Cegil? itulah sebutan yang pantas untuk Chilla yang sering mengejar-ngejar Raja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sakit
Raja keluar dari kamar mandi dengan santai, hanya mengenakan celana pendek tanpa kaus, memperlihatkan perut kotak-kotaknya yang terbentuk sempurna. Rambutnya masih basah, tetesan air perlahan mengalir dari leher hingga dadanya. Ia mengeringkan rambut dengan handuk sambil berjalan ke arah lemari pakaian, tak menyadari tatapan intens Chilla yang duduk di tepi kasur.
Chilla menatap Raja dengan mata berbinar, senyumnya tak bisa ditahan. "Wow," gumamnya pelan, tapi cukup keras untuk didengar Raja.
Raja menoleh, menatap Chilla dengan ekspresi datar. "Apaan sih lo?" tanyanya, lalu melanjutkan mengeringkan rambutnya.
Chilla tak menggubris nada kesal Raja. Ia malah bangkit, berjalan mendekati Raja dengan langkah ringan. "Boleh gue pegang?" tanyanya sambil menunjuk perut kotak-kotak Raja dengan dagunya.
Raja mengerutkan kening, menatap Chilla dengan tatapan tidak percaya. "Ck! Cewek mesum. Jangan macam-macam lo," ujarnya, menyentil pelan jidat Chilla.
Namun, Chilla hanya terkekeh, tampak tidak terpengaruh. "Cuma satu kali aja, please. Tangan gue udah gatel banget pengen pegang perut lo," katanya dengan nada memelas, tapi matanya berkilat penuh tekad.
Raja memutar matanya, lalu dengan tegas berkata, "Gak!"
"Oke," sahut Chilla tiba-tiba. Raja sempat mengira Chilla menyerah, tapi ia salah besar.
Tanpa aba-aba, Chilla mendorong tubuh Raja hingga pria itu jatuh terlentang di atas kasur. Sebelum Raja sempat bangkit, Chilla sudah naik ke atas tubuhnya, menahannya dengan posisi yang sulit untuk Raja hindari.
"Chilla! Lo apaan sih? Turun, gue serius!" seru Raja, suaranya campuran antara kesal dan canggung.
Chilla malah tersenyum lebar. "Gue udah minta secara baik-baik, tapi lo tetep nolak. Maka jangan salahin gue kalau gue nekat," katanya dengan nada santai, tangannya sudah bergerak mengusap pelan perut kotak-kotak Raja.
Raja langsung meremang, tubuhnya bereaksi secara refleks terhadap sentuhan Chilla. "Chilla, lo gak bercanda, kan?" desisnya dengan nada rendah.
Chilla terkekeh pelan. "Menurut lo? Nih, gue pegang biar puas," katanya sambil menggerakkan tangannya perlahan, mengeksplorasi perut Raja. "Gila, perut lo keras banget. Kayak papan catur, keren sih."
Raja mencoba menggerakkan tubuhnya untuk mengusir Chilla, tapi posisinya terlalu sulit untuk melawan. "Lo ini benar-benar cewek gila. Gue udah bilang, jangan macam-macam!" serunya, nadanya lebih tegas, tapi rona merah mulai terlihat di wajahnya.
Chilla memiringkan kepala, menatap wajah Raja yang kesal sekaligus canggung. "Iya, gue gila. Gila sama lo," jawabnya santai.
"Apa-apaan sih lo ngomong kayak gitu?" Raja berusaha menyingkirkan tangan Chilla dari perutnya, tapi Chilla tetap bertahan.
"Gue serius," kata Chilla, suaranya lebih lembut sekarang. Tatapan jahilnya berubah sedikit serius. "Lo itu gak sadar betapa banyak orang yang pengen ada di posisi gue sekarang. Tapi gue yang beruntung karena gue gak nyerah buat deketin lo."
Raja terdiam sejenak, tidak tahu harus berkata apa. Dia merasa Chilla terlalu sulit dipahami—antara menyebalkan dan, dalam momen tertentu, membuatnya kehilangan kata-kata.
