Dua orang sahabat yang terbiasa bersama baru menyadari kalau mereka telah jatuh cinta pada sahabat sendiri setelah jarak memisahkan. Namun, terlambat kah untuk mengakui perasan ketika hubungan mereka sudah tak seperti dulu lagi? Menjauh tanpa penjelasan, salah paham yang berakibat fatal. Setelah sekian tahun akhirnya takdir mempertemukan mereka kembali. Akankah mereka bersama setelah semua salah paham berakhir?
Ikuti lika-liku perjalanan dua sahabat yang manis dalam menggapai cinta dan cita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EuRo40, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Selesai dokter memeriksa Galang, Ana dan Angga kembali masuk ke dalam kamar rawat Galang. Lirikan mata Galang menatap tak suka pada Ana dan Angga yang berdiri berdampingan.
Melihat kilatan mata Galang yang memancarkan aura kecemburuan, Ana langsung mendekati Galang lalu duduk di samping lelaki itu. Sedangkan Angga duduk di sofa.
“An, kenapa kamu ajak dia, sih? Apa dia nggak ada urusan lain gitu? Kenapa harus di sini terus?” tanya Angga sengaja menyindir Angga.
“Udah, ah. Kamu nggak usah cemburu. Dia itu sahabat aku, karena semalam aku pergi tanpa pamit, jadi, sekarang aku pergi ke mana-mana harus sama Angga. Lagian dia juga nggak bakal gangguin kita.”
Galang cemberut tidak puas dengan jawaban Ana. Ia ingin Ana menyuruh Angga untuk pulang. “Sayang, bisa tolong beliin susu kotak, nggak? Mulut aku nggak enak pahit, pengen minum yang manis-manis,” ucap Galang.
“Oke, ada lagi?” tanya Ana.
“Nggak ada itu aja," jawab Galang.
Ana bangkit dari duduknya hendak pergi, tetapi Galang mencegahnya. “Minta tolong sama sahabat kamu aja, kamu di sini temenin aku.” Galang sengaja mengerjai Angga.
Ana melirik tak enak pada Angga. “Aku aja yang beli, aku juga ada yang ingin dibeli, sekalian aja,” ucap Ana.
“Sini, biar gue aja yang beli. Lo di sini aja, temenin pacar lo yang manja!” celetuk Angga lalu berdiri. Galang melirik sinis pada Angga mendengar Angga mengatainya manja.
“Benar, nggak apa-apa, Ga?” tanya Ana tak enak hati.
“Santai aja, nggak apa-apa. Mana uangnya?” tanya Angga pada Galang.
Ana akan mengeluarkan dompetnya, tetapi Angga langsung berkomentar, “Masa cewek yang beliin cowok?” sindirnya.
Galang merasa tersindir ia pun tidak terima. “Sayang, tolong ambilin dompet aku di bawah bantal,” ucap Galang pada Ana.
Tak mau ada lagi perdebatan panjang, Ana menuruti permintaan Galang, padahal ia tak apa-apa jika membelikan Galang, toh, hanya satu kotak susu. Ia mengambil dompet di bawah bantal dengan perlahan. Setelah dompet di tangan, ia memberikannya pada Galang.
“Kamu aja, tolong ambilin seratus ribu, kasihin ke dia.” Galang enggan menyebut nama Angga.
Ana mengambil uang kertas berwarna merah lalu memberikannya pada Angga. Sahabat Ana itu kemudian keluar dari kamar rawat Galang.
Selepas kepergian Angga Ana kembali duduk di kursi samping brankar Galang “Kak, kamu kenapa bisa begini, sih? Kronologisnya gimana?” tanya Ana penasaran. Mereka memang belum membicarakan masalah ini.
“Gara-gara kamu, bikin aku emosi!” ketus Galang.
“Lho, kok, gara-gara aku? Kamu yang ngebut nggak pakai perhitungan, malah nyalahin orang lain!” Ana tentu saja tidak mau disalahkan.
“Kak, aku minta jangan terlalu cemburu, posesif, berpikiran buruk, kamu sendiri yang akan capek. Aku juga capek. Nggak nyaman tau, dilarang ini itu, kamu juga pasti nggak mau ‘kan kalau aku larang kumpul sama teman-teman kamu atau dekat-dekat dengan teman cewek kamu?” tanya Ana lagi.
“Ya, pastilah! Aku juga kan butuh waktu untuk me time sama teman," jawab Galang.
“Nah, itu. Aku juga sama. Yang penting saling percaya aja dan setia.” Dalam hati Ana meminta maaf karena hatinya sendiri berkhianat.
