Naya seorang istri yang sedang hamil harus menerima takdir ditinggal suaminya karena kecelakaan. Pada saat sedang dalam perjalanan ke kampung halaman, suaminya yang bernama Ammar jatuh dari Bus antar kota yang ugal-ugalan.
Sebelum Ammar tewas, dia sempat ditolong oleh sahabatnya yang kebetulan mobilnya melintas di jalan tol. Tak disangka Ammar menitipkan amanah cinta kepada sahabatnya bernama Dikara yang berprofesi sebagai dokter.
Padahal saat itu Dikara sudah bertunangan dengan seorang wanita yang berprofesi sama dengannya.
Akahkah Dika menjalani amanah yang diberikan sahabatnya? Atau dia akan tetap menikahi tunangannya?
Apakah Naya bersedia menerima Dikara sebagai pengganti Ammar?
Cinta adalah amanah yang diberikan Allah SWT terhadap pasangan. Namun bagaimana jadinya jika amanah itu dinodai oleh pengkhianatan?
Yuk lah kita baca selengkapnya kisah ini!
Happy reading!💕
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FR Nursy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29 Kutitip Amanda Padamu
Dikara setengah berlari menyusul Amanda. Sesungguhnya ia tidak ada niat untuk menyakiti hatinya. Ia memejamkan matanya, berusaha memahami apa yang sudah terjadi barusan.
"Ya Allah apa yang sudah kulakukan pada Amanda? Maafkan aku, Manda. Aku mencintaimu tapi aku tidak bisa memilikimu. Aku berharap, kelak kau mendapatkan laki-laki yang mencintaimu dengan tulus dan suci. Tidak sepertiku yang tidak bisa mempertahankan cinta kita hanya karena sebuah amanah, Aaarrrgh!"
Dikara menjatuhkan kedua lututnya ke aspal, menatap jalanan yang sudah mulai sepi. Tetiba air matanya luruh juga. Ia merasa belahan hatinya telah hilang karena ucapannya.
"Ternyata sesakit ini Ya Allah. Kupikir mudah melepaskan Amandaku. Ternyata aku...aku masih mencintainya..."
Dikara memejamkan matanya. Ia berusaha ikhlas melepas Amanda. Wajahnya menunduk pasrah.
"Hidup itu pilihan Bro. Kalau kamu memang harus memilih Naya, jalani rumah tanggamu dengan Naya sebaik mungkin. Sayangi dia, cintai dia. Lupakan Amanda. Karena Amanda pun berhak bahagia bersama orang lain,"
Suara itu menghentikan tangisnya, ia mendongak melihat seorang laki-laki yang sudah berdiri di hadapannya dengan senyuman yang menawan.
"Irwan, kamu?"
Irwan menghela nafasnya. Beruntung sekali ia bisa bertemu dengan Dikara di tempat itu. Tanpa sepengetahuan Dikara dan Amanda, Irwan melihat keduanya tampak bersitegang. Irwan ke restoran tersebut bersama dengan adik sepupunya yang sengaja minta diantar untuk menemaninya buka puasa di luar.
"Aku paham kondisimu sekarang. Tidak mudah memang melepas orang yang sangat dicintai. Aku bangga padamu, Dikara. Kamu sudah bisa mengambil keputusan yang sulit, yang belum tentu bisa kulakukan. Kamu mau menerima Naya dengan segala kekurangannya. Mau menjadi ayah dari anaknya. Ini sesuatu yang luar biasa. Semoga hidupmu diberkahi Dikara!"
Irwan menepuk bahu Dikara dengan lembut, memberikan kekuatan dan dukungan sepenuhnya atas keputusan yang Dikara ambil.
"Terima kasih, Wan. Kau selalu ada di saat yang tepat."
Dikara memeluk sahabatnya dengan sedikit lebih tenang. Dia memang membutuhkan seseorang yang bisa menenangkan jiwanya.
Tidak lama kemudian, Dikara menguraikan pelukannya. Ia menatap Irwan dengan sendu.
"Kalau Amanda mau, aku akan bahagia jika kau yang menggantikan posisiku menjadi calon suaminya," ucapan itu spontan keluar dari bibirnya.
Irwan tertawa, "Mana mungkin mau, Dik. Dia berkali-kali menolakku. Yaa mungkin karena dia masih terikat denganmu,"
"Jadi selama ini kamu sering menyatakan cinta pada Amanda?" tanya Dikara menelisik sambil menatapnya tak percaya.
Irwan nyengir sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Maaf Bro, hanya sebatas ngetes kesetiaan...," katanya beralasan.
"Kesetiaan?" Dikara menautkan kedua alisnya.
"Ya kesetiaan. Kesetiaan Amanda harus diuji Bro. Agar ia tidak berpaling darimu. Ternyata dia memang setia padamu," Irwan tertawa lagi.
