Pertemuan yang tidak sengaja dengan orang yang sangat menyebalkan menjadi awal sebuah takdir yang baru untuk dr. Fakhira Shakira.
Bruukk
"Astaghfirullah." Desis Erfan, ia sudah menabrak seorang dokter yang berjalan di depannya tanpa sengaja karena terburu-buru. "Maaf dok, saya buru-buru," ucapnya dengan tulus. Kali ini Erfan bersikap lebih sopan karena memang ia yang salah, jalan tidak pakai mata. Ya iyalah jalan gak pakai mata, tapi pakai kaki, gimana sih.
"It's Okay. Lain kali hati-hati Pak. Jalannya pakai mata ya!" Erfan membulatkan bola matanya kesal, 'kan sudah dibilang kalau jalan menggunakan kaki bukan mata. Ia sudah minta maaf dengan sopan, menurunkan harga diri malah mendapatkan jawaban yang sangat tidak menyenangkan.
"Oke, sekali lagi maaf Bu Dokter jutek." Tekannya kesal, kemudian melenggang pergi. Puas rasanya sudah membuat dokter itu menghentakkan kaki karena kesal padanya. Erfan tersenyum tipis pada diri sendiri setelahnya.
Karena keegoisan seorang Erfan Bumi Wijaya yang menyebalkan, membuat Hira mengalami pelecehan. Sejak kejadian itu ia tak bisa jauh dari sang pria menyebalkan.
Rasa nyaman hadir tanpa diundang. Namun sayang sang pria sudah menjadi calon suami orang. Sampai pada kenyataan ia sudah dibeli seseorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilawati_2393, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
"Hira, minum dulu." Ringgo mendekatkan air mineral ke bibir Hira, tapi bibir itu tidak bergerak.
"Hira..!" Bisik Ringgo, tangannya mengusap puncak kepala Hira, tidak ada respon. Hira seperti mayat hidup sekarang, jiwanya seperti tidak ada di tempat. Erfan tidak bisa diam sekarang, ia harus bertindak.
"Bilqis, aku bantu Hira boleh?" Izin Erfan, agar calon istrinya itu tidak merasa kecewa. Ia juga sudah menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Bilqis. Kenapa ia bisa menggendong Hira seperti yang heboh di media. Bilqis tersenyum kemudian mengangguk, walau hatinya berdenyut nyeri.
Erfan mendekatkan kursinya pada Hira, jantungnya berdetak hebat. Ia melirik Ringgo, lelaki itu mengangguk.
"Hira...!" Panggil Erfan, "Ra, Rara dengan suara gue..!" Erfan mengamati wajah Hira dari dekat, mata Hira mengerjap.
"Dia merespon," ucap Ringgo memberikan air mineral pada Erfan.
"Minum dulu ya Ra." Erfan membantu Hira minum, "pintar." Pujinya setelah Hira meminum seperempat gelas.
"Masih takut?" Tanya Erfan lagi, Hira mengangguk.
"Coba peluk dia, Dok, tenangin dulu." Pinta Erfan, ia tak mungkin memeluk Hira di depan Bilqis. Ringgo menarik Hira dalam pelukannya, bukannya tenang Hira malah meronta-ronta minta tolong.
"Bilqis bisa bantu tenangin Hira." Erfan menatap Bilqis dengan wajah memohon. Bilqis berdiri dari kursi mendekati Hira. Meja mereka menjadi pusat perhatian sekarang.
Bilqis mencoba menenangkan Hira, tapi seperti tadi malah tambah meronta.
"Bisa kita bawa dia pergi dari sini Mas, kasihan jadi pusat perhatian." Lirih Bilqis, dia tidak tega melihat gadis yang jiwanya hilang entah kemana.
"Dok, kita bawa Hira ke apartemen." Ringgo menyetujui, ia menggendong Hira. Tapi gadis itu beringsut dan berteriak histeris sambil menangis.
Erfan lekas membawa Hira kepelukannya, menggendong gadis itu ke mobil. Allah, ia tak tau harus apa sekarang. Jantungnya bergetar hebat, Hira sesenggukan dipelukannya tidak meronta-ronta lagi.
