Sebuah rasa yang sudah ada sejak lama. Yang menjadikan rasa itu kini ada di dalam satu ikatan. Ikatan sah pernikahan. Namun sayang, entah apa masalahnya, kini, orang yang dulu begitu memperhatikan dirinya malah menjadi jauh dari pandangan nya. Jauh dari hatinya.
Alika Giska Anugrah, wanita cantik berusia 25 tahun, wanita yang mandiri yang sudah memiliki usaha sendiri itu harus mau di jodohkan dengan Malik, anak dari sahabat orangtuanya. Lagipun, Giska pun sudah memiliki rasa yang bisa di sebut cinta. Dari itulah, Giska sangat setuju dan mau untuk menikah dengan Malik.
Tapi, siapa sangka, Malik yang dulu selalu mengalah padanya. Kini, malah berbanding terbalik. Setelah menjadi suami dari Giska, Malik malah jadi orang yang pendiam dan bahkan tak mau menyentuh Giska.
Kira-kira, apakah alasan Malik? Sampai menjadi pria yang dingin dan tak tersentuh?! Yuk baca! 😁
Kisah anak dari Anugrah dan Keanu--> (Ketika Dua Anu Jatuh Cinta)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuli Fitria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Malam bertabur bintang, embusan angin begitu lembut membelai wajah. Di bawah sinar yang cerah, seorang gadis bercadar duduk di lantai dengan tasbih digital di jarinya. Kendati hatinya penuh tanda tanya, namun bibirnya tetap menyebut Asma Allah. Ia selalu berharap, ada kabar yang baik untuknya.
Senyumnya mengembang di balik cadar, bersamaan dengan bintang yang seolah berkedip. Ia ingin sekali menanyakan bagaimana, namun keberanian nya belum sempurna, ia masih takut akan jawaban yang membuatnya kecewa.
Baiklah, ia mungkin bisa saja mengatakan ingin berpisah jika memang kebenarannya menyakitkan. Namun, percayalah sudut hatinya ada rasa sakit yang tak bisa ia ungkapkan pada siapapun. Ia boleh terlihat tegar di mata orang lain, tapi saat sendiri hanya dia dan Tuhan saja yang tahu, bagaimana sebenarnya rasa di dadanya.
Tiba-tiba, seseorang berbaju panjang lengkap dengan jilbab instan duduk sila di sebelahnya. Membuatnya menoleh dan tersenyum lebar ke arah perempuan itu. Perempuan yang sudah berusia banyak, namun kecantikannya masih terlihat seperti anak muda.
"Bunda," ucapnya saat Anugrah baru saja duduk di sebelahnya.
"Lagi, ngapain?" tanya Anugrah. Ia turut menatap langit gelap yang malam ini terlihat begtu indah. Tidak hanya bintang, namun rembulan pun ada di sana.
"Lagi, menunggu jawaban baik." jawab Giska yang sama-sama menengadahkan kepalanya menatap langit malam.
"Sudah kamu hubungi?" Anugrah menoleh ke arah sang anak. Giska menjawabnya dengan gelengan, masih tetap menatap langit malam.
"Coba, di telepon." ujar Bunda.
"Enggak, Bund. Aku belum mau." jawab Giska. Ia menunduk, memperhatikan angka di tasbih digitalnya. Lalu ia melihat ke arah sang bunda. "Aku akan membiarkan dia bekerja keras terlebih dahulu. Se lama apapun dia mencoba, aku akan menunggu dan ber-do'a. Supaya nanti jawabannya sesuai dengan keinginan dan harapan. Dan jika tidak sesuai, aku ber-do'a, supaya aku di berikan hati yang luas dan ikhlas." sambungnya dengan jujur.
"Anak Bunda sudah se-dewasa ini, ternyata." kata Anugrah dengan menangkup wajah putri semata wayangnya itu. "Bunda juga ber-do'a, semoga keinginan baik akan mudah di kabulkan."
"Aamiin," jawab Giska.
Kedua perempuan itu lantas kembali menatap langit malam bertabur bintang. Duduk sila di teras balkon. Berdua seolah bukan anak dan bunda, melainkan dua sahabat yang tengah me ni k ma ti waktu untuk bersama.
..._-_-_-_...
Lain Giska, lain Malik. Malam ini ia duduk di kamar dengan hati yang gelisah. Bahkan saking gelisah nya ia sampai melupakan semua yang berbau ponsel. Tak menjawab saat Sarah memanggil dan meminta tolong untuk membelikan popok yang sudah habis. Sampai akhirnya, Sarah menghubungi Mika.
Rasanya tulang di tubuhnya hilang. Lemas tak bertenaga. Ia ingin sekali menemui Laras dan men ce k i k nya sampai habis. Karena, perbuatan g i l a Laras, ia jadi harus seperti sekarang. Menjauh dari istri tercinta dan terjebak di dalam kesedihan hati.
