“Kalau kamu nggak pulang sekarang, mama nggak main-main Syas. Mama akan jual kamu!”
Mata Syanas membelalak, tapi lebih karena terkejut mendengar nada serius ibunya dari pada isi ancaman itu sendiri. “Jual aku? Serius Ma? Aku tuh anak mama loh, bukan barang yang bisa dijual seenaknya.”
“Oh, kamu pikir mama nggak bisa?” balas Rukmini, suara penuh ketegasan. “Mama akan jual kamu ke Gus Kahfi. Dia anak teman almarhum papa kamu, dan dia pasti tau cara ngurus anak bandel kayak kamu.”
Syanas mendengar nama itu dan malah tertawa keras. “Gus Kahfi? Mama bercanda ya? Dia kan orang alim, mana mungkin dia mau sama aku. Lagian, kalau dia beneran mau dateng ke sini jemput aku, aku malahan seneng kok Ma. Coba aja Ma siapa tau berhasil!”
Rukmini mendesah panjang, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menutup teleponnya. Syanas hanya mengangkat bahu, memasukkan ponselnya ke saku lagi. Ia tertawa kecil, tak percaya ibunya benar-benar mengucapkan ancaman itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Langkah kaki Syanas semakin melambat. Napasnya mulai memburu, keringat mengalir di pelipisnya, dan kakinya terasa berat seolah setiap langkah adalah hukuman.
Mereka sudah berjalan cukup jauh, dan yang mereka lewati bukan jalan setapak yang indah dengan pemandangan memesona, melainkan hutan lindung yang penuh pepohonan besar, akar menjulur, serta suara-suara misterius dari balik semak-semak.
Syanas menelan ludah merasa tengkuknya meremang setiap kali ada suara ranting patah atau dedaunan bergemerisik tertiup angin. “Yang,” panggilnya dengan suara setengah berbisik.
“Hmm?” jawab Kahfi santai dengan tetap melangkah tanpa terlihat lelah sedikit pun.
“Kita bakal lewat sini terus?” tanyanya dengan nada waspada dengan matanya melirik ke kanan dan kiri untuk berjaga-jaga kalau-kalau ada sesuatu yang tiba-tiba melompat dari semak-semak.
Kahfi melirik ke belakang melihat ekspresi waspada di wajah istrinya. Ia menahan tawa. “Kenapa? Takut?”
“Nggak!” jawab Syanas cepat, tapi langkahnya semakin mendekati Kahfi, seolah mencari perlindungan tanpa mau mengakui ketakutannya.
Kahfi terkekeh pelan, tapi tidak memperpanjang obrolan. Ia hanya melanjutkan langkah dengan tenang, sementara Syanas tetap berusaha menjaga jarak dari semak-semak atau pohon besar yang tampak menyeramkan.
Setelah berjalan cukup lama Syanas mulai menggerutu. “Kenapa nggak sampai-sampai sih? Kamu mau nyiksa aku selama setahun ke depan ya?”
Kahfi tersenyum tipis tapi tetap tidak menjawab. Ia hanya terus berjalan dengan santai, sesekali menyingkirkan ranting atau daun yang menghalangi jalan.
Disisi lain Syanas sudah hampir kehilangan kesabaran. “Aku serius tau. Kalau kita nggak nyampe dalam lima menit lagi, aku mau balik!”
Namun tepat saat ia hendak berhenti dan membalikkan badan Kahfi mengangkat tangan memberi isyarat agar Syanas melihat ke depan. “Lihat itu.”
Syanas menghentikan langkahnya. Mata bulatnya membesar saat pemandangan di hadapannya akhirnya terlihat dengan jelas.
Sebidang tanah luas terbentang di depan mereka, seperti surga tersembunyi yang tidak pernah ia duga ada di tempat terpencil seperti ini.
Perkebunan hijau terbentang sejauh mata memandang, dengan barisan sayur-mayur yang tertata rapi. Beberapa pohon buah yang lebat berjejer di salah satu sisi, sementara di sisi lainnya terdapat kandang hewan ternak.
Ayam berlarian, kambing sedang merumput, dan sapi-sapi terlihat beristirahat di bawah rindangnya pohon.
Udara yang sebelumnya terasa panas kini terasa lebih segar. Hembusan angin membawa aroma alami tanah dan dedaunan, bercampur dengan harum manis dari buah-buahan yang sedang matang di pohon.
