Demi melanjutkan hidup, Hanum terpaksa melarikan diri keluar kota untuk menghindari niat buruk ayah dan ibu tiri yang ingin menjualnya demi memperbanyak kekayaan. Namun siapa sangka kedatangannya ke kota itu justru mempertemukannya dengan cinta masa kecilnya yang kini telah menjadi dosen. Perjalanan hidup yang penuh lika-liku justru membawa mereka ke ranah pernikahan yang membuat hidup mereka rumit. Perbedaan usia, masalah keluarga, status, masa lalu Abyan, dan cinta segitiga pun turut menjadi bumbu dalam setiap bab kisah mereka. Lalu gimana rasanya menikah dengan dosen? Rasanya seperti kamu menjadi Lidya Hanum.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Twenty Nine
Abyan menutup pintu mobil dengan kasar
“Lo apa – apaan sih!!” Kesal Abyan.
"Ehh... Santai dong nutup nya"
"Lo rese banget tau gak" kesal Abyan.
“Apaan? Ga jelas lo tiba – tiba”
“maksud lo apa ngomong gitu ke orang – orang kantor tadi?”
Darren melirik sekilas ke arah Abyan yang tengah kesal, ia terkekeh.
“Lo itu harus siap, lagian lo itu mau nikah. Ya semua orang harus tahu lah, apalgi lo ikut program pemerintah gak mungkin sembunyi – sembunyi. Bego lu”
"Ya tapi gak sekarang juga"
"Ah bodo amat..." Darren tidak peduli.
Abyan menyugar rambutnya kasar. Darren lalu menyodorkan paper bag berisi baju ganti untuk Abyan.
“Nih mending lo ganti baju”
“Ribet amat sih!”
“Lo itu mau ketemu cewek yang akan jadi calon istri lo anjir, bukan ketemu klien. Gak usah banyak tanya cepetan lo ganti”
Abyan menghembuskan nafasnya kasar.
Abyan mengambil paper bag itu dengan tatapan sinis, ia lalu keluar dari mobil dan berganti pakaian di toilet umum.
Beberapa menit kemudian Abyan kembali dengan memakai jaket parka berwarna abu – abu, ia lalu sedikit menunduk untuk berkaca pada spion mobil. Ia membenarkan gaya rambutnya, Darren lalu menurunkan kaca mobil dan melihat dengan jelas apa yang dilakukan sepupunya itu.
“nah gitu dong, sumpah lo ganteng banget. Kalau gue jadi cewek, gue mau kok jadi istri lo tanpa dikontrak” Darren terkekeh geli.
Abyan lalu membuka pintu mobil dan melemparkan paper bag ke wajah Darren.
“Anjir... kasar bener sih jadi cowok”
“Buruan jalan”
“Baiklah Mas Abyan” ucap darren dengan suara yang di imut – imutkan seperti seorang perempuan dan Abyan melemparkan paper bag sekali lagi ke wajah Darren.
“Sakit begooooo”
“Buruan jalan”
Darren memegang wajahnya yang sedikit sakit.
***
Sebuah kafe di sudut kota menjadi saksi pertemuan yang akan mengubah hidup tiga orang malam itu.
Abyan duduk di seberang Zea, tangannya mengepal di bawah meja. Ia berusaha menyembunyikan kegugupan yang semakin meningkat.
Darren, yang duduk di sampingnya, justru terlihat santai. Namun, sesekali pria itu mencuri pandang ke arah Zea dengan ekspresi penuh harap.
Zea tampak tenang, meskipun ada sedikit kecanggungan dalam sorot matanya. Ia melirik Abyan, lalu menarik napas dalam.
"Gue udah memikirkan permintaan lo, Abyan,"
Abyan menelan ludah, jantungnya berdetak lebih cepat.
"Dan... Gue menerimanya," lanjut Zea dengan senyum tipis.
Abyan membelalakkan mata. "Apa?"
Sebelum Zea sempat menjelaskan, Darren sudah melonjak kegirangan. "WOY! LO DITERIMA, BYAN!"
Orang-orang di sekitar mereka menoleh karena suara Darren yang berlebihan, tapi pria itu tak peduli.
Darren menepuk-nepuk bahu Abyan dengan penuh semangat. "Gila, lo! Gue kira Zea bakal nolak, eh ternyata diterima!"
