"Tidak perlu Lautan dalam upaya menenggelamkanku. Cukup matamu."
-
Alice, gadis cantik dari keluarga kaya. Hidup dibawah bayang-bayang kakaknya. Tinggal di mansion mewah yang lebih terasa seperti sangkar emas.
Ia bahkan tidak bisa mengatakan apa yang benar-benar diinginkannya.
Bertanya-tanya kapankah kehidupan sesungguhnya dimulai?
Kehidupannya mulai berubah saat ia diam-diam menggantikan kakaknya disebuah kencan buta.
Ayo baca "Mind-blowing" by Nona Lavenderoof.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lavenderoof, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 Saling Mengkhawatirkan
"Cindy, sayang…" Mommy berbicara dengan lembut, meletakkan tangannya di bahu putri sulungnya.
"Kau juga harus istirahat. Ayo, Mommy antar ke kamarmu. Mommy yang akan menjaga Alice malam ini."
Cindy menggeleng cepat, memandang Mommy dengan tatapan tegas namun tetap penuh kesedihan. "Tidak, Mom. Biar aku saja. Aku ingin di sini, menemani Alice malam ini."
Mommy menghela napas, menatap Cindy seolah ingin membantah, namun ia memahami perasaan putri sulungnya.
"Sayang, kau juga penting bagi Mommy. Kau terlihat sangat lelah, dan Mommy tidak ingin kau jatuh sakit. Kalau kau ingin di sini, tidak apa-apa, tapi kau harus beristirahat. Setidaknya tidurlah di samping Alice. Mommy akan meminta pelayan berjaga di sini kalau sewaktu-waktu Alice atau kau memerlukan sesuatu."
Cindy menatap Mommy sejenak, lalu mengangguk. "Baik, Mom. Aku akan tidur juga di sini."
Mommy memerintahkan dua pelayan masuk ke dalam kamar. Setelah memastikan Cindy naik ke ranjang dan berbaring di samping Alice, Mommy membelai kepala kedua putrinya dengan penuh kasih sayang.
"Kalian adalah segalanya bagi Mommy dan Daddy. Jangan ragu meminta bantuan jika ada apa-apa, ya, sayang."
"Thank you, mommy." Cindy mengangguk dan tersenyum kecil. Mommy pun keluar dari kamar dengan langkah berat.
Namun begitu pintu menutup, Cindy bangkit perlahan dari tempat tidur. Ia memandang kedua pelayan yang berdiri di sudut kamar. "Kalian bisa berjaga di luar saja," ucapnya dengan suara tegas dan nada rendah.
Salah satu pelayan tampak ragu. "Tapi, Nona Cindy, Nyonya meminta kami berjaga di sini."
"Aku tahu, tapi kehadiran kalian justru membuat aku tak bisa beristirahat. Aku butuh privasi. Kalau ada apa-apa, aku akan langsung memanggil kalian," potong Cindy, menatap mereka dengan sorot mata tegas.
Akhirnya, pelayan itu mengangguk. "Baik, Nona. Kami akan berjaga di luar pintu. Jika membutuhkan sesuatu, panggil saja. Selamat Malam, Nona." katanya sebelum mereka keluar meninggalkan Cindy dan Alice berdua.
Begitu pintu tertutup rapat, Cindy menghela napas panjang. Beralih ke sofa kecil yang ada di seberang. Perlahan ia menggesernya ke dekat ranjang dan duduk di atasnya. Menggenggam tangan Alice yang masih terkulai lemah.
Tangannya mengusap lembut punggung tangan Alice. Wajahnya penuh kekhawatiran. Dalam hatinya, ia bertekad untuk segera menyelesaikan masalah ini dan melindungi adiknya dari tekanan lebih lanjut.
Beberapa jam berlalu. Di kamar yang remang dengan lampu meja yang redup, Cindy setia duduk di kursi dekat tempat tidur Alice. Wajahnya terlihat lelah, tetapi ia tetap menggenggam tangan adiknya yang dingin, tatapannya terpaku pada setiap helaan napas Alice.
Di tengah keheningan itu, Cindy merasakan jemari Alice bergerak pelan di genggamannya. Ia terkejut, lalu menatap wajah adiknya dengan penuh harap.
"Al?" panggilnya dengan suara pelan, namun sarat emosi.
Kelopak mata Alice perlahan terbuka, pandangannya masih buram. Ia tampak bingung, namun segera mengenali wajah kakaknya.
"Cindy..." Suara Alice hampir berbisik.
"Iya, Al. Aku disini." Cindy mengangguk, mengusap tangan adiknya.
"Bagaimana ini, Cindy? Apa kita akan ketahuan akhirnya?..." gumamnya lemah, suara parau menjadi kalimat pertama yang ia ucapkan setelah tidak sadarkan diri.
Cindy tersenyum, meski matanya berkaca-kaca. "Sshh.. Jangan bicara dulu. Tidak perlu membahas hal itu sekarang, Al."
"Untuk saat ini, fokus saja pada kesehatanmu, okay?" Nada suaranya lembut namun tegas, mencoba menenangkan Alice yang terlihat cemas.
Namun Alice menggeleng pelan. "Cindy, I'm scared..." Suaranya bergetar, mencerminkan kecemasan yang selama ini dipendamnya.
Cindy menggenggam tangan Alice lebih erat, menatap adiknya dengan penuh kasih.
"Tidak ada yang perlu kau takutkan, Al. Aku ada di sini. Aku tidak akan membiarkan apapun terjadi padamu."
Alice mengangguk pelan "Sudah berapa lama aku seperti ini?..." Ia bertanya dengan bingung sambil memegang kepalanya yang masih terasa pusing.
"Sekarang pukul 11.03 PM. Kau pingsan sekitar 3 jam 37 menit yang lalu."
"Kau juga duduk disini, menungguku selama itu?..."
"Iya, Al. Aku menunggumu." Cindy mengangguk.
"Cindy... Kau juga terlihat lelah. Aku tidak ingin kau sakit karena aku."
Cindy tersenyum kecil, menggeleng. "Aku baik-baik saja. Yang penting sekarang kau harus kembali tidur, Al. Tubuhmu butuh istirahat."
Alice terdiam sejenak, lalu dengan lemah menepuk sisi ranjang kosong di sebelahnya. "Tidurlah di sini bersamaku, Cindy. Kau juga butuh istirahat."
Cindy ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. Ia naik ke tempat tidur dan berbaring di samping Alice, lalu memeluk adiknya dengan lembut. Membagi kehangatan pada tubuh adiknya yang masih dingin.
ig : lavenderoof