Adisti sudah mengabdikan hidupnya pada sang suami. Namun, ternyata semua sia-sia. Kesetiaan yang selalu dia pegang teguh akhirnya dikhianati. Janji yang terucap begitu manis dari bibir Bryan—suaminya, ternyata hanya kepalsuan.
Yang lebih membuatnya terluka, orang-orang yang selama ini dia sayangi justru ikut dalam kebohongan sang suami.
Mampukah Adisti menjalani kehidupan rumah tangganya yang sudah tidak sehat dan penuh kepalsuan?
Ataukah memilih berpisah dan memulai hidupnya yang baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Perdebatan mantan sahabat
Mobil Adisti telah sampai di depan gerbang rumahnya. Tampak Arsylla di sana yang sedang menunggu kedatangan mantan sahabatnya. Namun, Adisti sama sekali tidak peduli dan meminta Alex terus melajukan mobilnya memasuki halaman rumah. Arsylla memberontak, dia ingin bertemu dengan sahabatnya.
"Adisti! Aku ingin bicara dengan kamu, sebentar saja!" teriak Arsylla membuat Adisti kesal dan meminta satpam untuk membiarkannya masuk. Teriakannya bisa saja mengundang para tetangga, biarlah dia memberi waktu sebentar pada mantan sahabatnya itu. Setelah ini jangan harap ada lagi.
"Ada apa?" tanya Adisti dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Wanita itu tidak mau meminta Arsylla masuk ke dalam rumah. Baginya tidak ada tempat bagi penghianat seperti mereka, baik di rumah ini atau tempat lainnya. Memberi waktu seperti ini saja sebenarnya dia ogah.
"Bukankah kita selama ini bersahabat? Tidakkah kamu memiliki hati nurani dan membantuku. Aku sudah tidak punya tempat tinggal lagi, pekerjaan pun sudah tidak ada. Kamu kaya, uangmu banyak, setidaknya gunakan untuk membantuku," ujar Arsylla tidak tahu malu.
Adisti tertawa terbahak-bahak. Wanita di depannya ini ternyata tidak punya urat malu. Kenapa malah memintanya untuk berbuat baik. Selama ini apa yang dia lakukan itu apakah masih kurang baik? Padahal Adisti sudah sangat baik, Arsylla saja yang tidak tahu terima kasih.
"Kebaikan seseorang itu ada batasnya, tidak mungkin terus-menerus berbuat baik dan kamu sebagai manusia, harus tahu diri sedikit. Tahu malu juga atau jangan-jangan urat malumu sudah putus?" cibir Adisti.
"Apa maksudmu? Kenapa kamu malah menghinaku? Aku datang dengan cara baik-baik."
"Memangnya apa yang harus aku lakukan lagi? Kamu lebih dulu menghianatiku dan sekarang seenaknya saja mungkin datang minta bantuan. Tanpa mengucapkan kata maaf, tanpa minta tolong. Seolah-olah kamu adalah manusia hebat dan aku harus memenuhi keinginanmu. Jangan harap kamu bisa melakukan itu lagi. Aku bukan Adisti yang dulu, yang bisa kamu bodohi, bisa kamu manfaatkan seenaknya. Dan apa katamu tadi? Datang dengan cara baik-baik? Apa berteriak di depan rumah itu tindakan baik?"
Arsylla mengepalkan tangannya. Dia mencoba menahan amarahnya, selalu seperti ini. Adisti pasti akan punya banyak cara untuk menang darinya.
"Baguslah kalau kamu memang sekarang sudah berbeda. Tidakkah kamu pernah berpikir bahwa kamu itu hanya manusia bodoh, yang bisa dimanfaatkan oleh semua orang, termasuk suamimu. Kamu tahu, aku sangat senang karena Bryan lebih memilih menuruti keinginanku menikahi Sahna daripada harus setia padamu. Sadar atau tidak, tapi namanya juga laki-laki ketika dia diiming-imingi sesuatu yang tidak dapatkan dari pasangannya tentu saja dia akan berpaling. Buktinya sampai sekarang dia masih ingin bertahan dengan istri keduanya daripada kembali sama kamu, yang memang wanita tidak berguna. Sudah enam tahun kalian menikah, tapi tidak ada tanda-tanda kalau kamu akan hamil. Pria mana yang sanggup bertahan dengan kamu wahai wanita mandul. Meskipun Bryan sangat membutuhkan uangmu, tapi dia juga butuh keturunan yang nantinya menemani dia hingga tua. Tidak mungkin dia selamanya hanya hidup berdua dengan kamu."
