Update Sebulan Sekali (Opsional)
*Author Sedang Melakukan Remake Pada Karya Ini
Local Galactic Group, dimensi yang menjadi ajang panggung pertarungan para dewa dalam siklus pengulangan abadi. Noah, Raja Iblis pertama harus menghadapi rivalitas abadinya, Arata, Dewa Kegilaan akan tetapi ia perlahan menemukan dirinya terjebak dalam kepingan-kepingan ingatan yang hilang bagaikan serpihan kaca.
The LN dewa pembangkang yang telah terusir dari hierarki dewa. Mendapatkan kekuatan [Exchange the Dead] setelah mengalahkan dewa Absurd, memperoleh kitab ilahi Geyna sebagai sumber kekuatan utama.'Exchange the Dead' kemampuan untuk menukar eksistensi dan mencabut jiwa sesuka hati, mampu menukar kematian ribuan kali, menjadikannya praktis tak terkalahkan menguasai kitab ilahi Dathlem sebagai sumber kekuatan tambahan menciptakan makhluk-makhluk rendah dengan satu bakat sihir sebagai perpanjangan kekuasaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewa Leluhur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apocalypse Adomte Kenaikan Mata Takdir
Setelah kepergian Arata, Noah melangkah dengan tenang menuju singgasana silver agung Sea Abyss. Setiap langkahnya bergema di ruangan megah itu, sementara cahaya keperakan dari kristal-kristal es yang mulai mencair memantulkan bayangannya yang panjang di lantai marmer.
Dia duduk di singgasana dengan gerakan anggun namun penuh otoritas. Matanya memandang jauh ke arah pintu kastil yang kini tertutup, tempat di mana Arata menghilang beberapa saat lalu.
"Garnava," panggilnya tanpa mengalihkan pandangan.
Garnava, tangan kanan kepercayaan Noah, membungkuk hormat sebelum melangkah mendekat ke singgasana.
"Lord," sahutnya dengan suara merdu namun tegas.
"Menurutmu," Noah menyandarkan kepalanya di tangan — menyilangkan kaki, "pada siapa Arata akan mencari sekutu?"
Garnava terdiam sejenak, mempertimbangkan pertanyaan tuannya dengan seksama. "Mohon maaf, lord Noah," dia akhirnya berkata, "tapi saya tidak bisa memastikan. Kebanyakan Dewa memiliki dendam pribadi terhadap Arata setelah apa yang dia lakukan. Bahkan mereka yang dulu menjadi sekutunya kini membencinya."
Noah tersenyum tipis. "Justru itu yang membuatnya menarik, bukan?"
"Lord?"
"Desperate times call for desperate measures, Garnava," Noah bersandar di singgasananya. "Ketika seseorang terdesak ke pojok, mereka bisa melakukan hal-hal yang tidak terduga. Dan Arata..." dia terkekeh pelan, "dia selalu penuh kejutan."
Garnava mengangguk hormat, meski di matanya terpancar kekhawatiran. "Haruskah saya mengirim mata-mata untuk mengawasinya, lord Noah?"
"Tidak perlu," Noah menggeleng. "Biarkan dia bergerak. Biarkan dia mengumpulkan sekutunya." Senyumnya melebar, memperlihatkan kepercayaan diri yang mutlak. "Akan lebih menarik jika kita tidak tahu siapa yang akan dia bawa ke hadapan kita nanti."
Garnava membungkuk sekali lagi, menerima keputusan tuannya tanpa bantahan. Sementara itu, Noah kembali memejamkan mata menunjukkan ketenangan mutlak, tubuhnya penuh relaksasi meski pertarungan besar yang akan datang.
"Lord," Garnava melangkah maju dengan hati-hati, "jika saya boleh bertanya... menurut Anda, siapa yang akan dipilih Arata untuk menjadi Dewa baru dalam aliansinya?"
Noah mengalihkan pandangannya dari pintu kastil ke arah tangan kanannya. Seulas senyum penuh arti terukir di wajahnya. "Ah, pertanyaan yang menarik, Garnava."