Namun, sebelum ia bisa membalas, Chilla turun dari tubuhnya, berdiri dengan wajah penuh kemenangan. "Oke, gue udah puas. Lo boleh marah kalau mau, tapi gue gak nyesel."
Raja segera bangkit, menatap Chilla dengan campuran kesal dan lelah. "Lo beneran bikin gue gila, tau gak?"
Chilla hanya tersenyum lebar, lalu melangkah keluar dari kamar.
*****
Malam itu, suasana hening di kamar mereka. Angin malam yang masuk dari celah jendela membuat suasana semakin dingin. Raja yang sedang tertidur pulas tiba-tiba terbangun karena suara lirih di sampingnya.
“Dingin…” bisik Chilla dengan nada lemah, tubuhnya menggigil di balik selimut tebal.
Raja mengerutkan dahi, setengah sadar ia menoleh ke arah Chilla. Wajah gadis itu tampak pucat, matanya terpejam rapat, tapi bibirnya terus mengguman kata yang sama. “Dingin…”
“Lo kenapa?” tanya Raja dengan nada khawatir. Ia menggoyangkan tubuh Chilla pelan, mencoba membangunkannya.
Namun, Chilla tidak merespons. Tubuhnya tetap kaku, hanya gemetar kecil yang terlihat. Raja mulai panik. Ia duduk tegak di atas tempat tidur, memeriksa suhu tubuh Chilla dengan menempelkan punggung tangannya ke dahi gadis itu.
“Panas banget!” Raja berseru pelan, merasa suhu tubuh Chilla bertolak belakang dengan apa yang ia keluhkan. Badannya panas, tapi ia terus menggigil seperti kedinginan.
“Chilla, bangun,” ujar Raja lagi, kali ini lebih tegas. Namun, Chilla hanya mengguman pelan, tubuhnya tetap bergerak gelisah di bawah selimut.
Raja kebingungan. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Tidak ada siapa pun di rumah untuk dimintai bantuan, dan ini pertama kalinya ia menghadapi situasi seperti ini. Raja melihat ke sekitar, mencari sesuatu yang mungkin bisa membantu, tapi nihil.
Akhirnya, dengan napas berat, Raja mengambil keputusan. Ia menyibak selimut yang menutupi tubuh mereka berdua. Angin dingin langsung menyapa kulitnya, membuat Raja menggigil sejenak. Namun, ia mengabaikan itu.
“Sorry, gue nggak punya cara lain buat bantu lo,” gumam Raja lirih, meskipun ia tahu Chilla tidak mendengarnya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Raja membuka kaosnya sendiri, hingga ia bertelanjang dada. Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Chilla.
Tanpa berpikir dua kali, ia membuka kaos Chilla, meskipun melakukannya dengan hati-hati. Raja berusaha untuk tidak memperhatikan lebih dari yang seharusnya, fokusnya hanya pada satu hal yaitu membuat Chilla merasa lebih hangat.
Setelah itu, ia menarik tubuh Chilla ke dalam pelukannya. Tubuh gadis itu dingin, bertolak belakang dengan panas yang dirasakan di dahinya. Raja memeluknya erat, memastikan tubuh mereka saling berbagi kehangatan.
“Ssst, tidur lagi ya,” bisiknya pelan, mencoba menenangkan Chilla. Tangannya menepuk-nepuk punggung gadis itu dengan lembut, seperti menenangkan anak kecil yang sedang gelisah.
Raja tetap memeluk Chilla, meskipun posisinya terasa canggung. Tubuhnya mulai terasa hangat karena kontak langsung dengan tubuh Chilla. Perlahan, ia merasakan napas gadis itu mulai teratur, tidak lagi tergesa-gesa seperti sebelumnya.
“Semoga ini membantu,” gumam Raja, menatap wajah Chilla yang kini terlihat sedikit lebih tenang.
Waktu berlalu, dan Raja tetap dalam posisi itu. Meskipun tubuhnya sendiri mulai terasa pegal, ia tidak berniat melepaskan pelukannya. Entah kenapa, ada rasa tanggung jawab yang ia rasakan untuk memastikan Chilla baik-baik saja.
