Setelah dikhianati sang kekasih, Embun pergi ke kota untuk membalas dendam. Dia berusaha merusak pernikahan mantan kekasihnya, dengan menjadi orang ketiga. Tapi rencanya gagal total saat Nathan, sang bos ditempatnya kerja tiba tiba menikahinya.
"Kenapa anda tiba-tiba memaksa menikahi saya?" Embun masih bingung saat dirinya dipaksa masuk ke dalam KUA.
"Agar kau tak lagi menjadi duri dalam pernikahan adikku," jawab Nathan datar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DIHUJAT SATU KANTOR
Keduanya, baik Embun maupun Nathan langsung mengambil nafas sebanyak-banyaknya begitu pagutan bibir itu terlepas. Sekarang, wajah Embun tak hanya merah karena kepedesan, tapi juga karena malu. Sedangkan Nathan, pria itu tampak salah tingkah.
"A-apakah masih pedas?"
Embun mengangguk pelan, tapi sedetik kemudian dia langsung menggeleng sambil menutup mulut dengan telapak tangan. Bisa bisa dia dicium lagi kalau bilang masih kepedesan.
"Eng, enggak," jawab Embun cepat sambil berjalan cepat keluar dari ruangan Nathan untuk mencari minum.
Nathan senyum-senyum sendiri sambil menyentuh bibirnya yang terasa sedikit panas. Entah itu panas karena sambal yang tertransfer dari mulut Embun, atau panas karena ciuman.
Embun berjalan cepat menuju pantry untuk mengambil air putih. Meski rasa pedas dilidah dan bibirnya sudah tak begitu terasa akibat ciuman tadi, tapi tenggorokannya masih panas.
Rasanya lega sekali saat air putih mulai mengalir ditenggorokannya. Tapi tatapan tajam dari dua orang yang baru masuk membuat dia tak lanjut menghabiskan air dalam gelas.
"Ini yang namanya Embun?" tanya wanita berbaju putih pada rekan disebelahnya. Dan yang disebelahnya, langsung menanggapi dengan anggukan kepala.
Mendadak perasaan Embun langsung tak enak. Harusnya kalau mau aman, dia tak perlu keluar dari ruangan Nathan. Dan sekarang, jalan satu-satunya hanya kabur, segera pergi dari tempat itu.
"Mau kemana, buru-buru banget?" ujar si baju putih sambil menghadang Embun yang hendak keluar.
"Mau ketemu Pak Rama?" cibir si baju merah sambil tersenyum miring.
"Cantik sih cantik,"ujar baju putih sambil memperhatikan Embun dari atas kebawah. "Tapi sayang, MURAHAN," makinya.
Kedua telapak tangan Embun mengepal mendengar itu. Sakit sekali dikatakan murahan. Tapi apa daya, dia memang seorang pelakor. Harusnya sebelum mengambil langkah gila itu, dia sudah memikirkan akibatnya.
"Gak laku ya, sampai obral diri ke laki orang?" baju merah menimpali.
"Kalian gak tahu apa-apa, jadi gak usah menghakimi saya," Embun mencoba membela diri.
Kedua wanita itu saling menatap lalu menyeringai.
"Kami memang tak tahu apa apa. Kami hanya tahu jika kau itu murahan, wanita penggoda. Wanita penggoda yang mengumpankan tubuhnya pada pria beristri."
"Tutup mulutmu," pekik Embun sambil melotot. "Aku tak serendah itu. Aku akui, aku memang pernah ada hubungan dengan Pak Rama, tapi aku tak semurahan itu sampai mengobral tubuhku."
"Cih, menjijikkan. Pelakor sok suci. Mana ada hubungan dengan suami orang tak pakai ngang kang. Dikoridor aja berani ciuman, apalagi kalau didalam ruangan berdua, pasti kuda kudaan."
Embun menggigit bibirnya menahan tanggis. Dia sudah tak sanggup mendengar semua hinaan ini lagi. "Minggir," dia mendorong wanita didepannya lalu keluar dari pantry.