Langit biru terbentang luas di atas kepala mereka, sementara suara gemericik air terdengar dari kejauhan, menandakan adanya aliran sungai kecil di sekitar sana.
Syanas terpaku. Untuk pertama kalinya sejak ia datang ke desa ini, ia merasakan sesuatu yang berbeda, kekaguman yang tulus.
“Kita udah sampai,” ucap Kahfi dengan nada bangga. “Gimana? Baguskan?”
Syanas menelan ludah. Matanya masih menyapu seluruh pemandangan, mencoba mencerna keindahan yang baru saja ia lihat.
“Ini tempat beneran ada di sini?” tanyanya pelan dengan masih belum percaya.
Kahfi tertawa. “Menurutmu aku bohong?”
Syanas tidak menjawab. Ia masih sibuk menikmati pemandangan sambil menghirup udara segar yang rasanya jauh lebih bersih dari pada di kota.
Kahfi melangkah mendekat lalu berkata dengan nada menggoda. “Jadi masih mau balik?”
Syanas melirik Kahfi sekilas lalu pura-pura mengalihkan perhatian ke tempat itu. “Aku cuma mau lihat-lihat dulu. Bukan berarti aku tertarik.”
Kahfi mengangkat alis dengan tersenyum penuh arti. “Oh jadi cuma lihat-lihat ya?”
Syanas berdeham mencoba menyembunyikan rasa penasarannya. Tapi dari cara matanya berbinar dan langkahnya yang mulai maju tanpa ragu, Kahfi tahu satu hal, istrinya itu mulai jatuh cinta dengan tempat ini.
“Ayo turun pelan-pelan, jangan sampai jatuh,” ajaknya dengan nada santai.
Syanas melirik ke bawah. Bukit kecil itu tidak terlalu curam, tetapi cukup licin karena banyak dedaunan kering. Ditambah lagi tanahnya sedikit berpasir. Ia menelan ludah, ragu-ragu.
“Kenapa? Takut?” goda Kahfi sambil menaikkan satu alis.
Syanas langsung mendengus. “Nggak! Aku cuma mau hati-hati aja.”
Kahfi terkekeh sebelum menuruni bukit lebih dulu. Langkahnya stabil dan penuh perhitungan. Sementara itu Syanas mengikuti dari belakang dengan sedikit canggung. Setiap kali kakinya menyentuh tanah ia merasa seolah bisa terpeleset kapan saja.
“Pegang aku kalau perlu,” ucap Kahfi tanpa menoleh.
“Nggak perlu!” sahut Syanas cepat.
Kahfi hanya tersenyum tipis. Ia tahu perempuan itu terlalu gengsi.
Mereka melangkah semakin ke bawah melewati akar-akar pohon yang mencuat dari tanah. Kahfi dengan mudah melompati satu akar besar lalu berbalik menunggu Syanas. “Loncat aja, aku jagain,” perintahnya.
Syanas memicingkan mata. “Aku bisa sendiri.”
Namun ketika ia bersiap melangkah sesuatu yang tidak terduga terjadi. Kakinya menginjak ranting kering yang tersembunyi di bawah daun.
KRAK!
Ranting itu patah, dan sebelum Syanas sempat menyeimbangkan tubuhnya ia sudah tergelincir.
“Ahh—!!”
Semuanya terjadi begitu cepat. Tubuhnya terdorong ke depan menabrak Kahfi yang masih berdiri di tepi bukit.
BUGH!
Tubuh mereka jatuh bersama. Alih-alih berhenti di satu titik gravitasi malah membawa mereka berguling-guling menuruni bukit.
“Aaaaah!!”
Syanas merasakan tubuhnya berputar dengan udara berdesir di telinganya, dan dedaunan kering bertebaran di sekeliling mereka. Ia mencoba menghentikan pergerakannya, tetapi bukannya berhenti, justru ia terus terguling sampai akhirnya—
BRUK!
Gulungan itu terhenti tiba-tiba.
Syanas meringis, tetapi ketika membuka mata, ia justru mendapati dirinya berada di posisi yang aneh. Ia menindih Kahfi.
Syanas membelalakkan mata. Dadanya naik turun cepat, jantungnya berdebar keras.
Tatapan mereka bertemu. Kahfi menatap Syanas dengan ekspresi campuran antara terkejut dan geli. Napasnya masih sedikit tersengal, tetapi bibirnya membentuk senyum tipis.