"Yirgafara Elliot," ucap Noah dengan nada yang dalam dan yakin.
Mata Garvana melebar mendengar nama itu. "Dewa Kutub Kelima? Sang Dewa Perang?" Suaranya dipenuhi keterkejutan. "Tapi lord Noah, bukankah dia—"
"—adalah salah satu yang terkuat?" Noah menyelesaikan kalimatnya. "Tepat sekali. Dan itulah yang membuatnya menjadi kandidat sempurna." Dia berjalan menuruni tangga singgasana dengan langkah santai namun penuh wibawa.
"Yirgafara Elliot bukan hanya seorang dewa perang biasa," Noah melanjutkan, suaranya bergema di ruangan megah silver agung. "Dia memiliki sesuatu yang jarang ditemui di antara para dewa — kebijaksanaan yang lahir dari ribuan pertempuran. Dia memahami bahwa kadang kala, musuh terbesar mu bisa menjadi sekutu terkuatmu."
Garvana mengangguk perlahan, mencerna kata-kata tuannya. "Tapi bukankah Yirgafara memiliki sejarah kelam dengan Arata?"
Noah tertawa pelan. "Justru itu yang membuatnya semakin menarik, Garvana. Dendam bisa menjadi motivasi yang kuat, tapi keinginan untuk bertahan hidup..." dia berhenti sejenak, "...bisa lebih kuat lagi."
"Anda yakin dia akan menerima tawaran Arata?"
"Oh, dia akan menerimanya," Noah tersenyum penuh keyakinan. "Yirgafara cukup cerdas untuk melihat gambaran besarnya. Dia tahu bahwa dalam perang yang akan datang ini, berdiri sendiri sama dengan bunuh diri."
Garvana membungkuk hormat, namun kekhawatiran masih terpancar di wajahnya. "Haruskah kita mengambil langkah pencegahan, lord Noah?"
"Iya," Noah memikirkan sesuatu. "Biarkan mereka membangun aliansi mereka. Biarkan mereka merencanakan strategi mereka." Dia berbalik menghadap singgasananya, memandang simbol kekuasaan silver agung perairan mutlak. "Karena pada akhirnya, semua akan kembali pada satu pertanyaan..."
Dia berhenti sejenak, membiarkan ketegangan mengambang di udara.
"Lord Noah, rencana anda?" Garvana berada di belakang Noah mengikutinya dengan hati-hati.
"Bagaimana jika..." Noah mengangkat tangannya yang pucat ke udara, "kita membuat permainan ini sedikit lebih menarik?"
Garvana menyaksikan dengan napas tertahan ketika Noah meremas ujung jarinya sendiri menggunakan kuku. Tetes darah pertama jatuh ke lantai marmer, menimbulkan bunyi 'tik' yang bergema di ruangan megah itu.
*Tik*
Tetesan pertama berpendar dalam cahaya kemerahan, membentuk sosok tinggi dengan rambut hitam. "Arbiyu," bisik Noah, "sang pemburu bayangan."
*Tik*
Tetes kedua jatuh, membentuk figur berotot dengan tato-tato kuno di sekujur tubuhnya. "Riguar Noin, si penguasa api abadi."
*Tik*
"Guyvere," saat tetes ketiga membentuk sosok laki-laki bermata kebiruan dengan sayap es, "pengendali badai kutub."
*Tik*
Tetesan keempat mengkristal menjadi sosok bertudung kehitaman dengan mata berkilat kemerahan. "Zenudek, sang pengumpul jiwa."
*Tik*
"Ah, yang kelima..." Noah memandang sosok yang terbentuk dari tetes darahnya — seorang pria dengan armor hitam legam dan mata merah menyala, "Deadrick, pembantai dewa kegelapan."
*Tik*
Tetes terakhir jatuh perlahan, membentuk sosok anak kecil dengan senyum manis namun mata yang dingin membeku. "Dan tentu saja... Ghusya, sang manipulator takdir."
