Lanjutan dari novel Reinkarnasi Pendekar Dewa
Boqin Changing, pendekar terkuat yang pernah menguasai zamannya, memilih kembali ke masa lalu untuk menebus kegagalan dan kehancuran yang ia saksikan di kehidupan pertamanya. Berbekal ingatan masa depan, ia berhasil mengubah takdir, melindungi orang-orang yang ia cintai, dan menghancurkan ancaman besar yang seharusnya merenggut segalanya.
Namun, perubahan itu tidak menghadirkan kedamaian mutlak. Dunia yang kini ia jalani bukan lagi dunia yang ia kenal. Setiap keputusan yang ia buat melahirkan jalur sejarah baru, membuat ingatan masa lalunya tak lagi sepenuhnya dapat dipercaya. Sekutu bisa berubah, rahasia tersembunyi bermunculan, dan ancaman baru yang lebih licik mulai bergerak di balik bayang-bayang.
Kini, di dunia yang telah ia ubah dengan tangannya sendiri, Boqin Changing harus melangkah maju tanpa kepastian. Bukan lagi untuk memperbaiki masa lalu, melainkan untuk menghadapi masa depan yang belum pernah ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Boqin Changing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saling Mengenal
Wu Ping menatap rombongan itu dengan waspada. Sorot matanya bergerak perlahan, tidak terburu-buru, namun tajam. Ia sudah terlalu lama berada di tempat seperti ini untuk tidak bersikap ceroboh. Aura orang-orang di ruangan itu tidak sederhana, dan pemuda yang duduk di posisi utama jelas bukan orang biasa.
Pandangan Wu Ping berhenti sesaat pada wajah Shang Mu. Alisnya nyaris tak bergerak, namun di dalam hatinya muncul rasa asing yang samar. Ia merasa pernah melihat wajah itu sebelumnya, entah di sebuah perjamuan, atau sekadar sekilas di suatu tempat. Namun ingatan itu tidak cukup jelas untuk ia pastikan. Setelah beberapa detik, ia mengalihkan pandangannya lagi.
Kini ia menatap keseluruhan rombongan. Pemuda yang duduk di depan, tampak begitu tenang untuk usianya. Sikap duduknya tegap, tatapannya stabil, dan caranya berbicara barusan menunjukkan wibawa yang tidak dibuat-buat. Di samping dan sekelilingnya, para pendamping terlihat sigap, seperti pengawal yang terbiasa melindungi seseorang dari keluarga bangsawan besar.
Wu Ping segera mengambil keputusan. Ia tidak berniat mencari masalah. Dengan gerakan santai, ia melangkah maju dan duduk di kursi kosong di samping Boqin Changing, menjaga jarak yang sopan namun cukup dekat untuk berbincang tanpa harus meninggikan suara.
“Apa yang bisa saya bantu, Tuan Muda?” tanyanya dengan nada ramah, namun penuh kehati-hatian.
Boqin Changing menoleh perlahan. Tatapannya bertemu langsung dengan mata Wu Ping. Tanpa berkata apa-apa terlebih dahulu, ia merogoh ke dalam jubahnya dan mengeluarkan sebuah kantong kulit kecil.
Kantong itu tampak biasa. Namun ketika Boqin Changing membukanya dan menyodorkannya ke arah Wu Ping, suara logam berat saling beradu terdengar pelan.
Wu Ping refleks menunduk dan melirik ke dalam. Napasnya tertahan. Koin emas. Banyak sekali. Terlalu banyak untuk sekadar bayaran makan, bahkan terlalu besar untuk sekadar hadiah biasa. Jumlahnya cukup untuk membiayai hidup beberapa keluarga selama bertahun-tahun.
Pandangannya sempat membeku di udara.
“Ini…” Wu Ping mengangkat kepala perlahan, ekspresinya tak lagi sepenuhnya tenang.
Boqin Changing mendorong kantong itu sedikit lebih dekat, seolah memastikan Wu Ping benar-benar menyadari isinya.
“Aku ingin menanyakan sesuatu,” kata Boqin dengan suara rendah namun tegas. “Anggap ini sebagai tanda kesungguhan.”
Wu Ping menelan ludah, lalu menutup kantong itu kembali dengan hati-hati. Ia tidak langsung mengambilnya, namun juga tidak mendorongnya pergi.
“Jika jawabanmu memuaskan,” lanjut Boqin Changing sambil menatapnya lurus, “aku akan memberikan lebih banyak lagi.”
Ruangan itu terasa semakin sunyi. Shang Mu, Shang Ni, dan Zhiang Chi menahan diri untuk tidak bereaksi, meski mereka jelas menyadari bahwa arah pembicaraan ini bukan hal sepele.