Syanas langsung tersadar. “A-aku!” ia buru-buru bangkit, tetapi tubuhnya masih sedikit gemetar, membuatnya hampir jatuh lagi.
Dengan wajah merah padam Syanas akhirnya berdiri tegak, menepuk-nepuk pakaiannya yang kotor oleh tanah dan daun kering.
Kahfi yang masih berbaring menghela napas panjang sebelum tertawa kecil.
“Kamu beneran nggak mau pegang aku tadi.” ucapnya santai.
Syanas mendengus lalu melemparkan tatapan tajam. “Bisa diam nggak?”
Kahfi masih tertawa. “Masih mau menang sendiri,” gumamnya.
Syanas menghembuskan napas kesal tetapi di dalam hatinya ia tahu Kahfi benar. Ia masih berdiri dengan wajah merona, mencoba menenangkan detak jantungnya yang entah karena takut, malu, atau sesuatu yang lain.
Ia membuang napas kesal lalu menatap Kahfi yang masih duduk santai di tanah, membersihkan sisa-sisa dedaunan yang menempel di bajunya.
“Kenapa masih duduk? Ayo jalan,” ucap Syanas berusaha mengalihkan suasana.
Kahfi mendongak dengan senyum menggoda. “Aku masih menikmati momen ini.”
Syanas menendang pelan kaki Kahfi. “Cepatlah!”
Kahfi akhirnya bangkit sambil mengusap tengkuknya yang terasa sedikit nyeri karena benturan tadi. “Iya sabar. Tapi kamu nggak apa-apa kan? Jangan sampai besok tiba-tiba ngeluh sakit.”
“Aku baik-baik aja kok,” jawab Syanas cepat.
Kahfi menatap Syanas sekilas, seakan tidak yakin, tetapi ia memilih tidak mengomentarinya lebih lanjut. Ia berbalik dan mulai berjalan sementara Syanas mengikuti dari belakang.
Baru beberapa langkah Syanas akhirnya menyadari sesuatu. “Yang…”
“Hm?”
“Sandal kamu…”
Kahfi menunduk dan menyadari bahwa salah satu sandalnya entah bagaimana telah terlepas saat mereka berguling-guling tadi. Ia mendongak dengan menatap Syanas dengan ekspresi datar.
“Jangan bilang aku harus balik ke atas buat nyari.”
Syanas pura-pura berpikir. “Hmm, atau kamu jalan nyeker aja?”
Kahfi menghela napas panjang lalu menatap Syanas dengan tatapan memohon. “Kamu yang dorong aku tadi. Jadi kamu ikut nyari.”
Syanas melipat tangan di dada. “Aku nggak mendorong, aku nggak sengaja aja tadi menabrak kamu!”
“Tapi tetap aja aku jadi korban.”
Syanas berdecak kesal, tetapi akhirnya menyerah. “Ya udah kita cari sebentar.”
Keduanya kembali ke area jatuh tadi dan mulai mencari sandal Kahfi yang hilang. Syanas menggeser-geser dedaunan dengan kakinya, sementara Kahfi melihat ke arah semak-semak.
Beberapa menit berlalu tanpa hasil.
Syanas mulai bosan dan memilih untuk menggerutu. “Seandainya kita nggak jatuh, perjalanan ini pasti lebih cepat.”
Kahfi terkekeh. “Seandainya kamu lebih percaya diri melangkah tadi, kita juga nggak bakal jatuh.”
“Jadi ini salahku?” Syanas melotot.
Kahfi mengangkat bahu. “Aku nggak bilang gitu.”
Syanas mendecak dan kembali mencari.
“Ketemu!” seru Kahfi.
Syanas menoleh dan melihat Kahfi mengangkat sandalnya yang tersangkut di antara akar pohon.
“Syukurlah,” gumam Syanas lega. “Sekarang ayo lanjut.”
Kahfi memakai kembali sandalnya lalu menatap Syanas dengan senyum puas. “Pelajaran hari ini, kalau jatuh jangan sendiri. Harus mengajak orang lain juga.”
Syanas mendelik. “Aku bisa ya dorong kamu ke jurang sekarang. Biar kamu diem. Nyindir aja taunya.”
Kahfi tersenyum-senyum lalu berjalan lebih dulu. “Ayo, sebentar lagi kita sampai.”
Syanas hanya bisa menghela napas panjang dan mengikuti dari belakang. Ia tidak tahu apalagi yang menantinya di depan, tetapi satu hal yang pasti, hari ini benar-benar melelahkan.