Garvana menatap keenam sosok yang kini berlutut di hadapan Noah, masing-masing memancarkan aura kekuatan yang mencekam. "Mereka..."
"Mereka adalah perpanjangan dari diriku," Noah melangkah di antara keenam sosok itu, berdiri penuh otoriter "Darah dan magis aku sendiri. Loyal hingga tarikan napas terakhir." Dia berhenti dan menghadap Garvana, matanya berkilat berbahaya. "Mari kita lihat bagaimana Arata dan Yirgafara menghadapi... keluarga baruku."
Keenam sosok itu bangkit berdiri secara bersamaan, mata mereka terfokus pada Noah dengan kepatuhan mutlak.
"Pergilah," perintah Noah. "Temukan mereka. Awasi mereka. Tapi jangan bertindak sampai aku memberi perintah." Dia kembali ke singgasananya, memandang para ciptaannya dengan bangga. "Biarkan mereka merasakan kedamaian semu... sebelum badai yang sesungguhnya."
Satu per satu, keenam sosok itu menghilang dalam kepulan asap hitam, lompatan, dan gerakan cepat meninggalkan Noah dan Garvana di ruang singgasana yang kembali sunyi.
"Lord," Garvana membungkuk dalam, "rencana Anda sungguh... brilian."
Noah hanya tersenyum, jarinya yang terluka telah sembuh sempurna. "Ini baru permulaan." Dia memandang ke arah kristal-kristal es yang kini berpendar kemerahan. "Ini baru permulaan."
Sementara itu, di puncak Gunung Es Abadi...
Arata berdiri di tepi jurang yang memisahkan dunia fana dengan wilayah para dewa. Angin dingin membekukan menusuk tulang, tapi dia tidak bergeming. Matanya terfokus pada kastil es yang menjulang di kejauhan — kediaman Yirgafara Elliot.
"Sudah kuduga kau akan datang," suara berat terdengar dari belakangnya.
Arata tidak perlu berbalik untuk mengenali pemilik suara itu. "Yirgafara."
"Berani sekali kau menginjakkan kaki di wilayahku," Yirgafara melangkah ke samping Arata, armor perangnya berkilau ditimpa cahaya bulan. "Setelah apa yang kau lakukan."
"Kita berdua tahu aku tidak punya pilihan saat itu," Arata menjawab tenang, masih memandang ke kejauhan.
Yirgafara mendengus. "Tidak punya pilihan? Kau mengorbankan separuh pasukan ku untuk ritual kematianmu."
"Dan karena itulah aku di sini sekarang," Arata akhirnya menoleh, menatap mata Yirgafara yang berkilat marah. "Untuk menebus kesalahan itu."
"Dengan cara?"
"Bergabunglah denganku," Arata mengulurkan tangannya. "Noah telah berubah. Dia bukan lagi dewa yang kita kenal. Kekuatannya... ambisinya... dia akan menghancurkan keseimbangan seluruh alam."
Yirgafara terdiam sejenak, memandang tangan Arata yang terulur. "Kau memintaku untuk berkhianat pada Noah?"
"Aku memintamu untuk menyelamatkan dunia yang telah kita jaga selama ribuan tahun."
Angin bertiup semakin kencang, membawa butiran salju yang menari di antara mereka. Yirgafara mengangkat tangannya, siap untuk menyerang... atau menyambut.
Yirgafara mengepalkan tangannya, armor perang berderit pelan. "Kau pikir begitu mudah memintaku bergabung?" Matanya berkilat tajam. "Apa yang kau tawarkan? Pengkhianatan melawan Noah? Dewa yang telah memberikan, mendedikasikan dirinya untuk mengajari kekuatan padaku selama berabad-abad?"
Arata tidak bergerak. Dinginnya angin es tidak mempengaruhi sikapnya yang tenang. "Bukan sekadar pengkhianatan, Yirgafara. Ini tentang keselamatan dunia yang kita jaga."
"Omong kosong!" Yirgafara membalik tubuhnya, memunggungi Arata. "Noah adalah segalanya. Dia membentuk kekuatanku, membangunku dari sesosok lemah—"
"Dia akan menghancurkanmu," potong Arata. "Percayalah."