Setelah beberapa saat, Chilla mulai bergerak pelan di dalam pelukannya. Matanya terbuka sedikit, dan ia tampak bingung melihat posisi mereka. “Ren…?” suaranya serak, nyaris tidak terdengar.
Raja menatapnya, ekspresi wajahnya sulit ditebak. “Lo ngerasa lebih baik?” tanyanya singkat.
Chilla mengangguk pelan, meskipun masih terlihat bingung. Ia menyadari bahwa tubuh mereka begitu dekat, dan wajahnya langsung memerah. “Lo ngapain?” tanyanya dengan nada lemah.
“Lo tadi menggigil parah, gue nggak punya pilihan lain. Gue cuma mau lo nggak kedinginan lagi,” jawab Raja jujur, nada suaranya terdengar sedikit kesal.
Chilla terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia juga tidak bisa menyangkal bahwa pelukan Raja membuatnya merasa jauh lebih baik.
“Lo masih panas, tapi udah nggak menggigil lagi. Lo butuh obat atau mau gue cari bantuan?” tanya Raja lagi, suaranya kini lebih lembut.
Chilla menggeleng pelan. “Nggak usah. Gue cuma perlu istirahat. Makasih, Ren,” ucapnya singkat, sambil mengalihkan pandangannya.
Raja hanya mengangguk, lalu melepaskan pelukannya. Ia segera mengambil kaos mereka yang tergeletak di lantai, memberikan milik Chilla lebih dulu. “Pakai ini,” katanya singkat.
Setelah keduanya berpakaian, Raja membaringkan Chilla kembali di tempat tidur, memastikan selimutnya menutupi tubuh gadis itu dengan baik. Ia duduk di sisi tempat tidur, memeriksa dahi Chilla sekali lagi.
“Lo masih panas. Besok kita ke dokter,” ucap Raja tegas.
Chilla tidak menjawab, hanya menatap Raja dengan ekspresi yang sulit diartikan. Dalam diam, ia merasa bahwa ada sisi lain dari Raja yang baru saja ia lihat—sisi yang peduli, meskipun ia tidak pernah mau mengakuinya.
******
Sinar matahari menembus tirai jendela apartemen, menandakan hari yang baru dimulai. Namun, Raja tidak bersiap-siap ke sekolah seperti biasanya. Ia justru duduk di tepi tempat tidur, memperhatikan Chilla yang masih tertidur lemah. Wajahnya sedikit lebih segar dibandingkan semalam, tapi Raja tetap merasa khawatir.
Setelah beberapa saat, ia memutuskan untuk memanggil dokter ke apartemennya. Bukan karena ia benar-benar peduli,setidaknya itulah yang ia coba yakinkan pada dirinya sendiri, tetapi karena Chilla adalah istrinya. Walaupun ia belum bisa menyukai gadis itu, ada tanggung jawab yang tidak bisa ia abaikan.
Raja berjalan ke dapur sambil memegang ponselnya. Ia membuka beberapa lemari, mencari bahan makanan yang bisa ia masak untuk Chilla. Tangannya meraih sebuah kotak beras, dan setelah menimbang-nimbang sejenak, ia memutuskan untuk mencoba memasak bubur. Namun, begitu ia memulai, Raja segera menyadari bahwa ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
"Ma, ini gimana sih? Aku nggak bisa," keluh Raja saat menelepon Mama Cantika, ibunya.
Mama Cantika di seberang telepon tertawa kecil. "Masak bubur itu gampang, Raja. Kamu tinggal cuci berasnya, tambahkan air, terus masak di atas api kecil. Jangan lupa diaduk biar nggak gosong."
Raja mengerutkan dahi sambil mengikuti instruksi. "Terus ini bumbu-bumbunya apa aja? Mana aku tahu bubur itu rasanya gimana."
Mama Cantika mendesah. "Kasih garam sedikit, tambahin kaldu ayam kalau ada. Nanti sore mama ke sana aja deh. Jaga Chilla baik-baik, awas kalau kamu sampai nyakitin menantu mama," ucapnya dengan nada setengah bercanda, setengah serius.
Raja mendengus kesal. "Ck! Selalu aja gitu. Anak mama tuh aku, bukan Chilla."