Abyan masih terdiam. Ia tidak menyangka Zea benar-benar menerima lamarannya.
Zea tersenyum kecil melihat reaksi Abyan. "Kenapa? Lo terkejut?" tanyanya pelan.
Abyan berdeham, mencoba menguasai dirinya. "Gue cuman... Nggak nyangka aja lo bakalan setuju."
Zea menundukkan pandangannya, mengaduk-aduk minuman di depannya. "Gue tahu ini tiba-tiba. Gue juga tahu lo belum memberi alasan kenapa lo ingin menikah dengan gue."
Abyan menegang, jantungnya mencelos mendengar kata-kata Zea.
Zea melanjutkan, "Tapi gue berharap, setelah kita menikah, gue bisa buat Lo jatuh cinta sama gue."
Hening.
Abyan tak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa menatap gadis di hadapannya yang dengan tulus berharap bahwa pernikahan ini akan berjalan bukan hanya sebagai kesepakatan, tetapi juga sebagai kisah cinta yang nyata.
Darren yang biasanya banyak bicara pun ikut terdiam.
Abyan mengalihkan pandangan, merasa bersalah.
Karena jika Zea tahu alasan sebenarnya... mungkinkah ia akan tetap menerima lamaran ini?
Namun, untuk saat ini, Abyan memilih untuk tetap diam.
Ia hanya bisa berharap, keputusannya ini tidak akan melukai hati seseorang di masa depan.
Setelah keheningan yang cukup lama, Abyan akhirnya memberanikan diri untuk berbicara.
"Zea terimakasih sebelumnya telah menerima lamaran gue... Tapi gue ingin lo ketemu dengan keluarga gue minggu ini."
Zea yang baru saja menyesap minumannya, langsung membeku.
"Minggu ini?" ulangnya pelan, mencoba memastikan ia tidak salah dengar.
Abyan mengangguk, ekspresinya serius. "Ya, gue ingin kita bertemu mereka sebelum semuanya semakin jauh."
Zea menggigit bibirnya, menundukkan kepala. Bukan karena ia tidak mau, tapi karena ia tahu betul seperti apa keluarga Abyan.
Seorang ayah yang bahkan tidak menganggap Abyan ada.
Seorang ibu tiri yang membencinya setengah mati.
Dan kakak kandung nya Adryan, yang hanya ingin menjatuhkannya.
Darren melihat perubahan ekspresi Zea dan langsung menyenggol lengan Abyan. "Byan, lihat tuh. Cewek lo sampe pucat gitu. Lo nggak bisa buru-buru kayak gini."
Abyan menghela napas. "Gue tahu ini berat buatmu, Zea. Tapi cepat atau lambat, kamu harus bertemu mereka. Kalau kita benar-benar akan menikah, keluarga gue pasti ingin tahu siapa calon istri gue."
Zea menatapnya ragu. "Tapi, Abyan... keluarga Lo itu nggak seperti keluarga biasa."
Darren tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Itu sih benar. Mereka lebih cocok masuk drama keluarga penuh intrik."
Zea tidak tertawa.
"Gue takut, Abyan," akhirnya ia mengakui. "Gue tahu bagaimana bokap lo. Gue tahu gimana nyokap tiri yang benci sama lo . Dan ada Adryan... dia pasti akan mencari cara untuk ngancurin hidup Lo"
Abyan menatap Zea dalam.
"Gua nggak akan membiarkan mereka nyakitin Lo zea."**
Zea menelan ludah. "Bagaimana kalau bokap lo menolak?"
Abyan terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara rendah. "Gue udah nggak peduli apakah dia menerima atau nggak. Yang penting bagi gue adalah Lo siap menjalani ini sama gue"
Darren ikut menambahkan, "Dengar, Zea. Kalau ada yang macam-macam, gue dan Abyan yang akan hadapi mereka. Jadi Lo nggak perlu jawab pertanyaan sulit kalau nggak mau."
Zea menggigit bibirnya, pikirannya penuh keraguan.
Tapi saat ia melihat kesungguhan di mata Abyan, sesuatu dalam dirinya mulai luluh.
Akhirnya, ia menarik napas dalam dan mengangguk pelan.