Hening sejenak. Hanya desir angin dan dentingan es yang terdengar.
"Kau takut," kata Arata pelan. "Seharusnya aku yang berkata seperti itu,
Yirgafara membeku.
"Kau tahu aku benar," lanjut Arata. "Di balik armor perangmu, ada keraguan. Ada ketakutan bahwa suatu saat nanti, Noah akan menghabisimu begitu kau tidak lagi berguna."
Sang Dewa Perang tidak menjawab. Tapi gemetar tangannya berkata banyak.
"Dengarkan aku," Arata melangkah mendekati Yirgafara. "Suatu saat kita akan bergandengan tangan meruntuhkan dimensi Sea Abyss. Bukan hari ini. Bukan besok. Tapi akan tiba waktunya."
Yirgafara berbalik, menatap Arata dengan mata penuh amarah dan ketakutan bercampur. "Pergi," bisiknya. "Pergi sekarang, sebelum aku membunuhmu!"
Arata tersenyum tipis. "Kita akan bertemu lagi, Yirgafara Elliot. Dan ketika itu terjadi, kau akan memilih."
Di antara kekosongan dimensi yang tak berbatas, Arata berdiri sendiri. Tidak ada warna, tidak ada suara, hanya keabstrakan yang membentang tak terhingga. Bayangan tubuhnya seperti tersesat dalam ruang hampa waktu, membawa beban pertanyaan yang membelenggu pikirannya.
Pembunuhan Lera bergulir ulang dalam ingatannya. Setiap detail, setiap hembus napas terakhir, memenuhi ruang kesadarannya. Matanya sayu, pandangannya kosong. Apakah pengorbanan ini memang perlu? Ataukah dia hanya seorang pecundang yang bersembunyi di balik dalih penyelamatan?
"Sia-sia," bisiknya pada keheningan dimensi.
Kenangan akan wajah Lera yang ketakutan memenuhi benaknya. Darah yang mengalir dari tubuh mungilnya, saat Arata menghunus Agroneme.
Dia tidak lagi yakin dengan apapun.
Noah pasti sedang tertawa sekarang. Melihat Arata terperangkap dalam penyesalan dan ketidakpastian. Melihatnya hancur secara perlahan oleh beban pertanyaan yang tak terjawab.
"Apakah memang tidak ada jalan lain?" gumamnya pada kekosongan.
Dimensi tak menjawab. Hanya sunyi yang memeluknya, dingin yang menemaninya. Arata hanyalah bayangan dari bayangan, tersesat dalam pertarungan melawan takdir akibat perbuatannya.
Semuanya terasa sia-sia.
Di keheningan dimensi, Arata tetap berdiri. Bayangan tubuhnya perlahan mulai melebur dengan kekosongan, seolah ingin menghilang dari realitas yang kejam ini.
Tiba-tiba, sebuah cahaya samar muncul di kejauhan. Cahaya itu tidak terang, tidak pula redup - hanya sekadar keberadaan yang membelah kegelapan dimensi. Arata tidak bergerak, tidak pula mencoba mendekatinya.
Suara lirih terdengar, seperti bisikan angin yang membawa jutaan kenangan.
Sementara Di Singgasana Silver agung...
Arbiyu berlutut di hadapan Noah, jubah hitamnya menyapu lantai marmer kastil silver agung. Matanya memancarkan kegelisahan yang tak biasa.
"Tuanku Noah," suaranya bergetar pelan. "Aku membawa kabar tentang Arata."
Noah duduk tenang diatas singgasana silver agung, energi divine berpendar di sekelilingnya. "Ceritakan."
"Arata... dia mencoba merekrut Yirgafara Elliot untuk memberontak melawanmu." Arbiyu menelan ludah kata-kata nya penuh hati-hati terhadap lord Noah. "Di puncak Gunung Es Abadi, dia berusaha meyakinkan Elliot bahwa kau akan menghancurkannya."
