Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.
Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ꦠꦶꦒ ꦧꦺꦭꦱ꧀
Ing ngendi kita ana, ing kono kita kudu kuwat.
Serangan dimulai pada pagi yang tampak tenang. Angin laut bertiup kencang, membelai wajah-wajah penuh semangat prajurit Banten yang sudah bersiap sejak fajar menyingsing. Di pelabuhan, kapal-kapal VOC sudah mengangkut pasukan mereka ke titik-titik strategis di sepanjang sungai. Kapal-kapal tersebut memancarkan kilau logam dari meriam-meriam yang terpasang dengan kokoh, siap menembak setiap gerakan musuh yang mendekat. Di medan darat, pasukan Banten bergerak dengan sigap, mengikuti perintah Sultan Ageng Tirtayasa yang sudah memimpin sejak awal pertempuran.
Di sebuah lembah yang terletak beberapa kilometer dari perbatasan Mataram, pasukan Mataram yang sudah berada di garis depan mendirikan benteng kecil. Mereka tak menyangka bahwa Banten akan menyerang begitu cepat. Meskipun mereka telah mendapatkan informasi dari mata-mata mereka, ketegangan menyelimuti barisan prajurit Mataram yang lebih sering menghadapi musuh dari arah barat, bukan dari selatan.
“Pasukan Banten… mereka datang!” teriak seorang prajurit pengintai dari jauh, matanya terbelalak saat melihat bayangan-bayangan pasukan yang bergerak cepat di antara pepohonan. Teriakan itu langsung disambut oleh jeritan para prajurit lainnya yang mulai berlari, mempersiapkan diri menghadapi serangan. Namun, mereka terlalu terlambat.
Pasukan Mataram, yang hanya memiliki benteng sementara dan persiapan yang terburu-buru, kini terkejut dengan serangan mendalam yang dilancarkan oleh Banten. Sultan Ageng, yang memimpin langsung, memberi perintah tegas. “Luncurkan tembakan pertama!” Perintah itu segera diikuti oleh barisan meriam yang terpasang di kapal VOC yang telah menyusuri sungai. Ledakan besar mengoyak udara, menghancurkan salah satu pos pengintai Mataram. Pasukan Mataram yang tidak siap menghadapi serangan itu mulai terpecah. Kekuatan serangan itu membuat pasukan Mataram mundur sedikit demi sedikit.
Di sepanjang sungai, kapal VOC yang dipimpin oleh Jan Pieterszoon, komandan Belanda yang mendukung Sultan Ageng, menembakkan meriam mereka dengan presisi tinggi. Setiap tembakan yang dilepaskan menghantam benteng-benteng yang dibangun Mataram, menghancurkan titik-titik penting dalam pertahanan mereka. Jan Pieterszoon tahu bahwa kemenangan di medan ini sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk mendominasi sungai.
“Jangan biarkan mereka mengatur posisi!” perintah Sultan Ageng kepada Panglima Raden Tumenggung, yang segera memimpin pasukan darat untuk menyerbu lebih dalam. Pasukan Mataram yang mencoba bertahan di tepi sungai terdesak mundur ke belakang. Para prajurit Banten bergerak cepat, melompati parit dan menggempur musuh dengan senjata tajam. Pedang beradu dengan pedang, dan tombak saling berbenturan dengan perisai.
Sementara itu, di tengah-tengah pertarungan sengit, Jan Pieterszoon memerintahkan kapal VOC untuk mengarahkan meriam mereka lebih akurat lagi ke arah posisi-posisi vital pasukan Mataram. Dengan kekuatan tembakan yang lebih terarah, kapal-kapal VOC menghancurkan gerak maju Mataram. Setiap tembakan membawa harapan bagi pasukan Banten, yang semakin mendekati kemenangan.
Tak lama setelah pertempuran sengit itu, pasukan Mataram mulai terpecah. Banyak dari mereka yang jatuh ke tanah, terpojok oleh serangan bertubi-tubi dari pasukan Banten dan tembakan meriam dari kapal VOC. Sebagian besar pasukan Mataram mulai mundur, berlari menuju benteng utama yang lebih jauh di dalam wilayah mereka. Namun, Sultan Ageng tahu bahwa ini baru permulaan. Meskipun pasukan Mataram terlihat mulai retak, dia tidak ingin menyerah begitu saja. “Jangan biarkan mereka lolos! Kejar mereka!” teriak Sultan Ageng, suaranya penuh semangat. Pasukan Banten terus mengejar pasukan Mataram yang mundur, bergerak cepat melalui medan yang berat.