"Maaf Qis." Lirih Erfan pada Bilqis.
"Jangan minta maaf Mas, dia perlu pertolongan."
"Mobil gue aja ya." Ringgo membuka pintu mobil belakang untuk Erfan. Erfan membawa Hira duduk dipangkuannya. Bilqis duduk di samping Ringgo.
Erfan menangkap wajah Hira yang sudah berhenti menangis. "Kenapa seperti ini lagi, hm?" Tanya Erfan lembut pada Hira, Ringgo dan Bilqis hanya menyimak.
"Takut," cicit Hira.
"Tadi ada yang gangguin lo?" Hira menggeleng lemah. "Lalu apa yang bikin Rara takut?"
"Ta-tadi ada yang peluk-peluk Hira." Ucap Hira terbata-bata, Erfan yang tadinya khawatir sekarang malah ingin tertawa mendengar suara Hira yang manja sangat menggemaskan.
"Sekarang masih takut?" Hira menggeleng pasti. "Bagus, anak pintar." Erfan menepuk puncak kepala Hira. Matanya melirik Bilqis yang menatapnya melalui kaca spion. Posisinya serba salah sekarang.
Erfan menghubungi Ressa agar menemani Hira, ia juga menghubungi Guntur untuk membawa dr. Erika ke apartemen Hira. Ia harus menjaga hati Bilqis agar tidak terluka.
"Maaf dokter namanya siapa?" Tanya Erfan sopan.
"Panggil Ringgo aja, kita gak perlu bica formalkan sekarang?" Ringgo tersenyum
"Ya benar, Hira sudah tidur." Kata Erfan
"Maaf ya mbak, kalau teman saya bikin mbak gak nyaman." Ringgo melirik ke arah Bilqis sebentar, lalu kembali fokus menyetir.
"Saya paham, psikisnya sedang terganggu sekarang."
"Terimakasih mbak, atas kebaikan hatinya meminjamkan calon suaminya untuk menenangkan Hira." Bilqis hanya tersenyum lalu mengangguk. Walau bagaimanapun tetap saja sakit, melihat calon suami memeluk perempuan lain. Meskipun dalam keadaan terdesak, hati tak bisa diajak toleransi.
Erfan menggendong Hira menuju unit apartemennya. Apartemen Hira ada di lantai dua belas. Di sana sudah ada Ressa yang menunggu di depan pintu.
"Ya Allah bos, Hira kenapa lagi?" Ressa membuka pintu kamar, Erfan membaringkan Hira. Lagi-lagi Hira tidak mau melepaskan pelukannya dari Erfan. Pasrah, Erfan memangku Hira di sisi ranjang.
"Ra, Hira... sadar Ra!" Ressa membelai pipi Hira lembut, "Hira sadar, sini gue peluk." Hira beringsut dari Erfan beralih memeluk Ressa.
"Kenapa Ra, kenapa begini lagi? Lo bisakan gak usah bikin gue khawatir." Ressa meloloskan air matanya, ia ikut terluka melihat keadaan sahabatnya seperti ini. Erfan berpindah ke sofa, Bilqis dan Ringgo juga duduk di sana.
"Ra, jawab gue. Jangan diam aja. Gue benci lo yang diam seperti ini." Ressa semakin terisak.
"Maafin gue Sa, maaf."
"Gue gak perlu maaf lo, gue mau lo sadar sekarang Ra." Teriak Ressa dengan suara yang serak.
"Sa, jangan dibentak begitu. Nanti Hira jadi takut sama lo." Erfan berdecak, Ressa menangkup kedua pipi Hira, mereka menangis bersama. Tangisan Hira membuat hati Erfan dan Ringgo pilu.
"Lo sekarang sudah ingat siapa diri lo Ra?" Hira mengangguk, "Lo ingat tadi memeluk siapa?" Hira menggeleng, Ressa menepuk jidatnya pelan lalu melirik tiga orang yang duduk di sofa. Ia tau kalau Hira bohong, sahabatnya itu sadar memeluk siapa. Tapi karena ketakutan tidak bisa mengendalikan dirinya.
