Arjuna Hartono tiba-tiba mendapat ultimatum bahwa dirinya harus menikahi putri teman papanya yang baru berusia 16 tahun.
“Mana bisa aku menikah sama bocah, Pa. Lagipula Juna sudah punya Luna, wanita yang akan menjadi calon istri Juna.”
“Kalau kamu menolak, berarti kamu sudah siap menerima konsekuensinya. Semua fasilitasmu papa tarik kembali termasuk jabatan CEO di Perusahaan.”
Arjuna, pria berusia 25 tahun itu terdiam. Berpikir matang-matang apakah dia siap menjalani kondisi dari titik nol lagi kalau papa menarik semuanya. Apakah Luna yang sudah menjadi kekasihnya selama 2 tahun sudi menerimanya?
Karena rasa gengsi menerima paksaan papa yang tetap akan menikahkannya dengan atau tanpa persetujuan Arjuna, pria itu memilih melepaskan semua dan meninggalkan kemewahannya.
Dari CEO, Arjuna pun turun pangkat jadi guru matematika sebuah SMA Swasta yang cukup ternama, itupun atas bantuan koneksi temannya.
Ternyata Luna memilih meninggalkannya, membuat hati Arjuna merasa kecewa dan sakit. Belum pulih dari sakit hatinya, Arjuna dipusingkan dengan hubungan menyebalkan dengan salah satu siswi bermasalah di tempatnya mengajar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 Liburan di Semarang (2)
Theo memanggil Cilla dan Arjuna yang masih duduk di bangku semen. Ia mengajak foto bersama dengan latar belakang Klenteng Sam Poo Kong yang melegenda.
Ketiga sahabat Arjuna melihat mata Cilla sembab namun tidak berani bertanya, hanya saling memberi isyarat.
Selesai dari tempat itu, Cilla mengajak Lima Pandawa menuju Kota Lama. Sepanjang perjalanan, Cilla menjelaskan tempat-tempat yang mereka lewati layaknya seorang pemandu wisata sejati. Pembawaannya tetap ceria, meski matanya masih sedikit sembab.
Pak Tono menurunkan mereka persis di depan Gereja Blenduk yang menjadi ikon Kota Lama.
“Kalau Om pada mau foto-foto, area ini bisa dibilang menjadi pusat keramaian di Kota Lama.”
Kelima Pandawa beberapa kali berdecak menganggumi bangunan jaman kolonial yang masih dijaga kelestariannya.
Selama 30 menit mereka berkeliing di sekitar bangunan Kota Lama dan akhirnya beristirahat di area dekat Gereja Blenduk.
Cilla terlihat asyik mengikuti Theo yang mengabadikan bangunan di sana dengan kameranya. Bahkan beberapa kali Cilla diberi kesempatan untuk mencoba mengambil foto dengan kamera Theo.
“Jun, elo nggak berbuat atau bicara yang aneh lagi kan sampai Cilla mewek ?” Luki yang sedang duduk-duduk di bawah pohon beringin bersama ketiga sahabatnya mulai bertanya karena penasaran.
“Ya elah langsung nuduh, deh,” Arjuna menggerutu. “Pas gue deketin, tahu-tahunya lagi mewek.”
“Yakin lo, Jun ?” Ledek Boni. “Mulut elo kan suka blong kalo lagi debat sama tuh bocil.”
“Iya Jun, jangan terlalu pedes juga kalau ngomong sama Cilla. Awas kualat loh, Jun. Jangan sampai omongan Theo jadi kenyataan. Gue mau lah jadi orang kedua yang siram elo pakai air got” timpal
Erwin.
“Haiiss elo pada kok jadi nethink sama gue ?” Arjuna berdecak kesal. “Tadi gue malah berinisiatif baik bawain dia teh hangat.”
“Apa Cilla sakit, Jun ?” Tanya Boni.
“Mana ketehe gue, Bro. Tanya langsung aja sama tuh anak.” Wajah Arjuna masih terlihat kesal karena dituduh yang tidak-tidak oleh para sahabatnya.
