dengan gemetar... Alya berucap, "apakah kamu mau menjadi imam ku?? " akhirnya kata kata itu pun keluar dari lisan Alya yg sejak tadi hanya berdiam membisu.
"hahhh!!! apa!!... kamu ngelamar saya? "ucap afnan kaget
sambil menunjuk jari telunjuknya ke mukanya sendiri.
dengan bibir yg ber gemetar, Alya menjawab" i ii-iya, saya ngelamar kamu, tapi terserah padamu, mau atau tidaknya dgn aku... aku melakukan ini juga terpaksa, nggak ada pilihan.... maaf kalo membuat mu sedikit syokk dgn hal ini"ucap Alya yg akhirnya tidak rerbata bata lagi.
dgn memberanikan diri, afnan menatap mata indah milik Alya, lalu menunduk kembali... karna ketidak kuasa annya memandang mata indah itu...
afnan terdiam sejenak, lalu berkata "tolong lepaskan masker mu, aku mau memandang wajahmu sekali saja"
apakah Alya akan melepaskan masker nya? apakah afnan akan menerima lamaran Alya? tanpa berlama-lama... langsung baca aja kelanjutan cerita nya🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
denting kehilangan.
Alya menyerahkan motor yang ia pinjam kepada tukang ojek dengan tangan yang terasa dingin. Langkah kakinya menuju pintu apartemen Wilona seperti tidak memiliki arah, terhuyung dalam kebingungan.
Ketika ia memasuki lift, jari-jarinya gemetar saat menekan tombol lantai delapan. Pikirannya kacau, seperti benang kusut yang tak bisa ia urai.
Begitu sampai di apartemen, Alya membuka pintu dengan sangat hati-hati, takut membangunkan Wilona yang tertidur pulas di kamar.
Ruangan itu gelap dan sunyi, tetapi keheningannya justru semakin mencekik Alya. Dengan langkah lemah, ia menuju kamar mandi.
Di sana, di depan cermin yang memantulkan sosoknya, Alya berdiri diam. Tatapannya kosong, tubuhnya terasa seperti bukan miliknya lagi. Perlahan, air matanya jatuh, satu tetes, lalu disusul ribuan lainnya.
“Kenapa harus aku?” bisiknya lirih, hampir tidak terdengar. Suaranya serak, tenggelam dalam emosi yang bercampur aduk—keterkejutan, ketakutan, kemarahan, dan keputusasaan.
Air matanya membasahi wajah, mengalir tanpa henti. Tangannya gemetar saat ia menyentuh cermin, seolah ingin menyentuh bayangan dirinya yang tampak begitu rapuh. “Aku nggak sanggup…” Kalimat itu pecah di tengah isakannya.
Bayangan di cermin seakan menertawakannya—seorang Alya yang selama ini dikenal tegas dan kuat, kini tampak seperti anak kecil yang tersesat.
Ia ingin melawan, ingin berteriak, tapi tidak tahu kepada siapa. Rasa sesak di dadanya semakin menekan, membuatnya sulit bernapas.
Pernikahan. Kata itu menghantamnya seperti badai, membawa semua ketakutan yang selama ini ia sembunyikan rapat-rapat.
Baginya, menikah adalah hal paling menakutkan, seperti rantai yang mengikat kebebasannya.
Ia bahkan belum siap membayangkan hidup dengan seseorang, apalagi menyerahkan seluruh masa depannya dalam hubungan yang tidak pernah ia setujui.
Lututnya melemah, hingga ia jatuh perlahan ke lantai kamar mandi. Tangannya menutupi wajah yang bergetar, suara tangisnya pecah tanpa bisa ia tahan lagi.
Rasanya seperti ada lubang besar di dalam dirinya, menghisap semua keberanian yang pernah ia miliki.
Tiba-tiba, ada ketukan pelan di pintu kamar mandi. Suara Wilona terdengar lembut, penuh kekhawatiran. “Alya? Kamu nggak apa-apa?”
Alya terdiam, mencoba menghentikan tangisnya, meskipun suaranya masih serak saat menjawab. “Aku… aku butuh waktu sendiri,kak Wil,” ujarnya pelan, berusaha terdengar tenang meski jelas nada suaranya bergetar.