"Oh?" Noah tersenyum tipis. "Dan bagaimana tanggapan murid kesayanganku itu?"
"Elliot menolaknya dengan keras, Tuanku. Dia tetap setia padamu." Arbiyu mengangkat wajahnya. "Tapi Arata tidak berhenti di situ. Dia pergi ke Fablohetra."
Senyum Noah memudar. "Fablohetra?"
"Ya, dunia manekin." Arbiyu menunduk dalam. "Dia... dia membunuh Revalon Tunr di hadapan Dewi Eika Hetra."
Udara di ruangan itu mendadak terasa berat. Noah mencengkeram lengan singgasananya hingga retak.
"Kematian Revalon memicu kemarahan Eika yang tak terkendali. Para manekin berubah menjadi tentara dendamnya. Tapi Arata..." Arbiyu berhenti sejenak, "dia terlalu kuat. Ketika Eika menyerangnya dengan ratusan manekin, Arata mengeluarkan kekuatan sejatinya."
"Dan?"
"Dia menghancurkan semuanya, Tuanku. Fablohetra hancur berkeping-keping. Eika..." Arbiyu memejamkan mata, seolah berusaha menghalau bayangan mengerikan dari ingatannya. "Eika mencoba melindungi dunianya hingga akhir, tapi Arata mengoyak jiwanya, menyerap kekuatan divinenya hingga tak tersisa."
Noah tetap duduk menunjukkan ketenangan yang mendalam, "dua Dewa dalam satu hari. Arata semakin berani."
"Ada lagi, Tuanku." Arbiyu mengangkat tayangan magis [Tabtio] yang menampilkan ketewasan Dewi Eika. "Sebelum menghancurkan Eika, Arata mengatakan sesuatu. Dia bilang 'Takdir menuntut pengorbanan'. Dan..." Arbiyu ragu-ragu.
"Lanjutkan."
"Dia menyebut namamu, Tuanku. Dia berkata bahwa semua ini adalah bagian dari rencananya untuk mencapai kekuatan yang setara denganmu."
Noah tertawa, suaranya bergema di ruangan singgasana silver agung. "Setara denganku?"
Noah sekali lagi memperlihatkan ketenangan abadi dihadapan para bawahannya. "Kau boleh pergi, Arbiyu. Tapi tetap awasi pergerakannya—" Tangan Arbiyu mengangkat kearah Zenudek mengisyaratkan perintah Noah.
Arbiyu membungkuk dalam sebelum melangkah mundur. Di ambang pintu, dia berhenti sejenak. "Tuanku... apakah kita harus memberitahu Elliot tentang ini?"
"Tidak perlu." Noah tersenyum misterius. "Biarkan dia mencari tahu sendiri. Kita lihat, apakah kesetiaannya padaku lebih kuat dari rasa keadilannya."
Setelah Arbiyu pergi, Noah berdiri di depan jendela kristalnya, menatap dimensi yang terbentang luas. "Kau bermain dengan api yang berbahaya, Arata," bisiknya. "Dan api itu akan membakarmu hingga tak tersisa."
Sementara itu di dunia Adomte...
Dunia dengan ribuan kristal mengambang di udara, setiap permukaannya memantulkan bayangan-bayangan takdir yang berbeda.
"Adomte," bisik Arata, matanya menyapu hamparan kristal yang berkilauan. "Cermin takdir yang tak terhingga."
Setiap kristal menampilkan potongan-potongan masa depan yang mungkin terjadi — ada yang menunjukkan kemenangan, kekalahan, kehancuran, dan kebangkitan. Beberapa kristal memperlihatkan dirinya berlutut di hadapan Noah, sementara yang lain menampilkan Noah yang tersungkur di kakinya.
Arata mengangkat tangannya, energi divine berwarna hitam keunguan mulai berpendar dari telapak tangannya. "[Divine Art Apocalypse Eye: Sargceva]," ucapnya dengan suara dalam.
