan hal keji itu padanya.
Kesuciannya telah direnggut. Ian dengan santainya tersenyum begitu Jeslin sudah benar-benar sadar. "Jes, mandi dulu sebelum pulang, nanti aku antar ke apartemen," kata Ian tanpa rasa bersalah.
Jeslin menatap tajam pemuda itu, ingin rasanya dia mengamuk dan menghajar wajah Ian, tapi dia tau kalau itu hanya akan memperburuk keadaan. Jeslin segera memakai pakaiannya dan angkat kai dari rumah Ian. Bahkan dia meninggalkan alas kakinya dan pergi dengan bertelanjang kaki.
Hari sudah malam saat Jeslin pergi dari rumah Ian. Dia menangis sepanjang jalan dengan tubuh gontai. Ingin segera pulang, tapi juga tidak ingin kembali ke rumahnya. Walau sebenarnya dia pun tinggal seorang diri di sana. Jeslin juga tidak mungkin datang ke apartemen Daniel, karena sang adik pasti mengetahui ada yang tidak beres pada kakaknya. Entah karena takut atau malu, Jeslin tidak ingin orang lain tau apa yang telah terjadi pada dirinya.
Ia putuskan hanya berjalan tanpa tujuan, mencari sebuah tempat yang mampu menawarkan ketenangan serta kedamaian. Sampai akhirnya langkah kakinya tiba di arena bela diri taekwondo yang berada di sebuah gelanggang olahraga. Sekalipun sudah malam, tapi tempat itu masih terlihat ramai dengan beberapa orang yang masih berlatih. Jeslin duduk di sebuah kursi kayu tak jauh dari tempat itu. Menyaksikan orang-orang saling beradu kemampuan fisik membuatnya sedikit tertarik. Apalagi setelah kejadian yang telah Ian lakukan tadi, membuat Jeslin ingin bisa berlatih taekwondo juga guna bisa membela diri jika ada orang yang akan berniat jahat padanya.
"Maaf, kamu sedang menunggu siapa" tanya salah satu pemuda yang memakai pakaian putih dengan ikat pinggang warna hitam. Sekalipun Jeslin tidak pernah mempelajari taekwondo, tapi dia tau kalau orang di depannya adalah salah satu pelatih, terlihat jelas pada ikat pinggang yang ia kenakan. Apalagi di tambah postur tubuh yang proporsional, membuat lelaki itu tampak sempurna menyandang status sebagai pelatih di sini.
"Hm Maaf, saya cuma numpang duduk saja. Apa tidak boleh" tanya Jeslin degan wajah polosnya.
"Oh begitu Tapi sebaiknya kamu jangan duduk di sini, hujan sebentar lagi akan turun deras, lebih baik duduk di sana saja," kata pria itu lagi sambil menunjuk ke aula tempat anak-anak kecil berlatih. Tempat itu memang luas, ada beberapa kelompok yang sedang berlatih sesuai umur mereka.
"Hm ... Tidak usah, saya cuma sebentar kok di sini, terima kasih tawarannya," tolak Jeslin sambil menengadahkan wajah ke udara. Rupanya dia tidak sadar kalau gerimis sudah turun sejak tadi, bahkan bajunya sudah mulai basah.
Pemuda tadi diam beberapa saat lalu menarik nafas panjang sambil terus menatap Jeslin yang tampak kacau. "Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu. Kalau kamu mau, duduk saja di sana. Tidak akan kenapa-kenapa kok, daripada kamu kehujanan di sini," katanya lagi.
"Iya, terima kasih." Jeslin hanya menatap pemuda itu di tengah derasnya gerimis yang mulai membasahi tubuhnya.
Ben. Adalah salah satu pelatih di tempat itu. Bersama sepupu-sepupunya serta Om serta ayahnya, Ben membuka sebuah tempat bela diri yang mengkhususkan pada taekwondo. Sudah lima tahun berselang, dia dan keluarganya membuka tempat itu, dan sebenarnya ini pertama kalinya mereka berlatih di sana, karena sebenarnya mereka sudah memiliki tempat latihan sendiri di dekat rumah. Tapi malam ini lain. Ayahnya memutuskan pindah sementara di sana karena untuk menarik minat orang-orang yang sering berolahraga di tempat itu. Mereka ingin memperbesar club mereka agar mampu bersaing dengan club bela diri lain selain taekwondo tentunya.
Rupanya kehadiran Jeslin berhasil mengusik perhatian Ben. Beberapa kali Ben memperhatikan Jeslin yang masih diam di tempatnya duduk. Tidak peduli hujan gerimis yang membasahi tubuhnya. Wajah Jeslin tampak kurang sehat, tapi sebenarnya sorot mata gadis itu yang membuat resah Ben setelah menatapnya tadi. Ada rasa sakit yang sedang dirasakan Jeslin dan Ben mengetahui hal itu. Hanya saja, Ben sadar diri kalau dia adalah orang asing, tentu Jeslin akan menolak segala bantuannya, atau pun tidak mungkin juga jika gadis itu akan bercerita tentang apa yang telah terjadi padanya. Ben hanya menatap Jeslin dari kejauhan sambil melatih anak-anak yang masih semangat malam itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments