Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.
Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Panti Asuhan
"Kak Naimaaa!"
Seorang bocah kecil berusia sekitar tujuh tahun berlari ke arah Naima yang langkah cepat. Dia bahkan nyaris terpeleset di tanah basah. Tanpa ragu, bocah itu menerjang Naima hingga tubuhnya sedikit terhuyung. Kardus yang dibawa Naima nyaris terlepas jika saja dia tidak menggenggamnya dengan kuat.
"Laras!" seru Naima terkejut, berusaha menjaga keseimbangan.
"Kak Naima udah jarang datang," ucap Laras dengan nada setengah protes, wajahnya memelas.
"Ah, maaf ya, Laras," balas Naima sambil mengelus kepala bocah itu. "Kamu tambah tinggi ya."
"Ya dong! Aku pengen setinggi Kak Yudha," jawab Laras dengan senyum lima jarinya yang lebar, memperlihatkan giginya yang belum rata.
Dari kejauahn, Yudha melambaikan tangan, memperlihatkan senyuman santainya. Di tangannya tersampir beberapa kantong belanjaan. Pemuda itu melangkah masuk, yang mengekor di belakangnya Malik. "Hai, Laras!" sapanya.
"Kak Yudha! Apa itu?" tanya Laras, matanya berbinar-binar menatap kantong belanjaan di tangan Yudha.
"Sesuatu untuk kalian," jawab Yudha dengan nada hangat.
Laras kemudian melirik seseorang yang berdiri beberapa langkah di belakang Yudha. Matanya membulat penasaran. "Dan itu?" tanyanya, menunjuk Malik yang terlihat sedikit canggung. Laras melihat beberapa barang kantong barang di tangan Malik
Yudha menoleh dan tersenyum tipis. "Itu Kak Malik. Dia mau ketemu kalian semua," katanya.
Laras mendekat, menatap Malik dengan penuh kekaguman. "Ganteng, Kak. Hehe," ucapnya polos. Malik menyambut komentar itu dengan senyum kecil.
Naima tertawa kecil mendengar komentar Laras. “Kamu ini ada-ada aja,” katanya sambil mengacak rambut bocah itu dengan lembut.
Malik, yang mendengar pujian Laras, tersenyum simpul sambil melangkah mendekat. “Terima kasih, Laras. Kamu juga cantik sekali,” balas Malik dengan nada ramah.
Laras terkikik, pipinya memerah. “Ih, kak Malik, nggak usah gitu ah. Aku kan malu,” ujarnya sambil berlindung di belakang Naima.
Yudha mendekati mereka, meletakkan barang belanjaan di tanah. “Naima, ayo bawa barang-barang ini ke dalam. Laras, bantu kakak ya,” ujarnya sambil memberikan kantong kecil kepada Laras.
“Siap, kak Yudha!” Laras mengambil kantong itu dengan antusias, lalu berjalan ke arah pintu panti.
Naima menoleh ke Malik, yang masih berdiri sambil mengamati sekitar. “Ayo, Malik. Kita masuk,” ajaknya.
Malik mengangguk, mengikuti Naima dan Yudha menuju pintu panti asuhan. Di depan pintu, beberapa anak kecil lainnya sudah menunggu, wajah mereka penuh rasa ingin tahu melihat sosok baru yang datang bersama Naima dan Yudha.
“Siapa itu, Kak Naima?” tanya salah satu anak sambil menunjuk Malik.
“Ini Kak Malik. Dia teman Kak Naima dan Kak Yudha,” jawab Naima dengan lembut.
“Dia bakal main sama kita juga, Kak?” tanya anak yang lain dengan penuh harap.
Malik tersenyum, berjongkok agar sejajar dengan anak-anak itu. “Kalau kalian mau, kakak dengan senang hati main bareng kalian.”
Sorak sorai kecil terdengar dari anak-anak itu, dan mereka langsung mengelilingi Malik, menarik-narik tangannya dengan antusias. Yudha berdiri di dekat pintu, memperhatikan dengan senyum tipis di wajahnya.
“Kayanya mereka langsung suka sama lo,” komentar Yudha sambil melirik Malik.
Malik tertawa kecil. “Anak-anak selalu tahu orang baik,” balasnya ringan.
Naima memandangi mereka bertiga, merasa aneh tapi juga nyaman melihat bagaimana interaksi itu mengalir begitu alami.
***
Gerimis yang turun sejak siang telah reda sejak mereka memasuki area panti, menyisakan aroma tanah basah yang menyeruak di udara. Lampu neon yang redup menggantung di langit-langit, memberikan penerangan seadanya di dalam panti asuhan. Meski temaram, cahaya itu cukup untuk menemani penghuni panti melewati malam, entah untuk belajar, bercengkrama, atau sekadar menikmati keheningan.
Panti asuhan itu tampak sederhana, dengan dinding-dinding yang mulai kusam dan atap yang telah dimakan usia. Plafonnya penuh bercak kelembaban, menjadi saksi hujan yang kerap kali merembes masuk, meninggalkan genangan kecil di lantai setiap kali langit mencurahkan airnya.
Dulu, panti ini memiliki tiga orang pengasuh. Namun, dua diantaranya memutuskan pergi untuk mencari pekerjaan yang lebih layak. Kini hanya tersisa Sekar, seorang gadis muda yang menyambut kedatangan Naima, Yudha dan Malik.