Perbuatan Laras juga sudah membuat Sarah jadi di usir keluarganya, sampai akhirnya ia yang harus tanggungjawab.
Kepalanya pening, rasa perutnya mual. Seharian ini ia tidak makan nasi. Bahkan minum saja, entah. Ia sudah meneguk air atau belum. Yang ia tahu, setelah bersimpuh ia akan menangis. Mencurahkan isi hatinya kepada Sang Maha Pemberi Hidup. Memohon pertolongan, agar segera di pertemukan jalan yang baik. Yang bisa membawa sang istri ke dalam dekapannya tanpa embel-embel wanita lain, bahkan anak dari wanita lain.
Ia tengah terbayang-bayang lucunya Giska saat dulu masih sekolah menengah pertama. Saat ia terlambat jemput dan dirinya mendapat ceramah panjang dari gadis berseragam putih biru itu. Lantaran telat mengaji di masjid dan telat shalat ashar. Sedang kata gadis cantik itu, jika shalat dan Malik datang, ia takut lelaki itu tidak tahu bahwasanya dirinya belum pulang dan di tinggal.
"Kamu tahu, Mas. Aku jadi nggak ngaji. Shalat ashar jadi hampir magrib." Malik tertawa saat mengingat Giska yang mengatakan seperti itu di balik punggungnya.
Dulu, Giska-nya itu sangat cerewet. Namun, seiring banyaknya usia gadis itu. ia semakin banyak diam dan tak tersentuh. Apalagi saat ia mengetahui bahwa gadis cantik itu memutuskan untuk bercadar, ia semakin merasa jauh. Tapi, rasa kagumnya semakin dalam. Rasa yang sudah tumbuh dari kecil semakin nyata.
Sayangnya, saat semua rasa terasa nyata. Harus terhempas ke dasar tanah yang seperti lumpur. Licin dan susah di lewati.
Lagi-lagi pria tampan itu mengembuskan napas kasar nya. "Kamu lagi apa, Gis?" tanyanya pada langit-langit kamar.
"Aku kangen, Gis. Maaf ya, aku belum mengubungi kamu. Aku belum bisa mengatakan apapun, aku takut kalau ternyata aku harus mengiyakan keinginan jelek kamu." katanya masih pada langit-langit kamar.
Dua tangannya di belakang, menumpu pada ranjang. Membuat tubuhnya sedikit condong ke depan. "Jika saja aku tak ceroboh, mungkin kita tidak akan merasakan ini." katanya lagi.
Lantas ia menunduk, beranjak dari duduknya dan pergi ke dapur. Ia kembali ingin meminum kopi. Rasanya ia tak ingin tidur. Justru ia ingin tetap terjaga, agar tak bermimpi yang aneh-aneh. Seperti mimpi bersama Giska yang berujung membasahi rambut di pagi hari.
Ia lantas membawa secangkir kopinya ke teras. Ia ingin me ni k m a t i air berwarna hitam pekat itu sembari menyesap rokok. Berharap bisa mengalihkan sebentar saja masalahnya.
Namun saat baru saja ia membuka pintu, ia mendapati sang adik dengan motornya. Ia tersenyum kaku pada Mika. Menunjukan cangkir, berharap sang adik mengerti kalau ia ingin minum kopi, dan jika adiknya itu mau harus membuat sendiri.
"Enggak, Mas. Aku ke sini, mau antar ini," ucap Mika sembari menyodorkan sebungkus nasi padang untuk sang kakak.
"Belum makan, ngopi terus. Nanti lambungnya kalah, m a t i. Terus Giska jadi janda aku ambil." ujar Mika bercanda. Yang lantas sukses membuat Malik meninju keras lengan pria yang sudah duduk di lantai di sebelahnya.
"Sabar, ya Mas. Aku cuma mau bilang itu. Aku tahu, sih. Ini benar-benar barat. Tapi, ya inilah konsekuensi nya. Karena kamu nggak jujur dari awal." kata Mika lagi.
Malik diam, mengembuskan kepulan asap ke udara bebas di depannya. Tak sedikitpun menoleh pada sang adik. 'Sabar', entah sudah berapa kali dirinya mengingat kan kepada hatinya untuk sabar. Jadi saat ada orang lain yang menyuruhnya sabar, ia rasa tak perduli. Karena sekarang yang ia butuhkan bukan sabar, tapi jawaban kebenaran.
"Kamu nggak usah pusing mikirin biaya tes DNA, Mas. Aku masih punya tabungan kok. Bisa Mas pakai, terlebih dulu."
Seketika, Malik ma t i kan puntung rokok nya dan tersenyum lebar ke arah sang adik. "Beneran?" tanyanya tak percaya.
"Masak bohong." jawab Mika dengan gaya sok cool.
Malik lantas memeluk erat sang adik yang sudah membikin sedikit rasa lega.
giska boleh nampak effort kamu tu untuk selesaikan masalah
nolong orang justru menyusahkan diri sendiri dan menyakiti keluarga.... hedeeee