Tidak lama, Cilla dan Theo sudah bergabung dengan mereka. Terlihat Cilla membawa kantong plastik berisi air mineral dalam kemasan botol.
“Minum Om, jangan sampai dehidrasi.”
Mereka mengambil satu persatu. Tanpa sadar, Arjuna menyipitkan matanya saat melihat Theo memberikan botol minuman yang sudah dibuka untuk Cilla.
Luki yang melihat sikap Arjuna langsung menyenggol Erwin yang ada di sebelahnya. Sementara Boni yang melihat tingkah Luki, ikut melihat ke arah pandan mereka. Boni menarik kedua ujung bibirnya.
“Suasana malam di Kota Lama ini juga sama menariknya seperti sekarang, Om. Cafe-cafe di sini tetap mempertahankan bentuk asli bangunan dan perabotan yang digunakan juga terlihat klasik. Kalau memang mau menikmati suasana malam di sini, kita bisa mampir lagi sehabis makan malam lalu lanjut ke Simpang Lima sebelum balik ke hotel.”
“Atur aja, Cil. Kalau memang waktunya cukup, semuanya boleh dieksekusi,” sahut Boni.
“Oke, kalau begitu sekarang kita makan siang dulu ya. Cilla mau ajak ke tempat lumpia dan nasi ayam khas Semarang. Letaknya di daerah Pecinan.”
Mobil sudah menjemput kembali dan perlahan meninggalkan Kota Lama menuju Pecinan kota Semarang.
Hanya dalam waktu 20 menit mereka tiba di daerah yang dimaksud oleh Cilla. Mereka diturunkan di salah satu jalan semacam gang di tepian kali.
Cilla membawa mereka ke tempat makanan khas Semarang, lumpia.
“Kalau ada rencana mau beli untuk oleh-oleh, Cilla pesankan sekarang atau bisa lewat wa juga. Yang penting jangan mendadak, Om.”
Mereka memesan sepuluh untuk dibawa ke tempat makan siang yang letaknya tidak jauh dari situ.
“Di tempat ini,” Cilla menunjuk jalan satu arah di sisi kanan mereka, dengan lebar cukup untuk dua mobil.
“Ada jajanan malam yang biasanya hanya buka di hari Jumat sampai dengan Minggu. Namanya Pasar Semawis. Tapi selama pandemi ditutup untuk menghindari keramaian.”
“Jadi kamu nggak bisa ajak kita ke sini dong, Cil.” ujar Boni.
“Nggak bisa biar nggak pandemi, Om. Hari ini Selasa, mereka hanya buka Jumat sampai dengan Minggu.
Setelah menyusuri jalan yang dipadati dengan arwa pertokoan merangkap rumah dengan model kuno khas Pecinan, mereka sampai di tempat yang dimaksud Rumah makan sederhana dengan menu khusus nasi ayam khas Semarang. Keima pria itu memperhatikan jenis makanan yang ditawarkan sebelum memesan.
“Saya nggak yakin om-om cukup makan satu porsi. Lihat tuh, isinya sedikit untuk perut cowok. Jadi jangan malu-malu kalau mau tambah.”
Semua hanya mengangguk lalu berjalan menuju meja panjang untuk 6 orang. Erwin langsung membuka bungkusan lumpia yang mereka beli tadi, dan mencicipinya.
“Enak Cil,” Erwin memberikan jempolnya.
Yang lainnya memilih menikmati pesanan nasi mereka dulu sebelum mencoba lumpia.
“Jangan minum dingin,” perintah Arjuna saat Cilla ikut memesan es teh seperti yang lainnya. Tanpa diminta ternyata mereka duduk berdampingan.
“Tapi panas banget, Pak,” Cilla merengek dan menunjukan wajahnya yang berkeringat.
Arjuna menggeleng dan bersikukuh melarang Cilla minum es teh hanya dengan isyarat matanya. Cilla akhirnya menurut tanpa mendebat, membuat keempat sahabat Arjuna saling berpandangan dengan wajah bingung. Ada yang menggeleng atau mengangkat bahu tanda tidak tahu.
