"Aku ingin bercerai karena aku sudah tahu maksud busuk mu! Tidak ada hubungannya dengan Rose! Aku tidak pernah mencintaimu sejak awal. Kau telah merampas posisi Rose sebagai istriku!"
"Selama aku tidak menandatangani surat cerai, itu tetap dianggap selingkuh! Dia tetaplah perusak rumah tangga!"
Setiap kali Daisy melawan ucapan Lucifer, yang dia dapatkan adalah kekerasan. Meskipun begitu dengan bodohnya dia masih mencintai suaminya itu.
"Karena kamu sangat ingin mati, aku akan mengabulkannya!"
Kesalahpahaman, penghianatan, kebohongan. Siapa yang benar dan siapa yang salah. Hati nurani yang terbutakan. Janji masalalu yang terlupakan. Dan rasa sakit yang menjadi jawaban.
Apakah kebenaran akan terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon little turtle 13, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kambuh
Keesokan paginya,
Seperti saat-saat yang lalu, meja makan itu diisi dua orang yang masing-masing menyantap sarapannya dalam diam. Sunyi, bahkan suara dentingan pun tak terdengar.
Sebuah nada dering memecah keheningan yang canggung, dan wajah Lucifer langsung berubah menjadi tenang setelah melihat si penelepon.
"Ya, aku akan segera kembali. Apakah kamu ingin aku membawakan tiramisu kesukaanmu?"
Mendengar perubahan nada bicara yang tiba-tiba, Daisy tahu persis siapa orang di ujung telepon itu. Hatinya hancur mengetahui Lucifer akan pergi lagi demi wanita itu.
Dia berpura-pura tidak mendengar pembicaraan itu dan terus melanjutkan makan. Meskipun matanya tertuju pada makanan di piring, pikirannya tidak lagi tertuju di sana.
Setelah Lucifer menutup telepon, dia melirik Daisy yang masih makan dengan santai. Kemudian dia naik ke ruang kerjanya, mengambil beberapa dokumen, dan pergi.
Mendengar suara mobil pergi, Daisy berhenti makan dan menatap pintu dengan tatapan kosong. Bibi Marlin merasa sedih ketika melihat penampilannya yang putus asa.
"Nona, jangan marah. Dia tidak mengerti anda, tetapi kami bisa melihat kebaikan dan cinta anda.." ucap Bibi Marlin mencoba menenangkan Daisy.
"Tidak ada gunanya. Tidak peduli seberapa keras aku mencoba, semuanya sia-sia. Dan sekarang bahkan lebih mustahil lagi!"
Daisy bangkit dan berjalan ke ruang tamu dengan linglung. Dia meringkuk di sofa dan membenamkan kepalanya di lengannya seperti anak terlantar, tubuhnya gemetar tak terkendali.
"Aku tidak pernah bisa menghentikannya untuk pergi setiap saat. Bagaimana dia bisa menyukaiku jika dia bahkan tidak punya tempat untuk ku di hatinya? Satu panggilan dan satu pesan dari orang lain dapat langsung mengubah tindakannya, dan aku.. sekarang satu-satunya hubungan antara kami berdua tidak lebih dari sekadar berakting di depan Ibu dan Kakeknya." suaranya terdengar parau.
Melihat Daisy sedang tidak stabil emosinya, Bibi Marlin menuangkan segelas air dan membawanya, lalu dengan lembut menaruhnya di atas meja.
"Nona, apakah anda baik-baik saja? Saya akan membantu anda naik untuk beristirahat.." lanjut Bibi Marlin sambil mengulurkan tangannya untuk membantunya berdiri. Namun suara raungan ketakutan Daisy menghentikan tangan Bibi Marlin untuk menyentuh Daisy.
"Jangan sentuh aku!"
Bibi Marlin terkejut mendengar suara itu dan menatapnya dengan tatapan kosong. Dia tidak percaya bahwa Daisy yang selalu bersikap rendah hati dan baik padanya, akan membentaknya dengan amarah seperti itu.
"No-Nona apa anda baik-baik saja?" tanya Bibi Marlin dengan ketakutan.
Daisy mendongak dan menatap Bibi Marlin yang khawatir di depannya. Ekspresinya berangsur-angsur stabil, kemudian bangkit dan berjalan ke atas dengan panik.
Dia menutup pintu dengan keras, kemudian terengah-engah dan bersandar di balik pintu. Memikirkan emosi tak terkendali yang baru saja dia keluarkan, dia tak kuasa menahan rasa sesal.
Dia mencari ponselnya dan melihat nomor telepon Dr. Ghea. Tangannya yang gemetar itu melayang di atas tombol panggil. Dia ragu-ragu untuk meneleponnya. Karena dia sendiri tidak tahu apa gunanya perawatan itu.
"Halo? Daisy?"
Tidak ada tanggapan. Daisy menjauhkan ponselnya tidak tahu harus berkata apa, karena tangannya tak sengaja menekan tombol memanggil.
"Daisy? Apakah kamu mendengarkan?” tanya Dokter Ghea dengan cemas.
"Jawab saya! apa kamu baik-baik saja? Kamu ada dimana?"
"Dokter Ghea, saya ingin melanjutkan pengobatan ini demi orang-orang yang mencintai saya dan orang-orang yang mengkhawatirkan saya.." lirih Daisy.
"Syukurlah, saya kira kamu kenapa-kenapa.."
"Baguslah kalau kamu berpikir seperti itu. Saya sangat senang mendengarnya. Saya sempat khawatir sebelumnya, karena mendiang Ibumu, Amber sudah berpesan padaku agar mengobati mu hingga trauma mu sembuh.." jelas Dokter Ghea yang tidak lain adalah teman mendiang Ibunya itu.
Daisy menatap ke luar jendela dan mengepalkan tangannya. Dia tidak memberikan jawaban apapun.
"Kapan kamu punya waktu luang untuk datang?" tanya Dokter Ghea.
"Minggu ini, saya akan menghubungi anda lagi untuk waktu yang spesifik. Terima kasih, Dokter Ghea.."
Setelah menutup telepon, Daisy menghela napas lega. Dia berjalan keluar ke balkon dan melihat pepohonan di halaman dengan guguran daun di bawahnya.
Daun-daun kering yang menggantung di dahan mengingatkan akan dirinya dan Lucifer. Akan gugur kapan saja.
Dia tidak tahu kapan benang terakhir yang menghubungkan pernikahan mereka akan putus tanpa suara.