Udara di sekitarnya bergetar. Kristal-kristal mulai beresonansi dengan kekuatannya, menciptakan dengungan yang memekakkan telinga. Satu per satu, kristal-kristal nasib memutar membentuk lingkaran aneh — mereka berkumpul di suatu energi divine Arata.
"Tidak ada gunanya aku meninggalkan dunia ini, ini akan memakan waktu lama."
gumam Arata kepada dunia yang akan dia hancurkan, tapi untuk mengalahkan Noah, aku membutuhkan kekuatan untuk melihat dan mengubah takdir itu sendiri."
Energi dari kristal-kristal yang pecah tidak menyebar dan hilang — sebaliknya, seperti ditarik oleh magnet yang sangat kuat, energi itu berkumpul dan terserap ke dalam mata kanan Arata. Setiap serpihan takdir yang masuk membuat mata kanannya bersinar semakin terang dengan warna kebiruan seperti langit bercampur dengan awan.
Rasa sakit yang tak terbayangkan menyerang seluruh tubuh Arata. Setiap kristal takdir yang masuk ke mata kanannya terasa seperti ribuan jarum es yang menusuk langsung ke dalam otaknya. Tubuhnya gemetar hebat, keringat dingin mengucur deras membasahi jubahnya.
"ARGHH!" Arata mengerang, jatuh berlutut di lantai kristal Adomte. Darah segar mengalir dari mata kanannya, menciptakan jejak merah pekat yang kontras dengan lantai putih berkilau di bawahnya.
Namun dia tidak berhenti. Tangannya tetap terangkat, memaksa [Divine Art Apocalypse Eye: Sargceva] untuk terus menyerap esensial dunia Adomte. Kristal-kristal takdir terus berputar, menciptakan tornado keperakan yang berpusat pada mata kanannya.
"Bertahanlah..." dia berbisik pada dirinya sendiri, giginya gemeretak menahan sakit. "Sedikit lagi..."
Setiap detik terasa seperti selamanya. Rasa sakit yang dia rasakan bukan hanya fisik — setiap kristal yang masuk membawa bersamanya ribuan kemungkinan takdir, memaksa pikirannya untuk memproses jutaan masa depan sekaligus. Kesadarannya nyaris tenggelam dalam lautan visi yang tak berujung.
Di tengah rasa sakitnya, mata kiri Arata tertuju pada singgasana megah yang berdiri angkuh di ujung ruangan — singgasana yang dulunya adalah Dewa Shiesgeld. Sosok agung yang telah dia kalahkan dan transformasi menjadi monumen kekuasaannya atas Adomte singgasana Shigesties.
"Lihat aku, Shiesgeld..." Arata tersenyum di tengah rasa sakitnya, darah masih mengalir dari mata kanannya yang kini bersinar seperti langit senja. "Dunia yang kau jaga selama ribuan tahun... akan menjadi bagian dari diriku."
Tornado kristal takdir semakin mengecil, menandakan proses penyerapan hampir selesai. Mata kanan Arata kini memancarkan cahaya yang membutakan — biru langit bercampur dengan awan putih yang bergerak-gerak, seolah ada dunia mini yang hidup di dalam matanya.
Dengan tarikan napas terakhir yang menyakitkan, kristal terakhir terserap ke dalam matanya. Arata terdiam sejenak, berlutut dengan napas tersengal. Ketika akhirnya dia mengangkat wajahnya, seringai puas menghiasi bibirnya yang pucat.
"Sekarang aku bisa melihatnya..." bisiknya, menatap singgasana Shiesgeld dengan mata kanannya yang telah berubah. "Semua kemungkinan... semua takdir... semua jalan menuju kehancuranmu, Noah."
Arata berdiri perlahan, tubuhnya masih gemetar tapi tatapannya penuh determinasi. Dunia Adomte mulai retak di sekelilingnya, kehilangan esensialnya yang kini bersemayam dalam mata kanan Arata.
dunia Adomte mulai runtuh perlahan, serpihan-serpihan realitas berguguran seperti hujan kristal yang memantulkan ribuan bayangan masa depan. Dalam mata kanan Arata, seluruh dunia ini kini terpantul sebagai mikrokosmos yang berputar tanpa henti.