Sementara itu, Trunojoyo, yang melihat pasukannya terpojok, akhirnya memutuskan untuk menarik pasukan utama mereka ke benteng utama, yang jauh lebih kuat pertahanannya. Namun, dalam perjalanan mundur itu, banyak pasukan Mataram yang terkepung dan terpaksa bertempur tanpa harapan.
Di sisi lain, pasukan Mataram yang tersisa berhasil bertahan di benteng mereka, namun Sultan Ageng dan pasukannya meraih kemenangan besar di medan perang. Pasukan Mataram, meskipun memiliki jumlah yang jauh lebih banyak, terpecah dan kalah dalam pertempuran ini. Pasukan Banten, yang didukung oleh meriam-meriam kuat milik VOC, berhasil menembus pertahanan pertama mereka dan menghancurkan titik-titik vital yang ada.
Sultan Ageng berdiri di tengah medan perang, di antara prajuritnya yang kelelahan namun tetap tegap. Pedang di tangannya masih berlumuran darah, bukti dari kegigihan dalam mempertahankan tanah air. “Ini baru permulaan,” gumamnya kepada dirinya sendiri. “Mataram belum kalah, namun kita telah menunjukkan bahwa Banten tidak akan mudah jatuh.”
Di belakangnya, Jan Pieterszoon berdiri di atas kapal VOC yang masih mengapung di sepanjang sungai. Kemenangan ini adalah kemenangan sementara, namun mereka tahu, pertempuran besar masih menanti di depan. Namun untuk saat ini, Banten berhasil mempertahankan diri, meskipun dengan harga yang tak mudah.
Dengan suara dentuman meriam yang masih terdengar di kejauhan, Sultan Ageng menatap ke arah benteng Mataram yang mulai tampak semakin jauh di belakang. Seiring dengan angin laut yang terus berhembus, dia tahu bahwa meskipun kemenangan hari itu penting, ancaman dari Mataram belum berakhir. Banten harus tetap waspada, dan langkah selanjutnya akan menentukan masa depan negeri mereka.
Namun, dalam hati Sultan Ageng, ada sedikit ketenangan. Mereka telah berhasil mengalahkan Mataram untuk sementara, berkat taktik yang jitu dan dukungan dari VOC. Ini adalah kemenangan yang meneguhkan kembali semangat juang Banten, tetapi juga mengingatkan bahwa peperangan ini masih jauh dari selesai. Pasukan Mataram mungkin mundur untuk sementara, namun mereka pasti akan kembali, dan Banten harus siap menghadapi gelombang pertempuran yang lebih besar lagi.
Setelah serangan Banten terjadi, kerajaan Mataram mengalami beberapa dampak signifikan, meskipun mereka berhasil mempertahankan kekuasaan untuk sementara.
Sultan Agung, yang sebelumnya dikenal dengan keberhasilannya dalam memperluas wilayah dan menguasai sebagian besar Jawa, mulai menghadapi tantangan yang lebih besar. Ketegangan internal dan eksternal yang dihadapi Mataram semakin memperburuk situasi politik dan militer kerajaan tersebut.
Setelah serangan itu, Mataram harus mengalokasikan lebih banyak sumber daya untuk mempertahankan wilayahnya dari ancaman luar, termasuk VOC yang semakin kuat, dan menghadapinya dengan lebih banyak perjuangan untuk menjaga kestabilan politik dalam negeri. Hal ini menyebabkan kerajaan Mataram mengalami kelelahan militer dan finansial yang cukup berat.
Ditambah lagi setelah peperangan antara Banten, dan Mataram Kondisi fisik Sultan Agung juga menurun seiring berjalannya waktu. Beliau meninggal pada tahun 1645, yang menandai berakhirnya masa kejayaan Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung. Mataram kemudian diteruskan oleh penguasa-penguasa berikutnya yang tidak sekuat Sultan Agung.
Selain itu, Mataram mulai menghadapi kerugian dalam sektor ekonomi karena terhambatnya jalur perdagangan, yang menjadi sangat penting dalam mendukung kestabilan kerajaan. VOC, yang memiliki kontrol atas jalur perdagangan utama di sepanjang pesisir, semakin memperburuk keadaan ekonomi Mataram.