Penghuni panti ini pun tidak lagi sebanyak dulu. Hanya tersisa sembilan anak yang masih bertahan. Di masa lalu, jumlahnya jauh lebih banyak, namun perlahan-lahan berkurang. Mungkin, kondisi panti yang kumuh dan minim fasilitas menjadi alasan mengapa tempat ini mulai ditinggalkan—baik oleh para pengasuh maupun calon penghuni baru.
“Anak-anak cepat kesini, kita makan malam,” ucap Sekar garang.
Gadis itu tak henti-hentinya berbicara, suaranya melengking memenuhi ruangan. Sekar, yang sejak tadi sibuk di dapur, memarahi dua anak yang berebut mainan hingga piring nyaris jatuh. Tak cukup dengan itu, ia juga berteriak ke arah beberapa anak yang entah berada di mana, memanggil mereka untuk segera berkumpul di meja makan.
Naima, yang merasa tak enak hanya diam, memutuskan membantu Sekar menyajikan makan malam. Lauk pauk seadanya—beberapa potong tahu goreng, sayur bening, dan tempe orek—tertata di meja yang sudah dipenuhi oleh tangan-tangan kecil yang tak sabar.
Tak lama, Yudha dan Malik muncul, berjalan santai sambil membawa anak-anak lain yang tertinggal. Mereka semua mulai berkumpul di sekitar meja makan.
"Ini lagi?" keluh salah satu anak sambil mengaduk-aduk piringnya, tampak kurang bersemangat melihat tahu goreng dan tempe orek di depannya.
"Jangan ngeluh, cepet makan," tegur Sekar tegas, tangan di pinggang sambil memandang anak itu dengan tatapan galak tapi penuh perhatian.
"Tapi aku pengen ayam," balas anak itu dengan suara pelan, matanya melirik piring lauk seadanya di meja.
"Tadi sore udah makan ayam, kan?" Sekar melipat tangan, alisnya terangkat.
"Tapi... itu cuma satu potong kecil," jawabnya dengan nada lirih, mencoba merajuk sambil menggambar sesuatu di meja dengan jarinya.
Anak-anak lain mulai tertawa kecil, sementara Yudha yang duduk di pojok tak tahan untuk menimpali, "Kalau kamu makan tahu tempe sekarang, besok baru bisa makan ayam lagi. Gimana?”
"Kak yang baik ini bakal traktir kalian semua," ujar Yudha dengan nada penuh semangat sambil menepuk pundak Malik dengan berlebihan.
Malik, yang merasa jadi kambing hitam, melirik ke arah Yudha, dia bukannya tidak mau tapi pernyataan yang tiba-tiba itu membuatnya agak terkejut. Namun sebelum Malik mampu menyuarakan protesnya, Sekar lebih dulu bersuara.
"Jangan berlebihan, Yudha," ucap Sekar memperingatkan, suaranya tegas tapi tetap lembut.
"Ayolah, Kak. Aku cuma bercanda, kalo Malik ga mau aku bisa beliin buat anak-anak" balas Yudha santai, mengangkat bahu seolah tak merasa bersalah.
Di sisi lain, Naima yang merasa bersalah diam-diam melirik Malik. Raut wajahnya mendung, hatinya berat karena sadar secara tidak langsung menyeret Malik ke dalam situasi ini. Sementara itu, anak-anak panti hanya terdiam, menatap penuh harap pada percakapan mereka.
"Benar, Kak?!" Anak-anak langsung berseru serempak, mata mereka kembali berbinar penuh semangat.
Yudha mengangguk, tersenyum kecil. "Tentu. Apa, sih, yang enggak buat kalian."
Namun, Sekar segera menyela, "Nggak usah, Yudha. Mereka sudah cukup dengan apa yang kalian bawa."
Wajah ceria anak-anak itu langsung berubah masam. Mereka menunduk, seolah mencoba menerima kenyataan, meski rasa kecewa terlihat jelas di wajah mereka.
"Kak Sekar, jangan terlalu mengekang anak-anak," ucap Yudha, nadanya tegas. Dia tahu, saat dia di usia mereka banyak keinginan yang terabaikan, setidaknya dia ingin berbagi dengan mereka.
Sebelum Sekar sempat membalas, Malik tiba-tiba angkat bicara. "Daripada ayam, gimana kalau kita ke festival?" ujarnya sambil tersenyum lembut, matanya melirik ke arah anak-anak yang mulai mengangkat kepala mereka dengan penuh antusias.
“Festival?” salah satu anak bertanya, matanya berbinar, seperti baru mendengar kabar yang membawa harapan.
“Iya, festival,” Malik mengangguk. “Ada banyak lampu, permainan, dan makanan enak. Pasti seru, kan?”
"Malik?" Naima menatapnya terkejut, tak menyangka.
"Gapapa," jawab Malik santai. "Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena sudah disambut dengan baik di sini."
"Yeay!" Anak-anak langsung bersorak gembira, melompat-lompat penuh semangat.
“Ya itu pun kalo besok ga hujan,”
Sorak anak-anak panti meredup, mereka menatap gahar seseorang yang mengusik kesenangan mereka. Yudha sang pelaku hanya mengangkat bahu ringan, seolah itu adalah hal kecil. Sepertinya pemuda ini lupa bahwa sedari tadi dia menarik ulur kesenangan anak-anak panti.
Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"
Ditunggu ya kak