Wu Ping menarik napas dalam-dalam. Dalam hatinya, lonceng peringatan berdentang keras. Namun bersamaan dengan itu, naluri lamanya mengatakan bahwa kesempatan seperti ini jarang datang dua kali.
“Apa yang ingin Tuan Muda ketahui?” tanyanya akhirnya.
Boqin Changing sedikit menyandarkan punggungnya ke kursi, jemarinya saling bertaut di atas meja.
“Empat tahun lalu,” ucapnya perlahan, setiap kata terdengar jelas, “apa yang sebenarnya terjadi di Kediaman Keluarga Feng?”
Tatapan Wu Ping berubah. Untuk pertama kalinya sejak ia masuk ke ruangan itu, wajahnya benar-benar menegang.
Wu Ping mengerutkan kening. Sorot matanya berkilat, namun kali ini bukan karena waspada, melainkan karena kebingungan yang dibuat-buat.
“Apa maksud Tuan Muda?” katanya akhirnya, suaranya terdengar datar. “Aku tidak mengerti.”
Boqin Changing tidak segera menjawab. Ia mengamati perubahan kecil pada raut wajah Wu Ping sebelum berkata dengan tenang.
“Hari ini aku berkunjung ke sana. Kediaman Keluarga Feng itu. Namun yang kutemukan hanyalah bangunan rusak, halaman yang ditumbuhi ilalang, dan jejak-jejak bahwa tempat itu telah lama ditinggalkan.”
Wu Ping terdiam. Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang terasa berat. Jari-jarinya perlahan mengepal di atas lutut, lalu kembali mengendur. Ia menunduk sedikit, seakan sedang menimbang sesuatu yang sulit.
“Aku… tidak tahu soal itu,” ujarnya akhirnya. Nada suaranya terdengar wajar, namun terlalu cepat, terlalu rapi. “Aku juga belum lama tinggal di tempat ini.”
Boqin Changing memandangnya tanpa berkedip. Tatapan itu tidak tajam, tidak mengancam, namun justru membuat Wu Ping merasa seolah seluruh pikirannya terbaca. Ada sesuatu yang tidak pas. Jawaban itu terdengar seperti tirai tipis yang sengaja dipasang untuk menutupi sesuatu di baliknya.
Boqin Changing kembali merogoh jubahnya. Kali ini ia mengeluarkan kantong emas lain, ukurannya lebih besar. Ia meletakkannya di atas meja dengan bunyi pelan namun berat.
“Jujurlah saja,” katanya datar. “Aku tidak berniat buruk. Aku hanya mencari kebenaran.”
Wu Ping menatap kantong itu. Tenggorokannya bergerak, namun ia tetap diam. Tidak ada jawaban, tidak ada penolakan, hanya keheningan yang makin menekan.
Sha Nuo yang sejak tadi berdiri dengan tangan terlipat akhirnya mendengus kesal.
“Bertele-tele sekali,” katanya dingin. “Bagaimana kalau aku siksa saja orang ini sampai ia mau bercerita?”
Aura dingin samar langsung merembes keluar dari tubuhnya. Wu Ping refleks menegang.
Namun sebelum Sha Nuo bergerak, suara Boqin Changing terdengar pelan namun tegas.
“Tidak perlu.”
Sha Nuo berhenti, menoleh dengan ekspresi tidak puas, namun tetap menahan diri.
Boqin Changing lalu memandang Wu Ping lagi, kali ini dengan sorot mata yang lebih dalam.
“Mengapa,” ucapnya perlahan, “Kelelawar Putih, Wu Ping, tiba-tiba menjadi pengecut seperti ini?”
Seolah disambar petir, tubuh Wu Ping tersentak. Matanya membelalak. Wajahnya yang tadi berusaha tenang langsung berubah. Tanpa sadar, ia berdiri dan melangkah mundur setengah langkah, mengambil posisi waspada. Napasnya menjadi lebih cepat, dan aura pendekar suci yang selama ini ia tekan sedikit bocor keluar.
“Kau...!” suaranya tercekat. “Bagaimana kau tahu....”
“Wu Ping?” tiba-tiba Shang Mu berseru, matanya membesar. “Astaga… jadi kau Wu Ping yang dikenal dengan nama Kelelawar Putih? Penampilanmu benar-benar berbeda dari yang kuingat.”
Wu Ping tertegun. Tatapannya beralih ke Shang Mu, menelusuri wajah pria tua itu sekali lagi, kali ini dengan perhatian penuh. Rasa asing yang tadi samar kini menghantam ingatannya seperti banjir bandang.
