Naya seorang istri yang sedang hamil harus menerima takdir ditinggal suaminya karena kecelakaan. Pada saat sedang dalam perjalanan ke kampung halaman, suaminya yang bernama Ammar jatuh dari Bus antar kota yang ugal-ugalan.
Sebelum Ammar tewas, dia sempat ditolong oleh sahabatnya yang kebetulan mobilnya melintas di jalan tol. Tak disangka Ammar menitipkan amanah cinta kepada sahabatnya bernama Dikara yang berprofesi sebagai dokter.
Padahal saat itu Dikara sudah bertunangan dengan seorang wanita yang berprofesi sama dengannya.
Akahkah Dika menjalani amanah yang diberikan sahabatnya? Atau dia akan tetap menikahi tunangannya?
Apakah Naya bersedia menerima Dikara sebagai pengganti Ammar?
Cinta adalah amanah yang diberikan Allah SWT terhadap pasangan. Namun bagaimana jadinya jika amanah itu dinodai oleh pengkhianatan?
Yuk lah kita baca selengkapnya kisah ini!
Happy reading!💕
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FR Nursy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27 Kenyataan Pahit
Amanda mendekap hapenya begitu mendapat pesan dari Dikara. Sesekali ia baca pesan singkat yang mengajaknya buka puasa bersama di sebuah restoran ternama di Jakarta.
"Akhirnya kau menepati janjimu, Sayang,"
Senyumnya tidak pernah pupus setelah mendapat pesan manis tersebut. Ia mencoba beberapa stel baju yang akan ia kenakan di acara istimewa tersebut. Selama ramadhan, baru kali ini Dikara mengajaknya buka puasa di luar. Sungguh romantis.
Amanda memilih baju yang sesuai dengan momen ramadhan, hijab pashmina, vet rajut mocca, dan dress serba earth tone. Menarik dan modis.
Amanda terlihat sangat cantik dan anggun dengan busana pilihannya. Hijab pashmina yang dikenakannya begitu lembut dan terlihat elegan menambah kesan sopan dan santun, sementara vet rajut mocca dan dress serba earth tone-nya membuatnya terlihat modis dan trendy.
Amanda tersenyum sambil menari-nari di depan cermin. Sungguh membuatnya bahagia.
"Kau pasti akan terpesona melihatku Dikara," kata Amanda penuh percaya diri.
"Sebentar lagi kita akan hidup bersama, sayang. Ah aku harus cepat. Aku tidak akan membiarkan Dikara menungguku terlalu lama,"
Sore ini ia terlalu bersemangat. Ia menyambar tas selempang agar terlihat santai.
"Ma...Amanda pergi dulu ya! Amanda diantar sopir, peke mobil papa," Amanda mencium kening mamanya.
"Kamu hati-hati Sayang!" pesan Mamanya yang mulai sibuk di dapur menyiapkan menu buka puasa.
Amanda mengangguk pasti, lalu langsung melesat ke luar rumah.
Dengan diantar sopir ia pergi menggunakan mobil Alphard platinum white pearl.
Di sepanjang perjalanan ia memikirkan kata-kata indah yang akan ia kemas sebagai obrolan santai bersama Dikara.
Waktu yang hanya menghitung bulan akan ia lalui bersama sebagai momen paling bahagia. Melepas masa lajang dengan orang yang sangat dicintai adalah impian banyak orang.
Ia membayangkan betapa indahnya masa depan bersama Dikara. Rumah tangga yang dipenuhi dengan cinta dan kasih sayang mewarnai kebahagiaannya. Apalagi nantinya akan hadir buah hati yang turut meramaikan keluarga kecilnya sebagai pelengkap kebahagiaannya bersama Dikara. Sungguh manis dan sempurna.
Hampir magrib, Amanda sampai di restoran tersebut. Seraya turun dari mobil dan berjalan menuju ke dalam restoran. Hatinya berdebar-debar tidak sabar untuk bertemu dengan Dikara, calon suaminya.
Amanda mencari meja yang dipesan Dikara. Netranya memindai sekitar ruangan. Ia menghampiri meja yang telah dipesan. Amanda tidak melihat Dikara di sana. Ia merasa sedikit kecewa dan bingung, tapi ia masih berharap bahwa Dikara akan segera tiba.
Amanda melihat waktu yang ada di pergelangan tangan kanannya. Dengan sabar Amanda menunggu Dikara datang.
"Duh, aku kok jadi deg-degan begini ya? Padahal makan di luar kan sering dilakukan bersama Dikara sebelum ramadhan, tapi kenapa perasaanku aneh begini?" Amanda menepis keburukan yang sempat singgah di pikirannya.
Selang beberapa menit kemudian, Dikara datang. Ia bergeming sesaat manakala melihat penampilan Amanda yang sangat berbeda dari biasanya.