Langkah Wilona terdengar menjauh, meninggalkan Alya sendiri dalam keheningan. Ia menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan kekuatannya.
Namun, yang ia rasakan hanyalah kehampaan. Di tengah gelapnya malam, hanya satu pertanyaan yang terus bergema di pikirannya: Apa aku sanggup menjalani ini?
# # #
Subuh tiba, suara azan berkumandang lembut di udara, membangunkan Alya dari tidur yang penuh gelisah. Matanya sembab, wajahnya kusut. Ia duduk di tepi ranjang, menghela napas panjang sebelum mengambil ponselnya. Puluhan notifikasi memenuhi layar, semuanya dari Gus Afnan.
Alya, aku bisa jelasin semuanya.
Alya, tenanglah... tolong jangan salah paham.
Alya, jangan nekat pulang malam sendirian!
Udah sampai al?
Pliss, kasih aku kesempatan buat jelasin ini semua.
Alya hanya menatap pesan-pesan itu tanpa emosi, lalu dengan dingin mengetik balasan.
Bagaimana keadaan Nia sekarang?
Tanpa menunggu jawaban, Alya meletakkan ponselnya, beranjak mengambil wudu. Ia sholat subuh dengan hati yang berat, seolah setiap sujudnya membawa rasa bersalah dan keputusasaan yang tak kunjung reda.
Setelah selesai, Alya berjalan ke balkon. Udara pagi yang dingin menyapa kulitnya, tetapi tidak cukup untuk menenangkan hatinya yang kacau. Ia termenung, menatap langit yang mulai memudar dari gelap menuju cahaya. Tanpa sadar, air mata kembali mengalir di pipinya.
“Alya!” suara Wilona memecah kesunyian. Alya menoleh perlahan, berusaha menghapus jejak air mata.
“Hmmm, iya, Kak,” jawabnya datar.
Wilona menghampirinya, matanya langsung menangkap kesedihan yang tidak bisa disembunyikan Alya. Tanpa berkata apa-apa, Wilona menarik Alya ke dalam pelukannya.
“Udah, Alya… jangan dipendam sendiri,” ucap Wilona dengan lembut. “Nangisnya jangan ditahan. Sakit banget loh kalau nangis sambil ditahan, apalagi nggak pake suara.”
Alya tetap diam, tapi pelukan Wilona terasa seperti pelarian yang ia butuhkan. Butiran air matanya jatuh satu per satu, seperti kristal berharga yang pecah di tengah malam.
“Apakah Kakak tahu,” Alya akhirnya bicara, suaranya pelan tapi penuh luka, “anak dari bapak yang mencopet aku baru saja meninggalkan … dia sudah meninggal. Dia baru lima tahun, Kak. Lima tahun…”
Wilona terkejut. Perasaan iba langsung menyelimuti dirinya. “Alya…” panggilnya pelan, tapi Alya hanya memandang kosong ke depan.
“Kecil sekali, Kak,” lanjut Alya dengan nada datar. Mencoba mengalihkan kesedihan nya ke kesedihan yang baru.
Wilona menggenggam tangan Alya, berusaha memberikan kekuatan. “Ayo, kita ke sana. Di mana dia sekarang?”
“Di rumah sakit,” jawab Alya singkat. “Ada Gus Afnan dan kakaknya, Agam.”
Wilona tidak berpikir dua kali. “Kalau begitu, kita berangkat sekarang.
##
Alya berlari melewati parkiran rumah sakit dengan langkah cepat, seolah tak peduli pada teriakan Wilona yang memanggilnya dari belakang. Nafasnya terengah, tapi pikirannya lebih berat daripada langkah kakinya. Tanpa bertanya pada siapa pun, ia menyusuri lorong-lorong hingga menemukan ruangan yang ia cari.
Maaf, Mbak, pasien atas nama Nia Sari ada di mana?” tanya Wilona pada perawat di meja informasi.
“Ruangan 208, lantai dua,” jawab perawat itu.
“Alya, tunggu!” seru Wilona, tapi Alya sudah lebih dulu berlari menuju ruangan yang disebutkan.
Di dalam, Gus Afnan dan Agam berdiri terpaku. Mata mereka langsung tertuju pada Alya yang masuk dengan wajah tanpa ekspresi.