Embun menyeka air mata sambil berjalan menuju keruangan Nathan. Jarak ruangan Nathan dan pantry cukup jauh karena berada dilantai berbeda. Beberapa orang tampak menatapnya sinis saat tak sengaja berpapasan. Tadi saat menuju pantry, dia tak begitu memperhatikan orang-orang karena terlalu fokus dengan panas ditenggorokan. Yang dia pikirkan hanya secepatnya dapat minum.
Begitu memasuki ruangan Nathan, dia melihat ada kotak diatas meja. Itu pasti barang miliknya yang baru saja dikemasi oleh OB.
"Kamu kenapa?" Nathan bisa melihat mata sembab Embun. "Nangis?"
"Iya, nangis karena kepedesan," Embun berbohong. Dia duduk disofa sambil membongkar barang miliknya, takut ada yang kurang dan ternyata masih tertinggal dimejanya.
Nathan menghampiri Embun lalu duduk tak jauh darinya. "Ada yang ngata-ngatain kamu?"
Embun menggeleng.
"Cih, dasar pembohong," cibir Nathan.
"Ya, aku memang pembohong," sahut Embun datar sambil terus mengecek barang pribadi miliknya.
Nathan mengerutkan kening. Dia pikir dengan mengatai Embun pembohong, wanita itu akan marah marah, tapi ternyata diluar ekspektasi, lempeng-lempeng aja. Yang seperti ini malah makin meresahkan. Karena sesuatu yang dipendam sendiri, bisa jadi bumerang jika orang tersebut tak kuat.
.
Saat pulang kerja, Embun lebih banyak menunduk. Sebenarnya Nathan menyuruh dia menunggu agar bisa pulang bersama, tapi karena kerjaan Nathan masih banyak, Embun memutuskan pulang duluan. Banyak pekerjaan yang menunggunya dirumah. Masak, bersih-bersih, menyetrika, dan masih banyak lagi, jadi dia putuskan pulang lebih dulu.
Sepertinya kesialan sedang berpihak padanya. Saat didalam lift menuju lantai dasar, dia malah 1 lift dengan Rama. Embun masuk dari lantai 5 sedangkan Rama dari lantai 4.
Situasi langsung terasa canggung. Apalagi, saat ini ada beberapa orang didalam lift yang memperhatikan mereka. Baik Embun maupun Rama, tak ada yang berani menatap apalagi bicara. Hingga akhirnya, lift terbuka dilantai 1. Karena Rama atasan, semua orang mempersilakan dia keluar lebih dulu.
Bersamaan dengan Rama yang melangkah keluar, orang dibelakang Embun langsung bisik-bisik.
"Kasihan banget si pelakor. Cuma disayang saat berduaan, tapi didepan umum, sama sekali gak diakui, bahkan kayak gak kenal."
"Yah, namanya juga simpanan. Cuma buat disimpen, bukan dipamerin apalagi diakui didepan umum."
Telinga dan hati Embun mulai panas. Keluar dari lift, ingin sekali dia berjalan cepat agar segera bebas dari para pengujat. Sayang ada Rama didepannya yang berjalan cepat. Kalau dia ikut jalan cepat, yang ada nanti dikira ngejar.
"Kayaknya karena ketahuan, si pelakor udah dibuang nih," orang dibelakang Embun belum puas mengejeknya.
"Buanglah pelakor pada tempatnya."
"Emang dimana tempatnya?"
"TEMPAT SAMPAH," sahut mereka bersama sama lalu tertawa.
Embun menggigit bibir bawahnya menahan laju air mata. Kenapa hanya dia yang dihujat, sama sekali tak tedengar hujatan yang ditujukan pada Rama. Bahkan dia bisa melihat, orang-orang masih menunduk sopan saat berpapasan dengan Rama.
