Anaya tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam waktu satu kali duapuluh empat jam. Dia yang hanya seorang anak yatim dan menjadi tulang punggung keluarganya, tiba-tiba di saat dirinya tengah tertidur lelap dikejutkan oleh panggilan telepon dari seorang yang tidak dikenal dan mengajaknya menikah.
Terkejut, bingung dan tidak percaya itu sudah jelas, bahkan ia menganggapnya sebagai lelucon. Namun setelah diberikan pengertian akhirnya dia pun menerima.
Dan Anaya seperti bermimpi setelah tahu siapa pria yang menikahinya. Apalagi mahar yang diberikan padanya cukup fantastis baginya. Dia menganggap dirinya bagai ketiban durian runtuh.
Bagaimana kehidupan Anaya dan suaminya setelah menikah? Apakah akan ada cinta di antara mereka, mengingat keduanya menikah secara mendadak.
Kepo.. ? Yuk ikuti kisah mereka...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
°
°
°
Nyonya Kikan langsung terbelalak dengan wajah pias. Kepanikan tampak jelas dari sorot matanya. Mendadak lidahnya menjadi kelu dan kaku. Ia menatap Anaya dengan tegang.
Anaya merasa di atas angin. Dia melipat kedua tangannya di dada sambil tersenyum. "Kenapa saya bisa tahu? Karena saya mendengarnya langsung dari mulut Khanza."
Lalu Anaya mengetuk-ketuk dagunya seperti sedang berpikir. "Bagaimana kira-kira reaksi Tuan Dodi beserta keluarga besarnya, jika mengetahui dirinya ditipu selama bertahun-tahun?"
Nyonya Kikan berusaha mengontrol emosi, lalu tersenyum sinis. "Kamu tidak akan bisa membuktikan apa-apa."
Anaya membalas tak kalah sinis, dan berkata dengan tenang, "Bagaimana jika saya bisa membuktikannya, dan juga saksi yang ada di sana?"
"Selamat menikmati pahitnya menjadi orang miskin seperti saya, Nyonya Kikan yang terhormat!" lanjutnya kemudian.
Setelah mengucapkan kata-katanya, Anaya kembali ke tempat semula. Meninggalkan Nyonya Kikan yang masih mematung dengan wajahnya pucat pasi.
Hampir dua jam melakukan perawatan, penampilan keduanya tampak segar dan bercahaya. Anaya mengubah potongan rambutnya, membuat wanita itu tampak lebih muda dari usia sebenarnya.
Ersa memainkan alisnya sambil tersenyum sendiri, melihat penampilan sahabatnya yang tampak berbeda. Ia lalu merangkul bahu Anaya dan mengajaknya keluar salon setelah membayar tagihan.
Anaya memicingkan mata curiga, lalu mengangkat bahunya cuek seraya berkata, "Awas saja kalau sampai ada yang melihat dan berkomentar buruk tentang kita!"
"Diiih, mana mungkin? Aku cewek sejati! Kalau ada yang bilang begitu, berarti ada masalah dengan dirinya!" Ersa menanggapi.
Saat melewati restoran, Ersa menawarkan Anaya untuk makan. "Mau makan dulu nggak, Nay?"
"Tidak usah. Aku pengin makan bakso, tapi di bungkus saja." Anaya mengulum senyumnya membayangkan bisa bergantian saling bersuapan dengan sang suami. Lalu dia tertunduk dengan wajah merona.
"Ekhemmm... iya-iya aku tahu, kamu pasti lagi membayangkan makan romantis sama Kak Akmal, iya kan?" tebak Ersa.
"Sudah ah, ayo kita pulang. Aku tidak mau kita terjebak macet." pungkas Anaya.
Keduanya meninggalkan mall, tak lupa mampir di warung bakso langganan mereka.
°
Akmal tiba di rumah dan masih dalam keadaan gelap gulita. "Tumben, Naya belum pulang? Apa dia lembur? Yaah... gagal dong," gumam Akmal dengan lesu.
Semenjak malam itu mereka berbagi kehangatan, Akmal seolah tak pernah bosan untuk mengulanginya lagi dan lagi. Ada saja seribu alasan yang dilakukannya, agar Anaya mau menurutinya. Dia bahkan dengan senang hati akan memijit istrinya jika mengeluh capek, sampai merasa nyaman.
Akmal sudah bertekad untuk segera memiliki momongan. Memberikan cucu pada kedua orangtuanya juga mertuanya. Dia sudah membayangkan wajah bahagia ayah bundanya dengan hadirnya malaikat kecil di dalam keluarga mereka.
"Assalamualaikum." Anaya datang dengan kantong plastik di tangan.
"Waalaikumsalam." Akmal langsung memeluk mesra Anaya dari belakang, melingkarkan kedua tangannya dengan erat di perut, dan menyandarkan dagunya di bahu sempit sang istri. Sehingga ia harus sedikit membungkukkan badannya.
Akmal merasakan sesuatu yang berbeda. Ia merasakan kulit istrinya lebih halus dan licin, rambutnya juga lembut, dan wangi. Akmal mengendus-endus seperti kucing ketika mendapat makanan. Dicium dulu baru dimakan. Hehehe
Akmal semakin mengeratkan pelukannya, dan berbisik, "Hari ini kamu berbeda, apa kamu melakukannya untuk menyenangkanku, heum? Dan kamu berhasil, Sayang!" Akmal langsung menggendong tubuh kecil istrinya, dan Anaya langsung nemplok layaknya koala.