"Baiklah, Abyan. Gue akan ikut bertemu dengan keluarga Lo"
Abyan tersenyum tipis, meskipun ia tahu pertemuan ini tidak akan berjalan dengan mudah.
Dan di sudut hatinya, ia merasa semakin jauh dari kejujuran yang seharusnya ia katakan sejak awal.
***
Di salah satu sudut kantor, Ara, Fio, dan Dito duduk bersebelahan dengan ekspresi penuh penyesalan.
Mereka baru saja menyadari sesuatu yang mereka abaikan—perasaan Arumi terhadap Abyan.
Karena beberapa jam yang lalu, grup chat mereka hanya berisi obrolan tentang pernikahan Abyan. Mereka terlalu sibuk membahas kabar besar itu, sampai lupa ada seseorang yang terluka di antara mereka.
Dan orang itu adalah Arumi.
Ara menatap layar ponselnya, membaca ulang chat-chat mereka. "Kita bodoh banget."
Fio menyesap kopinya dengan ekspresi muram. "Kita bahkan nggak nanya kabarnya. Dan dia cuma baca tanpa ikut nimbrung. Nggak kayak biasanya dia selalu exited, tapi sekarang chat pribadi gue bahkan di balas, apa dia marah ya sama gue?"
Dito bersandar ke kursinya, mengusap wajahnya dengan frustasi. "Gue pikir dia biasa aja... Ternyata enggak."
"Biasa aja gimana, Lo lupa gimana exited nya dia ketika lagi bahas Abyan? Dia secinta itu woy... Tapi kita malah??" Ara menepuk jidatnya.
Mereka bertiga menoleh ke meja Arumi yang kosong. Biasanya mereka nongkrong bareng di kantor, dan bercerita hal-hal random. Mengingat ekspresi wajah Arumi yang begitu murung sore tadi, mereka baru sadar bahwa Arumi sedang terluka.
"Kita harus ngomong sama dia," kata Ara tegas.
Fio dan Dito mengangguk setuju.
---
Malam itu mereka akhirnya mendatangi tempat kost Arumi.
Arumi yang baru pulang dan sedang merebahkan diri di kasur kembali bangun untuk melihat siapa yang malam-malam datang ke kost nya.
Begitu menyadari kehadiran mereka, Arumi menoleh sebentar lalu kembali menunduk, pura-pura memerhatikan jam di handphonenya.
"Eh kalian ngapain malam-malam datang kesini?"
Arumi mempersilahkan mereka untuk masuk.
Ara yang pertama kali bicara. "Ru, kita minta maaf."
Arumi diam.
Fio duduk di sebelahnya. "Kita sadar, kita keterlaluan. Kita terlalu sibuk ngomongin Abyan sampai lupa kalau Lo..." Ia terhenti, ragu melanjutkan.
Dito menyelesaikan kalimatnya. "Sampai lupa kalau Lo suka sama Abyan."
Arumi mendengus kecil. "Baru sadar sekarang?" suaranya terdengar getir.
Ara menggigit bibirnya, merasa bersalah. "Iya. Kita telat banget nyadar. Dan kita benar-benar minta maaf."
Fio menggenggam tangan Arumi. "Lo pasti sakit hati banget, ya?"
Arumi tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak mencapai matanya. "Ya... Begitulah."
Dito menghela napas panjang. "Kalau lo mau marah sama kita, nggak apa-apa. Kita pantas dimarahin."
Arumi menatap mereka satu per satu. Sebenarnya, ia tidak bisa benar-benar marah. Mereka tetap sahabatnya, meskipun kadang mereka bisa sangat bodoh.
Ia menghela napas. "Gue nggak marah. Cuma... ya, kecewa aja."
Ara menggigit bibirnya. "Kita janji nggak akan mengabaikan perasaan Lo lagi."
Fio menambahkan, "Dan kalau Lo butuh teman buat cerita atau sekadar mengutuk nasib, kita selalu ada buat Lo."
Arumi akhirnya tersenyum sedikit lebih tulus. "Terima kasih."
Mereka bertiga saling bertukar pandang dan akhirnya tertawa kecil. Mungkin mereka terlambat menyadari, tapi mereka akan berusaha menebus kesalahan mereka.
Dan Arumi, meskipun hatinya masih sakit, setidaknya ia tahu ia tidak sendirian.
***
Lanjut thorrr lanjut