Mama Cantika tertawa lagi sebelum menutup telepon. Raja hanya bisa menghela napas, melanjutkan usahanya memasak bubur.
Setelah beberapa saat, akhirnya bubur yang dimasaknya mulai terlihat seperti bubur. Walaupun tidak yakin dengan rasanya, Raja menuangkan bubur itu ke dalam mangkuk dan menatanya di atas nampan bersama segelas air putih. Ia membawa nampan itu ke kamar, meletakkannya di atas meja kecil di samping tempat tidur.
“Chilla, bangun. Makan dulu,” ucap Raja sambil mengguncang pelan bahu Chilla.
Chilla membuka matanya perlahan, menatap Raja dengan wajah bingung. "Lo nggak sekolah?" tanyanya dengan suara serak.
“Enggak. Gue panggil dokter buat periksa lo. Sekarang makan dulu,” jawab Raja singkat, menggeser meja kecil itu agar lebih dekat dengan Chilla.
Chilla mengangkat tubuhnya dengan susah payah, duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Ia menatap mangkuk bubur di hadapannya, lalu melirik Raja. "Lo yang masak ini?"
“Iya. Kalau nggak suka, jangan bilang apa-apa. Gue udah capek masaknya,” ujar Raja dengan nada defensif, membuat Chilla tertawa kecil.
Chilla mengambil sendok, mencicipi bubur itu perlahan. Rasanya memang jauh dari sempurna, tapi ia tidak ingin mengeluh. Bagaimanapun, ini pertama kalinya Raja memasak untuknya. “Lumayan,” komentar Chilla dengan senyum tipis.
Raja yang duduk di kursi di dekat ranjang hanya mengangkat bahu. “Ya, gue nggak jamin enak, tapi yang penting lo makan biar sembuh.”
Keheningan melingkupi mereka selama beberapa saat, hanya terdengar suara sendok yang menyentuh mangkuk. Raja melirik Chilla beberapa kali, memastikan gadis itu menghabiskan makanannya.
“Kenapa lo repot-repot masak buat gue?” tanya Chilla tiba-tiba, menatap Raja dengan mata yang sedikit berbinar.
Raja terdiam sejenak sebelum menjawab dengan nada datar, “Lo istri gue. Gue nggak suka lo, tapi gue juga nggak akan biarin lo sakit begitu aja.”
Jawaban itu membuat senyum kecil muncul di wajah Chilla. Meskipun Raja bersikap dingin, ia tahu ada sisi lembut dari suaminya yang jarang terlihat.
Beberapa menit kemudian, dokter datang untuk memeriksa Chilla. Setelah pemeriksaan selesai, dokter memberikan beberapa obat dan memastikan bahwa kondisi Chilla tidak terlalu serius. "Dia hanya butuh istirahat dan asupan yang cukup. Kalau besok masih lemah, sebaiknya dibawa ke rumah sakit," ujar dokter sebelum pergi.
Setelah dokter pergi, Chilla berbaring lagi di tempat tidur. Raja membereskan nampan di sampingnya, membawa mangkuk kosong ke dapur. Ketika ia kembali, Chilla sudah memejamkan matanya lagi.
Raja duduk di kursi di sebelah tempat tidur, memandangi Chilla yang terlihat lebih tenang. Ia tidak tahu kenapa, tapi melihat Chilla perlahan pulih membuatnya merasa lega. Meski ia selalu menyangkal perasaan apapun terhadap gadis itu, ada sesuatu yang membuatnya ingin tetap berada di sana, memastikan semuanya baik-baik saja.
****
Matahari sudah tinggi, menunjukkan waktu hampir tengah hari. Raja duduk di sisi tempat tidur, memperhatikan Chilla yang terlihat lemah. Tubuhnya menggigil meski suhu ruangan terasa hangat. Chilla mengerang kecil, menutup matanya sejenak sebelum mengeluh dengan suara pelan, “Pusing, Raja. Kepala gue pusing banget.”
Raja menghela napas panjang. Sudah sejak pagi ia berada di samping Chilla, memastikan gadis itu tidak kekurangan apapun. Ia belum memberitahu Bunda Naya dan Ayah Biru, mertuanya, tentang kondisi Chilla. Orang tua Chilla sedang berada di luar kota, jadi menghubungi mereka hanya akan membuat suasana semakin tegang.