Anaya memejamkan mata, ia merutuki Ersa yang pastinya nanti akan menguras ATMnya. Namun dia menikmati setiap sentuhan suaminya. Saat ini Anaya hanya pasrah sang suami akan berbuat apa.
°
Setelah membuat Anaya kelelahan, kini Akmal melayani istri kecilnya itu, dengan telaten dan penuh kasih sayang. Selesai mandi mereka turun ke bawah untuk mengisi perut yang tertunda.
Akmal menggendong Anaya menuju lantai bawah seolah tidak mengijinkannya menyentuh lantai. "Turunkan aku, Mas! Aku bisa jalan sendiri." Anaya melancarkan protesnya.
"Sudah nikmati saja dan jangan protes, hemmm.!"
Sesampai di bawah dia mendudukkan istrinya di kursi. "Yaah, sudah dingin kuahnya, Mas." kata Anaya.
Akmal mengambil wadah berbahan stainless dan menuangkan bakso ke dalamnya, lalu memanaskan sebentar. Tak lupa dia membuat teh hangat untuk mereka berdua.
Dirasa cukup dia segera membawa ke meja makan dan duduk di samping istrinya. "Mau pakai nasi nggak?"
"Makan bakso pakai nasi?" Anaya menatap suaminya.
Akmal berbisik, "Biar tenaganya kuat." Lalu dia beranjak mengambil secentong nasi ke dalam piring.
Dengan telaten dia menyuapi Anaya dan menatapnya dengan lembut. "Nanti lagi, ya?"
"Capek." Anaya menjawab dengan manja.
"Tidak akan capek, aku yang bekerja dan kamu yang menikmati hasilnya, oke" Akmal mengerling, sementara Anaya meluruhkan badannya dan merebahkan kepalanya di atas meja makan.
"Terus-terusan juga tidak bagus hasilnya, Mas?" Anaya menyampaikan keberatannya.
"Usiaku tidak muda lagi, Nay. Arbi saja sudah punya anak. Aku juga ingin memiliki anak, apalagi Ayah dan Bunda, pasti mereka akan bahagia."
"Apakah, Mas Akmal menikah hanya agar bisa memiliki anak? Bagaimana jika aku tidak sesuai dengan ekspektasi? Apa Mas Akmal akan membuangku?" Tiba-tiba Anaya merasa emosional, matanya berkaca-kaca.
Akmal tersentak kaget dan merasa bersalah, dia mengacak kepalanya. Kemudian bangkit lalu memeluk Anaya, mencoba memberikan ketenangan. "Maaf."
"Aku ingin semuanya berjalan alami, Mas. Kita menikah tanpa saling mengenal secara personal," kata Anaya.
"Aku ingin kita menikmati waktu berdua tanpa terbebani pikiran harus cepat punya anak. Yang ada, nanti aku-nya malah stress," sambungnya.
"Maaf... Aku terlalu menggebu-gebu, sampai aku tidak memikirkan perasaanmu. Maafkan aku, ya?"
Anaya memejamkan mata, gemuruh di dadanya belum reda.
"Aku bukannya tidak mau punya anak, Mas. Tapi kita saja baru memulai, masa iya langsung minta punya anak. Baru beberapa bulan kita menikah, semua akan ada waktunya." Anaya berusaha meyakinkan Akmal.
Akmal semakin mengeratkan pelukannya, dan mulai melancarkan serangan, namun Anaya menghentikannya, "Aku masih mau makan, Mas. Lapar aku." Anaya menggeser wadah tempat bakso lalu menyantapnya sambil menyuapi Akmal yang memandangnya dengan tatapan memuja.
Selesai makan Anaya beranjak dari tempat duduknya, namun Akmal melarang. "Biar aku saja yang mencucinya." Akmal segera membawa bekas makannya ke wastafel dan mencucinya. Sedangkan Anaya membersihkan meja.
°
Di rumah sakit.
Nyonya Kikan memasuki lobi rumah sakit, dengan langkah penuh percaya diri. Wajahnya sangat angkuh, tidak menunjukkan keramahan. Dia berjalan memasuki lift menuju lantai di mana ruang perawatan anak gadisnya berada.
Sementara itu di dalam ruangan, Khanza sedang duduk seorang diri. Hari ini dia hanya bertemu satu kali dengan Dokter Diana. Dia merasa rindu, karena sudah menganggap dokter cantik itu seperti seorang kakak baginya.
Khanza tersenyum manis saat pintu ruangan terbuka, dan menampakkan sosok mamanya memasuki ruangan.
"Mamah datang, Papa mana?"
Nyonya Kikan tidak menjawab dan kian mendekat pada putrinya, hingga,
Plaaakkk
"Mama, apa salah Khanza, Ma?"
"Anak kurang ajar, mama membesarkanmu untuk menjadi pintar dan tidak bodoh seperti kamu!" Nyonya Kikan mencengkeram leher putrinya, hingga gadis itu berteriak kesakitan.
"S-sa-kit... Ma!"
Akan tetapi emosi Nyonya Kikan layaknya kabut hitam yang menyulut api amarah, tanpa peduli pada Khanza yang kesulitan untuk sekedar bernapas.
°
°
°
°
°
Saat ada masalahnya pun nggak berlarut-larut dan terselesaikan dengan baik.
Bahagia-bahagia Anaya dan Akmal, meski ada orang-orang yang berusaha memisahkan kalian.
Semangat untuk Ibu juga. Semangat nulisnya dan sukses selalu💪💪🥰❤️❤️❤️