“Memangnya Cilla kenapa nggak boleh minum es, Jun ?” Erwin mengajukan pertanyaan yang mewakili kebingungan empat sahabatnya.
“Nggak boleh, soalnya..”
Arjuna menoleh saat lengan Cilla menyenggol lengannya dan terlihat gadis itu menggeleng, melarang Arjuna melanjutkan kalimatnya.
“Nggak boleh soalnya kenapa, Jun ?” Boni malah semakin kepo melihat Cilla dan Arjuna saling memberi isyarat.
“Rahasia !” Keduanya kompak menjawab dan langsung disambut gelak tawa keempat pria itu.
“Udah mulai kompak nih,” celetuk Theo.
“Mulut boleh berdebat, ternyata hati saling terpikat,”
timpal Erwin dengan wajah tersipu yang dibuat-buat.
“Mulai deh ngaconya !” Gerutu Arjuna.
“Lagian pakai rahasia segala. Kompak benar lagi ngomongnya.”
“Pak Arjuna pada dasarnya baik kok sama saya, Om. Takut saya laporin sama Pak Slamet atau papi. Saya yang nggak ijinkan Pak Arjuna terlalu baik sama saya, soalnya kalau saya udah kena sakit baper, obatnya nggak bisa dibeli di apotek,” Cilla terkikik.
“Bapernya padaku saja, Cil,” Erwin yang duduk berseberangan dengan Cilla mengedipkan sebelah matanya.
“Aku rela kok jadi virus sekaligus obat penyembuh sakit baper kamu,” Erwin lanjut bergaya merayu membuat Cilla tergelak.
“Kayaknya nggak lolos seleksi, Om Erwin. Cuma Pak Arjuna yang bisa bikin saya kayak kesetrum kalau lagi dekat-dekat. Habis kesetrum lanjut panas dingin kena virus baper,” Cilla tertawa.
“Ya ampun Cil, kamu semangat 45 banget sih,” ledek Theo. “Udah ditolak sebelum dicoba, udah kalah perang sebelum berjuang.”
Ketiga pria lainnya tergelak, bersamaan dengan pesanan mereka datang diantar oleh pelayan.
“Saya masih percaya dengan pepatah Jawa, Om.
Witing Tresno Jalaran Soko Kulino,” Cilla dengan wajah cerianya melirik Arjuna.
“Nggak mempan buat Arjuna Cil, soalnya dia nggak ngerti,” ledek Theo sambil tergelak.
“Om-om juga nggak ngerti kan ? Itu artinya Cinta hadir karena terbiasa.”
“Mateng loh Jun,”. ledek Erwin. “Siap-siap menghadirkan cinta karena terbiasa ketemu Cilla selama setahun.”
Keempat sahabat Arjuna langsung terbahak.
“Udah pada makan cepetan, nanti nggak keburu ke tempat lain,” Arjuna mengalihkan pembicaraan sambil mulai menyuap makanannya.
“Tenang Pak Arjuna,” Cilla mennyenggol lengan Arjuna lagi dan hampir membuat Arjuna tersedak.
“Saya belum benar-benar jatuh cinta sama Bapak, kok. Masih baper-baper aja.”
Arjuna mendelik dan menghabiskan nasi di mulutnya, lalu menenggak air minumnya.
“Jangan baper juga !” Arjuna melotot menatap Cilla. “Kebanyakan baper nanti malah jatuh cinta beneran. Saya nggak punya receh buat bayar cinta kamu, hati saya udah penuh sama Luna. Kamu nggak lupa kan kalau saya bukan hanya punya pacar, tapi CALON ISTRi !”
Arjuna sengaja menegaskan dua kata terakhirnya. Cilla mengangguk dan tersenyum getir.
“Semoga Bapak nggak kena siram air got sama Om Theo,” gumam Cilla hampir tidak terdengar, namun Arjuna yang masih fokus menatap Cilla memdengarnya.