Arata melangkah mendekati singgasana Shiesgeld, setiap langkahnya meninggalkan jejak retakan di lantai kristal yang rapuh. Tangan kanannya terangkat, energi divine hitam keunguan mulai memanggil pedang pembunuh jiwa Agroneme.
"Shiesgeld..." Arata berbisik, matanya yang berbeda warna menatap singgasana megah di hadapannya. "Kau yang dulu begitu angkuh — selalu berpaling pada takdir sendiri kemunculan aku menjadi sumber ketakutan mu karena kau telah benar-benar melihat akhir. Aku benar, kini hanya menjadi kursi kosong yang dingin."
[Divine Sword: Agroneme] berpendar dalam genggamannya, bilahnya yang hitam menyerap cahaya di sekitarnya. "Tapi bahkan dalam bentuk ini, esensial divine-mu masih berguna bagiku."
Dengan satu gerakan mulus, Arata mengayunkan Agroneme. Udara bergetar saat bilah pedang itu membelah ruang — bukan hanya secara fisik, tapi juga membelah konsep eksistensi itu sendiri.
*slash*
Singgasana Shiesgeld terbelah sempurna menjadi dua bagian. Dari dalam retakannya, cahaya keemasan memancar seperti darah divine yang tertumpah. Ini adalah esensial murni Dewa Shiesgeld — kekuatan yang telah dia simpan bahkan setelah transformasinya menjadi singgasana.
Mata kanan Arata bereaksi seketika. Cahaya keemasan itu tertarik seperti meteor yang jatuh ke dalam pusaran tak terlihat. Arata mengerang kesakitan saat esensial divine Shiesgeld bercampur dengan kekuatan barunya.
"AAAARGHHH!"
Sensasi yang dia rasakan berbeda dari sebelumnya — jika menyerap kristal-kristal takdir terasa seperti ribuan jarum es, menyerap esensial divine Shiesgeld bagaikan menelan matahari hidup-hidup. Seluruh tubuhnya serasa terbakar dari dalam.
"Takdir... adalah konsep yang kau ciptakan..." Arata berbicara di tengah rasa sakitnya, seolah berbicara pada jiwa Shiesgeld yang kini melebur dengan dirinya. "Dan kini... aku yang akan menentukan definisi barunya!"
Proses penyerapan selesai dengan ledakan energi yang membutakan. Ketika cahaya mereda, mata kanan Arata telah berubah sekali lagi — kini dalam irisnya yang berwarna biru langit, terdapat simbol kuno keemasan, tanda bahwa dia telah benar-benar menguasai kekuatan sang dewa takdir.
dunia Adomte mulai runtuh dengan kecepatan yang meningkat. Dinding-dinding realitas hancur seperti kaca yang pecah, menyisakan kehampaan absolut di baliknya. Arata berdiri di tengah kehancuran ini, sosoknya yang tegap dikelilingi oleh serpihan-serpihan takdir yang berputar.
"Dengan ini..." Arata tersenyum, mengangkat Agroneme yang masih berlumuran cahaya keemasan, "semua persiapan sudah selesai."
Dia menatap kehampaan di hadapannya dengan mata barunya yang menyala dalam kegelapan. "Noah... kini aku bisa melihat takdirmu dengan jelas. Dan aku bersumpah..." tangannya terkepal erat, "akan kuubah takdir itu dengan tanganku sendiri."
Dengan satu gerakan cepat, Arata menghilang dari dunia yang sekarat itu, meninggalkan Adomte untuk hancur dalam kesunyian abadi. Yang tersisa hanyalah serpihan-serpihan kenangan tentang dunia yang pernah menjadi cermin takdir semesta.
apa maksudnya begini,
Mengapa Dia hanya memikirkan hiburan untuk dirinya hingga membuat kita mati mempertahankan sebuah 'nyawa'.
mungkin bagus jika kalimatnya begitu. coba dipertimbangkan.