"Alya..." suara Gus Afnan terdengar berat. "Aku bisa jelaskan—"
"Lupakan," potong Alya datar, suaranya dingin seperti es yang menusuk. Ia mengabaikan Gus Afnan dan melangkah mendekati tubuh Nia yang sudah terbaring kaku di pembaringan. Suster di ruangan itu mulai mencabut alat-alat medis dari tubuh Nia, membawa semua harapan yang tersisa.
Alya hanya berdiri mematung, menatap tubuh Nia yang kini tak lagi bernyawa. Wajahnya tetap datar, tetapi di balik matanya ada badai yang berkecamuk, menolak kenyataan pahit ini.
Saat tubuh Nia mulai dibawa menuju ruang memandikan jenazah, Wilona akhirnya masuk. Nafasnya tersengal karena berlari, dan ia tertegun melihat Gus Afnan masih berdiri di sana. Ada rasa takut dan segan yang menyelimutinya, tapi Wilona menepisnya, lalu menghampiri Alya.
"Alya... ayo keluar," ucap Wilona lembut, mencoba menariknya keluar dari ruangan itu.
Namun Alya tak bergerak, seolah tubuhnya terpasung oleh kenyataan. Barulah setelah beberapa detik, ia membiarkan Wilona menuntunnya keluar.
Di luar, isak tangis Anis pecah tanpa henti. Tubuhnya bergetar saat ia memeluk Wilona, mencurahkan segala kesedihannya.
Namun Alya tetap diam, hanya duduk membeku dengan tatapan kosong. Rasanya seperti seluruh dunia runtuh menimpanya bertubi-tubi, tetapi ia tak ingin memperlihatkan kelemahannya.
"Gus."
Alya akhirnya membuka mulut, memanggil Gus Afnan. Suaranya tegas namun dingin, seperti orang yang memerintah.
"Apakah ayah mereka sudah diberi tahu? Apakah polisi sudah dihubungi?" tanyanya sambil menatap Gus Afnan lurus di matanya.
Gus Afnan terlihat ragu, seolah tersentak oleh pertanyaan itu. "Belum... tapi tadi aku dan Agam sudah mengurus tempat pemakamannya," jawabnya pelan.
Alya mengangguk tipis, lalu berdiri. "Ayo ke kantor polisi. Pastikan bapak mereka diberi izin untuk melihat anaknya untuk terakhir kalinya."
Tanpa menunggu jawaban, Alya berjalan keluar rumah sakit. Langkahnya tegas, seolah ia tahu apa yang harus dilakukan.
Gus Afnan hanya bisa termenung melihatnya. Di balik tatapan itu, ia tahu ada luka yang Alya sembunyikan, tapi ia tak tahu cara menjangkau hati Alya yang begitu dingin.
"Bangun, Gus," suara Agam menyadarkannya dari lamunan.
Gus Afnan segera mengejar Alya, berlari kecil untuk mengimbangi langkahnya. Sesampainya di mobil, Alya hendak duduk di kursi belakang, tetapi Gus Afnan membukakan pintu depan untuknya.
"Duduk di sini," ujarnya.
Alya tak membantah, hanya masuk dan duduk tanpa sepatah kata. Gus Afnan menutup pintu, lalu masuk ke tempat kemudi. Sesekali ia mencuri pandang ke arah Alya selama perjalanan. Gadis itu hanya memandang lurus ke jalanan, tak menunjukkan emosi sedikit pun.
Gus Afnan menggigit bibirnya, mencoba memikirkan cara mencairkan suasana, tetapi tak ada kata yang terasa cukup. Ia tahu, setiap kata mungkin akan berakhir menjadi senjata yang justru menyakitinya lebih dalam.
Setibanya di kantor polisi, Alya langsung keluar dari mobil tanpa menunggu. Gus Afnan menghela nafas kasar, lalu mengikutinya dari belakang. Mereka memberi kabar tentang Nia dan meminta izin agar sang ayah bisa melihat pemakaman putrinya.
Di tengah-tengah formalitas itu, Gus Afnan kembali mencuri pandang pada Alya. Sikapnya begitu dingin, tetapi ada sesuatu di balik sorot matanya—sebuah luka yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Ia tahu, Alya sedang berperang dengan dirinya sendiri, dan itu adalah medan perang yang tak bisa ia masuki.