"Pelan-pelan Mbak, jangan dipaksa dia berpikir berat dulu." Sela Bilqis yang tidak tega cara Ressa membuat Hira sadar.
Beberapa detik kemudian bel berbunyi, Ringgo beranjak membuka pintu. Di sana ada dua pengusaha muda yang datang Zaky dan Guntur bersama dr. Erika, rekannya. Ia mempersilahkan tamunya masuk.
Guntur langsung menerobos ke kamar duduk di sisi Hira. Seperti yang Ghani katakan, ia harus berjuang mendapatkan hati Hira agar bisa menjaganya selalu.
"Hiraaa!!" Hira melepaskan diri dari pelukan Ressa.
"Mau gue peluk juga?" Goda Guntur, Hira menggeleng. Semua yang ada di ruangan tergelak. "Yah, padahal gue berharap lo mau meluk gue Ra, jahat banget sih lo." Hira mengernyit kemudian tertawa.
"Semudah itu lo tertawa Ra, setelah membuat semua orang panik." Ressa melengos keluar kamar membuatkan minuman untuk para tamunya.
"Sekarang udah gak takut lagikan?" Hira mengangguk. "Gitu dong, harus berani ya." Guntur menepuk-nepuk puncak kepala Hira.
"Sepertinya gak perlu saya ada di sini deh, dr. Hira sudah punya obatnya sendiri." Ledek dr. Erika
"Kalau bosan kerja sih tak apa Dok." Guntur tersenyum nakal, "saya membawa anda ke sini untuk memastikan calon istri saya baik-baik saja." Hira mengambil bantal lalu membekap wajah Guntur, sampai lelaki itu terjungkal. Ringgo menahan gemuruh di dada, baru pagi tadi Hira mau mencoba menerimanya. Sekarang perjuangannya akan semakin sulit.
Ada rasa aneh saat mendengar Guntur mengklaim Hira sebagai calon istri. Erfan lekas mengabaikan perasaan yang tidak jelas itu.
Guntur tertawa gelak setelah selamat dari amukan Hira. "Gak boleh galak gitu sama calon suami Ra." Guntur mengedipkan matanya.
"Emang siapa yang mau nikah sama lo, hah?" Pekik Hira geram, Guntur semakin gelak.
"Ayo minum dulu!" Ressa meletakkan teh di meja ruang tamu, juga beberapa soft drink dan makanan ringan. Tidak lama azan maghrib berkumandang. Setelah selesai sholat Hira melakukan sesi konseling dengan dr. Erika, yang lain berkumpul di ruang tamu.
Zaky meminta waktu pada Erfan, Guntur dan Ressa untuk berbicara di meja makan. Meninggalkan Ringgo dan Bilqis di ruang tamu.
"Sepertinya Hira masih harus dalam pengawasan Fan, gue minta Ressa yang jaga Hira gimana? Lo cari seketaris pengganti. Atau untuk sementara gue bebaskan Hira dari pekerjaannya."
"Jangan!" Guntur menyela ucapan Zaky, "kalau dia banyak diam bisa membuatnya jenuh. Di rumah sakit dia bisa berbaur, itu bisa jadi healing untuknya."
"Oke, tapi dengan catatan Ressa ikut ke rumah sakit menemaninya." Ressa melongo, yang benar saja ia akan dijadikan bodyguard. Erfan berpikir keras, sulit untuknya mencari seketaris baru yang bisa cocok dangannya.
"Jadi maksud Bapak saya menjadi bodyguard Hira?" Tanya Ressa pada Zaky. Zaky tertawa sebelum menjawab, "kalau jadi bodyguard, anda bisa mati duluan nona, emang bisa melawan preman." Ressa berdecak, Zaky meragukan kemampuannya. Padahal ia bisa bela diri, membela diri sendiri maksudnya.
udah untung suami mendukung pekerjaan nya,malah mau di bikinin tempat praktek sendiri, kurang apa coba si erfan