Ia menatap lebih lama. Lalu tubuhnya bergetar. Wajahnya memucat, dan dalam sekejap, seluruh ketegangan di tubuhnya runtuh. Dengan gerakan tergesa namun penuh hormat, ia langsung berlutut di lantai.
“Maafkan hamba Yang Mulia…” suaranya gemetar. “Maafkan hamba karena tidak mengenali Anda. Maafkan hamba, Yang Mulia Kaisar Shang Mu.”
Ruangan itu seketika sunyi.
Shang Mu menghela napas pelan, lalu menggelengkan kepala.
“Bangkitlah,” katanya dengan suara tenang. “Aku bukan kaisar lagi.”
Wu Ping perlahan mengangkat kepalanya. Matanya masih menyimpan keterkejutan, namun kini bercampur dengan rasa ragu yang dalam. Ia berdiri kembali dengan sikap jauh lebih hormat dari sebelumnya.
“Yang Mulia” ucapnya hati-hati, “Akhirnya kita bisa bertemu kembali.”
Shang Mu tersenyum tipis. Ia memandang Wu Ping lebih saksama, lalu mengangguk pelan.
“Benar,” katanya. “Beberapa tahun yang lalu. Di perbatasan barat. Saat itu kau memimpin kelompok aliansi pengintai.”
Wu Ping terdiam. Ingatan lama perlahan muncul. Sebuah sosok berambut dan berjenggot panjang, mengenakan jubah sederhana, namun memiliki wibawa yang membuat para jenderal sekalipun menunduk.
“Itu…” Wu Ping menghela napas pendek. “Tidak heran hamba tidak mengenali Yang Mulia.”
Ia lalu menatap rambut Shang Mu yang saat ini botak lalu melihat rambut panjangnya sendiri, yang terurai hingga punggung. Senyum getir muncul di sudut bibirnya.
“Namun,” Shang Mu tiba-tiba berkata, nada suaranya ringan, “aku justru ingin bertanya. Mengapa sekarang kau berambut panjang? Setahuku dulu kau botak. Bersih, licin, bahkan tanpa sehelai rambut pun.”
Ruangan yang tegang itu seolah mengendur sesaat. Wu Ping tersenyum tipis, kali ini dengan ekspresi pahit.
“Ada alasan tertentu,” jawabnya pelan. “Penampilan lama terlalu mudah dikenali. Terlalu banyak musuh yang mengingat kepala botak Kelelawar Putih.”
Ia lalu mengangkat pandangan dan menatap Shang Mu balik.
“Namun justru hamba yang ingin bertanya,” lanjutnya. “Mengapa Yang Mulia memotong semua rambut Anda? Karena itulah… hamba sama sekali tidak mengenali Anda.”
Shang Mu tertawa kecil. Tawa yang tenang, tanpa beban kekuasaan.
“Aku juga punya alasan khusus,” katanya singkat. “Nama besar terkadang lebih berbahaya daripada pedang.”
Di kursinya, Sha Nuo yang sejak tadi diam tiba-tiba tertawa terbahak ringan.
“Hahaha… manusia memang aneh. Mengubah rambut seolah bisa mengubah nasib.”
Wu Ping langsung menoleh. Sorot matanya mengeras. Ada rasa tidak suka yang jelas terpancar.
“Kurang ajar,” katanya dingin. “Berani-beraninya kau menertawakan Yang....”
“Cukup,” potong Shang Mu sambil mengangkat tangan. Ia menatap Wu Ping dengan tenang. “Tuan Nuo adalah sekutuku.”
Wu Ping terdiam, namun wajahnya jelas tidak puas.
“Sekutu?” ulangnya. “Dengan sikap seperti itu? Ia benar-benar tidak menghormati anda Yang Mulia.”
Shang Mu mengangguk ringan.
“Biarkan saja. Lagipula ia bukan sekadar sekutu biasa.”
Ia menoleh sedikit ke arah Sha Nuo.
“Seorang pendekar dengan kekuatan luar biasa. Seseorang yang, jika mau, bisa menghancurkan sebuah kota dengan mudah.”
Wu Ping membeku.
Matanya melebar, lalu perlahan bergeser menatap Sha Nuo dari ujung kepala hingga kaki. Tidak ada aura mencolok, tidak ada tekanan mengerikan. Namun justru itu yang membuat jantungnya berdebar keras.
“Mustahil…” gumamnya. “Jangan bilang… dia adalah pendekar bumi?”
Shang Mu tersenyum samar.
“Benar.”
Wu Ping menelan ludah.
“Pendekar bumi awal?”
Shang Mu menjawab dengan nada santai, seolah membicarakan cuaca.
“Di puncak.”