...----------------...
KEHENINGAN YANG MEMBUAT RISAU
Nia dimakamkan di tempat peristirahatan terakhir yang indah dan layak. Gus Afnan memastikan semua proses, dari rumah sakit hingga pemakaman, berjalan tanpa hambatan.
Seluruh biaya ia tanggung tanpa pamrih. Alya menyadari itu, tapi hatinya diliputi kebingungan. Bagaimana ia bisa mengucapkan terima kasih di tengah duka yang menggulung seperti gelombang?
Sementara itu, suara tangis bapak Nia pecah di antara heningnya prosesi pemakaman. Ia menggenggam tanah dengan erat, tubuhnya bergetar menahan beban kehilangan.
"Ya Allah, ampuni hamba. Apakah ini balasan-Mu karena dosa hamba yang mencuri hak orang lain?" isaknya, di sela-sela tangisan.
Afnan berjongkok di samping pria tua itu, menepuk pundaknya dengan lembut.
"Pak, sabar. Ini adalah ujian dari Allah. Tidak ada cobaan yang Allah berikan kepada hamba-Nya kecuali yang mampu ia pikul," ujar Afnan penuh pengertian. "Mungkin ini cara Allah untuk mendekatkan Bapak kembali kepada-Nya. Allah rindu mendengar munajat dan tangis Bapak di malam-malam yang sunyi".
bapak itu terisak semakin keras, namun perlahan ia mengangguk. "Terima kasih, Mas. Saya tidak tahu bagaimana membalas kebaikanmu. Semoga Allah yang membalasnya."
Afnan tersenyum kecil, tetapi di balik matanya ada beban yang tak terungkapkan.
Setelah Pemakaman
Pemakaman usai. Semua orang mulai meninggalkan tempat itu dengan langkah berat. Alya berjalan menuju mobil Wilona, berharap dapat pergi tanpa menimbulkan perhatian. Namun, suara lantang memecah keheningan.
"Alya!!" teriak Afnan.
Langkah Alya terhenti, tapi ia mendengus kesal. Tatapan orang-orang yang semula terfokus pada duka kini beralih padanya. Dalam hati, ia mengumpat perlakuan Afnan. "Kenapa sih harus teriak-teriak begitu?!"
Alya pura-pura tak mendengar dan langsung masuk ke mobil Wilona. Wilona yang bingung dengan situasi ini hanya mengikuti tanpa berkata apa-apa.
Afnan bergegas mendekati mobil mereka, tetapi langkahnya dihentikan oleh Agam yang memegang lengannya erat.
"Jangan, nan," ucap Agam pelan. "Nanti malah makin kacau."
Afnan hanya terdiam, membiarkan mobil Wilona melaju pergi. Agam menghela napas dan menuntunnya kembali ke mobil mereka.
Dalam Mobil Afnan dan Agam
Di perjalanan, Agam memecah keheningan dengan nada kesal. "Kamu itu gimana sih, nan? Kalau kayak gini terus, rahasia pernikahan kalian bisa terbongkar di depan publik! Nanti malah muncul berita-berita nggak jelas."
Afnan memijat pelipisnya, frustasi. "Maaf, Gam. Aku tadi refleks. Pikiranku benar-benar kacau. Aku bingung harus bagaimana."
Agam mendengus sambil tertawa kecil. "Ayo dong, nan. Bukannya kamu selalu bijak dalam menyikapi segala hal?"
"Ini beda, Gam. Alya... dia beda," jawab Afnan dengan suara rendah, seolah kata-kata itu terlalu berat untuk diucapkan.
Agam memutar bola matanya. "Beda apanya? Sama aja. Yang beda cuma gimana cara kamu berpikir. Jangan tergesa-gesa, bro. Pelan-pelan. Gunakan kepalamu, bukan emosimu," ujarnya sambil menepuk-nepuk pundak Afnan.
Afnan hanya terdiam, memandang ke luar jendela. Di kepalanya, wajah Alya terbayang—tatapan dingin itu, sikap tegasnya yang selalu sulit ia tembus.
Tapi di balik semua itu, Afnan tahu, ada sisi Alya yang rapuh, yang membutuhkan seseorang. Dan ia bertekad, bagaimanapun caranya, ia akan menjadi orang itu.
baper