"Ck...ck kau ini masih saja mau berkelit. Amanda memang wanita yang setia. Dia takut kehilangan aku, karena begitu besar cintanya padaku. Kalau kau memang suka sama dia, cinta dan sayang sama dia. Kumohon, perjuangkan dia. Aku rela dia untukmu!"
"Yang benar nih?" tanya Irwan dengan wajah berbinar sambil menampol punggungnya dengan gemas.
"Ya ampun, Wan. Sakit tahu! Sssshh..."
Dikara meringis kena tampolan Irwan yang cukup keras.
"Eeeh maaf...maaf sengaja..."
Irwan tertawa, ia tidak merasa bersalah, namun ia dengan cepat mengusap punggung Dikara yang sakit karena tampolannya.
"Sialan lu pake sengaja segala!"
"Iya maaf...maaf,"
Irwan tertawa bahagia. Ia hanya tinggal memikirkan cara untuk bisa mendekati Amanda kembali.
Sementara Dikara merasa lebih tenang, jika memang Amanda bisa hidup bersama Irwan. Ia hanya berharap Irwan mampu menjaga mantan kekasihnya sebaik mungkin.
"Kamu memang sahabat yang tidak pernah berubah, Wan. Selalu membuatku tertawa dan memberi ku kekuatan. Terima kasih, Bro."
Irwan tersenyum. "Sama-sama, Bro. Aku akan selalu ada untukmu, tidak peduli apa pun yang terjadi. Semoga kita selalu bisa dipertemukan kapan pun dan di mana pun,"
Keduanya berdiri di sana selama beberapa saat, menikmati kebersamaan dan persahabatan sambil menatap bulan sabit yang menerangi mereka di kegelapan malam.
Irwan merangkul pundak Dikara dengan wajah sumringah.
"Aku traktir kau makan bebek bakar madu. Itu makanan kesukaanmu, bukan? Kebetulan di dalam restoran masih ada adik sepupuku. Kita bisa makan bersamanya," ajak Irwan masih ingin menikmati kebersamaan bersama Dikara.
"Tidak. Terima kasih. Aku harus pulang. Banyak hal yang harus aku selesaikan. Ibuku belum memberi restu. Masih butuh perjuangan menuju pelaminan," tolaknya dengan lirih.
"Teruslah memberi pengertian pada Ibumu. Jika sudah, serahkan semuanya pada Allah. Aku tahu Ibumu begitu karena beliau tidak mau anaknya salah memilih pasangan."
"Yah kamu memang benar. Ibuku memang ingin melihatku bahagia. Bismillah aku akan bahagia hidup bersama Naya dan anaknya," ujarnya mantap.
Dikara mendekati mobilnya lalu membuka pintu. Sebelum naik seraya berpesan pada Irwan,
"Jaga Amanda dengan baik. Semoga kalian berjodoh! Aku titip Amanda padamu,"
Irwan tersenyum mengangguk menatap Dikara yang menaiki mobilnya.
"Kamu tenang saja Dikara, akan aku upayakan Amanda bisa secepatnya move on darimu,"
"Terima kasih ya! Assalamualaikum!"
"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh..." jawab Irwan menatap kepergian Dikara bersama mobilnya.
Dikara melajukan mobilnya dengan pelan. Pikirannya bercabang. Antara ibunya dan orang tua Naya yang belum ia ketahui kabarnya.
Hanya beberapa meter dari tempat yang tadi, Dikara menepikan mobilnya untuk menghubungi Naya.
Baru saja Dikara akan menghubunginya, orang yang dituju menghubunginya lebih dulu.
"Assalamualaikum Nay, bagaimana kabarmu dan keluargamu?"
"Waalaikumussalam. Alhamdulillah Mas. Mereka menerima keputusan kita untuk menikah tapi harus menunggu masa iddah selesai," ujar Naya di seberang sana.
"Ya aku tahu. Besok aku jemput kamu untuk menemui orang tuaku. Kamu siap-siap ya! Sekitar pukul 10 aku ke sana!"
"Baik Mas. Apa perlu membawa Dede Sha juga?"
Dikara bergeming. Ia bingung apakah untuk menemui orang tuanya, Naya harus membawa anaknya?
Sementara anaknya Naya masih bayi, masih membutuhkan ASI eksklusif dari Ibunya. Walaupun sebenarnya masih bisa menggunakan metode pumping.
"Itu terserah kamu. Kalau ada yang menjaga Dede Sha di rumah itu lebih baik. Jadi Sha tidak perlu dibawa. Siapkan saja ASI dalam botol dengan menggunakan metode pumping. Kamu paham, kan?"
Jawaban "Ya" terdengar dari seberang sana. Kemudian Dikara mengakhiri pembicaraannya. Ia kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Dikara berharap kehadiran Naya bisa meruntuhkan keegoisan ibunya.