Sakit sekali, kenapa lagi-lagi, dia yang kalah dan menahan sakit hati, bukan Rama. Ini tak adil.
Sesampainya dirumah, meski rasanya letih, Embun masih memaksakan diri untuk memasak dan bersih-bersih. Untuk urusan menyetrika, sepertinya besok pagi saja dia kerjakan mengingat saat ini, dia ingin segera tidur dan melupakan semua kejadian hari ini.
Tok tok tok
"Mbun."
Terdengar suara panggilan dari Nathan. Embun yang terbangun dari tidurnya malas sekali mau membuka pintu, dia hanya menyahuti dari dalam.
"Iya Kak."
"Ayo makan."
"Aku udah makan tadi," bohong Embun.
"Ya udah, kalau gitu temani saja aku makan."
"Aku ngantuk, mau tidur."
Nathan menghela nafas. Dia menuju meja makan untuk melihat apa yang dimasak Embun. Ada ikan goreng, tempe dan sambal. Saat membuka magigcom untuk mengambil nasi, dia mengerutkan kening. Nasi masih utuh, lalu kenapa Embun bilang sudah makan?
Tok tok tok
Embun membuang nafas kasar saat mendengar pintu kamarnya kembali diketuk. "Aku udah makan," teriaknya dari dalam.
"Aku gak nanyak."
Mata Embun langsung melotot mendengarnya.
Kirain udah berubah, ternyata masih nyebelin.
"Aku mau susu."
Embun reflek menutup dadanya dengan kedua lengan. "Kak Nathan vul gar," teriaknya.
"Pikiran kamu yang kotor. Bikinin aku susu, biar bisa tidur nyenyak malam ini."
Embun memutar kedua bola matanya malas sambil menurunkan lengannya. "Emang gak bisa bikin sendiri?"
"Kalau aku bikin sendiri, apa gunanya kamu?"
"Ish, kumat nyebelinnya." Gerutu Embun sambil memukul mukul guling untuk melampiaskan kekesalannya.
"Dosa ngumpat suami, buruan keluar."
"Astaga, beneran paranormal nih orang. Padahal aku ngomong pelan, sampai semutpun tak dengar. Eh...dia bisa tahu."
Mau tak mau, Embun turun dari ranjang lalu keluar. Menatap sengit pada Nathan yang berdiri didepan pintu lalu berjalan melewatinya menuju dapur.
Nathan mengekor dibelakangnya sambil menahan tawa. Sukses juga dia membuat Embun keluar dari kamar.
Embun merebus air lalu mulai menuang susu bubuk kedalam gelas.
"Kamu kenapa?"
Embun terjingkat kaget. Dia pikir Nathan ada dimeja makan, ternyata pria itu ikut kedapur.
"Ngagetin aja tahu gak," gerutu Embun sambil menoleh kearah Nathan.
"Makanya jangan ngelamun," sahut Nathan. "Kamu kenapa sih?" Nathan tahu jika Embun sedang tak baik-baik saja. Sejak kembali dari pantry hingga pulang, Embun tak banyak bicara. Dan sekarang malah gak makan.
"Gak usah sok peduli," sahut Embun ketus.
"Siapa juga yang peduli, aku cuma nanyak."
"Apa bedanya?"
"Ya jelas beda. Emang kalau kamu tanya ke penjual berapa harga dagangannya, itu artinya kamu peduli padanya, enggak kan? Itu artinya, tanya sama peduli beda."
Rasanya ingin sekali Embun mencakar cakar wajah Nathan. Bisa banget kalau ngejawab. "Mending Kakak tunggu dimeja makan. Ntar aku bawa kesana susunya," usir Embun.
"Gak usah kerja kalau gak kuat dihujat."
Embun terperangah mendengar kalimat Nathan barusan.
"Dirumah aja. Lagian aku sudah penuhi kebutuhan kamu, gak perlu nyari duit lagi."
Embun terdiam, sedikit baper dengan perhatian Nathan barusan.