"Kalau kamu sudah selesai bicara, sebaiknya kamu segera pergi dari sini," ucap Adisti dengan amarah yang tertahan.
Dia akui apa yang dikatakan oleh Arsylla memang benar, tidak ada pria mana pun yang akan bertahan dengan wanita yang tidak bisa memberinya anak. Akan tetapi, sebagai seorang istri tentu saja Adisti tidak rela jika harus diduakan. Tidak adakah pria yang benar-benar tulus mencintai istrinya meski tidak bisa memberinya anak? Dia tidak mau berbagi cinta dan suami dengan siapa pun.
Arsyilla tertawa melihat ekspresi Adisti. Niatnya ingin membuat mantan sahabatnya tertekan akhirnya berhasil juga. Tadinya dia ragu apa Adisti bisa pengaruhi atau tidak, nyatanya tidak sesulit bayangannya.
"Kenapa? Apa yang aku katakan benar, kan? Kamu itu wanita tidak berguna, sudah saatnya kamu yang harus tahu diri. Kamu itu tidak berguna jadi, untuk apa dipertahankan."
Adisti tertawa terbahak-bahak. Dia tahu jika Arsylla hanya ingin menurunkan rasa percaya diri yang selama ini dia miliki. Mantan sahabatnya itu salah jika menganggap Adisti mudah ditindas, tidak akan mudah melakukan itu. Terlalu lama mengenal Arsylla membuatnya mudah membaca pikiran wanita itu.
"Sedari tadi kamu terus saja berbicara omong kosong. Katakan saja kalau kamu sekarang sudah miskin dan tidak punya apa-apa lagi untuk dibanggakan. Sekarang kamu datang begitu saja untuk meminta bantuanku. Kenapa susah sekali bicara seperti itu, aku dengan senang hati memberi sedekah."
"Siapa yang berkata seperti itu? Tidak! Aku tidak pernah membutuhkan bantuanmu!" teriak Arsylla dengan melototkan matanya. Dia tidak terima dengan tuduhan Adisti. Dirinya datang ingin mempermalukan wanita di depannya, bukan malah sebaliknya.
"Oh ya?"
Adisti kembali tertawa, sungguh sangat memalukan tingkah Arsylla. Apa gadis itu kira dirinya itu orang anak kecil yang bisa dibohongi dengan melihat saja sudah terlihat, jika kedatangnya ingin seperti yang Adisti katakan dan memberikan salah satu tempat tinggalnya pada Arsylla. Namun, itu tidak akan pernah terjadi. Baginya mantan sahabatnya itu hanyalah sebuah sampah, yang sudah seharusnya dibuang. Tidak sepatutnya dia memungutnya kembali.
"Sampai kapan pun keputusanku tidak akan pernah berubah. Kamu pikir dengan kedatangan kamu ke sini akan mengubah apa yang sudah aku putuskan? Itu tidak akan. Bersenang-senanglah dengan keadaanmu yang sekarang, jangan sampai saat tiba kamu berada di titik paling bawah, kamu akan menangis."
Tatapan mata Adisti begitu tajam, seketika membuat tubuh Arsylla merinding. Selama ini mantan sahabatnya itu terkenal lemah lembut, bagaimana bisa sekeras itu.
"A–apa maksud kamu?"
"Tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya ingin mengingatkan kamu bahwa Tuhan tidak tidur. Jika kamu melakukan kesalahan pada orang lain, akan ada balasan yang berbalik kepada kamu jadi berhati-hatilah. Mengenai Bryan, aku tidak membutuhkannya lagi, kalau sepupumu mau memungutnya silakan saja tidak perlu meminta izin dariku lagi karena aku sudah membuangnya. Jika kamu berpikir aku akan terpuruk saat kehilangan suamiku, kamu salah besar. Justru pengkhianat lah yang akan menyesal. Aku sudah selesai bicara, sepertinya tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Aku juga masih ada keperluan yang lain, terima kasih."
Adisti memberi kode pada satpam agar mendekat. "Tolong bawa dia keluar dari sini, Pak. Jangan sampai dia masuk kembali. Jika dia masih saja berteriak, sumpal saja mulutnya dan buang dia di tempat pembuangan sampah."
Adisti segera berlalu memasuki rumah. Arsylla tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh Adisti, dia ingin menerjang mantan sahabatnya itu. Namun, satpam lebih dulu mencegahnya dan menarik gadis itu untuk keluar dari pagar. Tentu saja Arsylla memberontak, dia tidak terima dengan apa yang sudah Adisti lakukan. Namun, tenaganya tentu saja kalah dengan seorang pria. Hingga akhirnya dia terlempar di pinggir jalan.