Biasanya Amanda tidak menutup kepalanya dengan hijab. Ia selalu memperlihatkan rambut legamnya yang indah dipandang mata. Namun kali ini, Amanda terlihat berubah. Sangat cantik, lebih anggun dan elegan, dengan tampilan hijab yang dapat menyihir semua orang.
"Hei, kenapa masih berdiri di situ? Duduk yuk!" Amanda menghampiri Dikara yang masih mematung.
Amanda membimbing Dikara untuk duduk di bangku yang sudah tersedia.
"Aku cantik bukan?" tanya Amanda setelah duduk manis di hadapan Dikara.
Dikara terdiam. Dia tidak ingin jawabannya nanti akan disalah artikan oleh Amanda. Ia hanya tersenyum menatap Amanda.
"Kau tahu Mas, aku dandan seperti ini hanya buat kamu lho. Ya walaupun aku jarang pake hijab, tapi kalau kita udah nikah nanti aku janji akan pake seterusnya," janji Amanda dengan wajah berbinar.
"Kamu sudah memesan takjil buat berbuka nanti?" tanya Dikara tanpa merespon ucapan Amanda barusan.
"Belum. Aku saja baru sampe kok," jawab Amanda sumringah.
Dikara melambaikan tangannya pada seorang waiters yang baru saja menghidangkan takjil di meja yang tidak jauh dari tempatnya.
Waiters itu datang dengan memberikan daftar menu takjil yang istimewa dari restoran tersebut.
Setelah memesan menu takjil, Dikara menanyakan sesuatu yang menurut Amanda terkesan kaku, hal ini terlihat dari sikap Dikara yang sangat berbeda dari biasanya.
"Oiya kamu ke sini dengan siapa?" tanya Dikara hanya sepintas menatap Amanda.
Hal ini membuat Amanda heran. Tidak biasanya Dikara seperti itu. Biasanya Dikara selalu merespon penampilannya yang cantik dan menatapnya lama sambil tersenyum senang, karena setiap penampilan Amanda selalu memberikan kebahagiaan yang sempurna.
"Sopirnya papa," jawabnya singkat, seraya menatap Dikara dengan intens.
"Mas, aku perhatikan akhir-akhir ini sikapmu berubah padaku. Ngobrol aja jadi kaku begini. Tidak seperti sepasang kekasih. Kita ini kan mau menikah beberapa bulan lagi. Seharusnya komunikasi kita tertata dengan baik. Kita seharusnya semakin memperlihatkan kedekatan kita pada orang lain. Ada apa denganmu, Mas. Apa ada masalah?"
Dikara tertawa sumbang. Belum tepat waktu untuk menjelaskan semuanya. Apalagi tinggal 5 menit waktunya berbuka puasa.
Belum juga Dikara menjawab pertanyaan Amanda, seorang waiters datang dengan membawa pesanan.
"Kita buka puasa dulu yuk! Sudah azan," ajak Dikara lembut.
Amanda mengangguk. Hatinya masih berdebar merasa tidak nyaman dengan sikap Dikara yang terkesan cuek. Ia seperti sedang berbuka dengan seorang atasan, walaupun pada kenyataannya memang seperti itu. Dikara seorang pemilik rumah sakit, tempat ia bekerja.
Selesai merampungkan menu bukanya, Dikara mencoba untuk menata hatinya untuk mengungkapkan kebenaran.
"Amanda, sebelumnya aku minta maaf, dengan perubahan tingkah lakuku selama ini..."
Dikara menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan pelan.
Sementara Amanda menatap Dikara dengan wajah sendu. Ia sangat berharap Dikara bisa mengatakannya dengan jujur kalau memang ada permasalahan yang membuatnya berubah sikap.
"Mas, katakan saja dengan jujur, kalau memang Mas ada masalah. Aku siap mendengarkan keluh kesahmu dan aku akan selalu ada di sampingmu. Jangan membuat aku khawatir dengan perlakuanmu padaku. Aku suka orang yang jujur, walaupun endingnya akan pahit dirasakan,"
"Amanda, aku..."
Amanda mengeryitkan kedua alisnya. Ia menunggu ucapan Dikara yang menurutnya sangat lambat.
"Aku...aku tidak bisa melanjutkan rencana pernikahan kita..."
Amanda terhenyak dengan ucapan Dikara. Ia menatapnya dengan tidak percaya.
"Apa maksudmu? Apa ada yang salah denganku selama ini?"
Dikara menggeleng pelan, "Tidak ada yang salah denganmu. Namun keadaan yang membuat kita tidak bisa bersatu..."
"Keadaan? Maksudmu? Apa kamu akan pergi ke suatu tempat yang membutuhkan waktu lama sehingga kamu membatalkan rencana pernikahan kita? Atau ada hal lain?" tanyanya bertubi-tubi. Amanda memicingkan matanya, menunggu jawaban yang pasti dari Dikara.
"Aku...aku akan menikah dengan wanita lain!" akhirnya kalimat itu lolos begitu saja dari bibirnya yang terasa kelu.