Mulut memang mudah bicara, tetapi hati tidak bisa berbohong. Tidak ada rasa cinta pada Galang, akan tetapi ia tidak bisa putus begitu saja. Selama mereka berpacaran, banyak kenangan antara mereka. Galang sebenarnya sangat baik, begitu juga keluarganya. Itu yang memberatkannya untuk mengakhiri hubungan. Hanya saja sifat posesif Galang kadang keterlaluan.
Galang tidak bicara lagi. Ia diam saja lalu memejamkan mata. Ana memilih duduk di sofa kemudian menyalakan televisi. Tak terasa empat puluh menit sudah berlalu. Ana heran ke mana Angga, kenapa dia belum kembali juga?
Galang membuka mata lalu melirik Ana. Ia tidak bisa leluasa menoleh karena memakai penyangga leher. “An, sobat lo ke mana, sih? Dia beli susunya di mana? Di Hongkong? Kok, belum balik juga?” tanya Angga beruntun.
“Nggak tahu! Belinya di Mars kali!” Ana juga bertanya-tanya dalam hati. Apa mungkin terjadi sesuatu pada Angga? Seketika Ana gelisah kala pikiran itu menghampirinya.
Ia lalu mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada Angga. Pesannya sudah terkirim dan centang dua, tetapi belum berwarna biru.
Tiba-tiba pintu terbuka. Ana menoleh, Galang melirik, masuklah Angga. Ana hendak protes pada Angga yang baru pulang. Namun, baru saja membuka mulut, suaranya tertahan saat melihat seorang wanita melangkah masuk di belakang Angga.
Cantik
Satu kata yang terlintas untuk menggambarkan kesan pertama wanita itu. Wanita itu tersenyum pada Ana dan Galang.
“Sorry, gue lama. Soalnya nungguin dia dulu. Tadi dia telepon, pas tahu gue di rumah sakit, dia khawatir. Jadi, maksa pengen ke rumah sakit. Nggak percaya dia di bilangin lagi jenguk teman.” Angga menjelaskan kenapa dia bersama wanita itu. Ia lalu menaruh barang yang ia beli di atas meja samping brankar pasien, bersama dengan uang kembalian dan struk belanjaan.
“Maaf, saya tidak tahu kalau ada teman Angga yang benar-benar sakit. Saya tidak bawa apa-apa,” ucap Anya sopan.
Ana merasa belum pernah bertemu dengan wanita tersebut. Siapa dia?
“Oh, iya. Kenalin ini Anya teman kuliah gue. Kami pulang bareng, kebetulan dia liburan di rumah saudaranya. Anya, itu Ana, sahabat gue, terus ini Galang pacar Ana.”
Anya tersenyum lebar. Akhirnya ia bertemu dengan Ana yang selalu diceritakan oleh Angga dan diam-diam Angga mencintai Ana. Ia juga senang karena Ana ternyata sudah memiliki kekasih. Itu artinya peluang Angga dan Ana bersama semakin berkurang.
“Halo, senang bertemu dan kenal kalian. Maaf kalau bahasa Indonesia saya kurang baik, karena saya dari kecil tinggal di luar negeri,” ucap Anya dengan logat bulenya.
“Senang juga kenal denganmu Anya. Bahasa Indonesia kamu sangat baik," balas Ana.
“Terima kasih dan Galang saya ikut prihatin, semoga cepat sembuh," ucap Anya lagi.
“Terima kasih,” balas Galang.
“Any!” panggil Angga seraya menatap Anya
“Iya.”
“Iya.”
Anya dan Ana menyahut berbarengan. ‘Any’ memang terdengar seperti ‘An’. Angga tersenyum canggung menoleh pada Ana lalu kembali melihat Anya. “Maksud gue Anya, duduk situ di samping Ana.”
Ana merasa malu sekali sekaligus terselip rasa sakit, entahlah? Ia sendiri tak tahu kenapa?
Anya melangkah menuju sofa lalu duduk di samping Ana. Galang tersenyum miring. Rasanya ia tidak perlu khawatir lagi. Angga sudah memiliki pacar. Jika Anya bukan pacarnya pun, ia bisa memanfaatkan kedekatan mereka untuk membuat Ana menjauhi Angga.
Karena merasa canggung Ana pindah duduk di samping brankar Galang. Angga lalu duduk di samping Anya. Galang berbicara dengan Ana, Angga bicara dengan Anya. Ana kadang melirik interaksi Angga dan Anya.
Galang memperhatikan itu semua. “An, aku mau susu kotaknya.”
“Hah! Oh, oke. Sebentar.” Ana terperanjat karena sedang melamun ia lalu mengambil susu kemasan yang ada dalam plastik, kemudian menusuk susu kotak itu dengan sedotan dan diberikan pada Galang.
...----------------...