“Gak enak banget badan gue, lemes,” keluh Chilla lagi. Ia membuka matanya perlahan, menatap langit-langit dengan pandangan kosong. “Gue kangen bunda…” lanjutnya dengan suara yang mulai bergetar.
Raja menoleh, memperhatikan Chilla yang tampak seperti anak kecil yang kehilangan arah. “Biasanya kalo gue sakit, bunda bakal peluk gue, atau ayah yang peluk gue. Gue kangen mereka,” lirih Chilla.
Ia berhenti sejenak, menarik napas berat sebelum melanjutkan. “Gue gak mau tinggal di sini lagi, Raja. Gue mau pulang ke rumah aja. Tinggal di sini bikin gue capek. Gue yang biasanya apa-apa disiapin, sekarang harus siapin semuanya sendiri. Gak ada yang peduli sama gue.”
Mendengar itu, hati Raja terasa berat. Ia tidak tahu bagaimana menanggapi ucapan Chilla. Selama ini, ia hanya melihat gadis itu sebagai sosok yang keras kepala dan penuh drama. Tapi sekarang, di hadapannya, Chilla tampak rapuh. Raja tahu, sebagai anak tunggal, Chilla selalu dikelilingi orang-orang yang menyayangi dan memanjakannya. Dan dirinya? Ia bukan seseorang yang bisa disebut lembut atau penyayang. Sejak awal, ia bahkan sering berkata kasar dan memaki Chilla, merasa kesal dengan semua tingkah gadis itu.
Namun, kali ini berbeda. Melihat Chilla yang terbaring lemah, Raja merasa ada sesuatu yang menekan dadanya. Tanpa banyak berpikir, ia duduk di sisi Chilla dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Raja menyandarkan kepala Chilla ke dadanya, membiarkan gadis itu merasakan kehangatan tubuhnya.
Chilla membuka matanya, terkejut dengan tindakan Raja. “Kenapa lo tiba-tiba baik sama gue?” tanyanya, suaranya terdengar lemah. “Bukannya lo benci sama gue? Seharusnya hari ini lo seneng, kan? Gara-gara gue sakit, gue gak bisa gangguin lo lagi.”
Raja terdiam sejenak, mencoba merangkai kata. Ia tahu bagaimana menjawab dengan jujur, tapi itu bukan sesuatu yang mudah baginya. “Gue gak pernah seneng ngeliat lo sakit, Chilla,” ujarnya akhirnya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
“Lo selalu bilang gue benci sama lo,” lanjutnya. “Tapi sebenarnya… gue cuma bingung. Lo tuh keras kepala, nggak pernah nyerah. Gue nggak ngerti kenapa lo bisa suka sama orang kayak gue. Gue tahu gue sering bikin lo sakit hati, tapi lo tetep ada di sini.”
Chilla mendengarkan dengan tenang, matanya mulai berkaca-kaca. “Lo gak ngerti, Raja. Gue suka sama lo bukan karena lo sempurna, tapi karena lo apa adanya. Lo selalu jujur, meskipun itu nyakitin gue. Gue cuma pengen lo ngeliat gue, nerima gue…”
Raja menghela napas. “Gue nggak janji bisa langsung berubah, Chilla. Tapi gue akan coba untuk nggak terlalu kasar sama lo.”
Chilla tersenyum kecil, meski tubuhnya masih terasa lemah. Ia menyandarkan tubuhnya lebih dekat ke Raja, menikmati kehangatan yang jarang sekali ia rasakan darinya.
“Saat ini aja cukup,” bisik Chilla pelan. “Untuk sekarang, gue cuma pengen lo di sini…”
Raja tidak menjawab. Ia hanya mengeratkan pelukannya, membiarkan gadis itu menemukan kenyamanan dalam dirinya. Untuk pertama kalinya, Raja merasa ada sesuatu yang mulai berubah. Meski kecil, perasaan itu ada—dan ia tahu, mungkin ia tidak sekeras yang selalu ia tunjukkan.