Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
"Hei, kalian sudah dengar berita?" Uli mengagetkan dua pasang muda-mudi yang sedang kasmaran di tengah-tengah jam istirahat mereka.
"Berita apa maksudmu?" timpal Elin dengan raut wajah penuh kekesalan.
Uli yang baru saja kembali dari auditorium segera menceritakan apa yang sudah didengarnya di ruang rahasia itu.
"Kamu serius? Aline kabur dari rumah sakit sewaktu dijaga oleh Kak Stev? Kamu nggak salah dengar, kan?" tanya Elin yang tampaknya tidak percaya.
Uli mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kak Stev sendiri yang menelepon Kak Levi di auditorium."
"Tapi, bagaimana Aline bisa kabur?" tanya James.
Uli mengangkat bahu. "Aku nggak tahu pasti ceritanya bagaimana. Katanya itu terjadi dini hari tadi. Dari yang kudengar, Kak Stev minta bantuan dari Kak Levi dan Kak Ode buat cari Aline. Kak Raga juga sempat marah sama Kak Stev. Dan, yang membuatku heran, waktu aku lihat Kak Raga marah-marah sama Kak Stev di telepon, aku sempat lihat wajah Kak Raga langsung berubah aneh."
"Aneh?"
"Ya, kayak orang yang ketakutan begitu."
"Ketakutan bagaimana sih, maksud kamu?" Sela James.
"Iya, Kak Raga tuh kelihatan aneh karena wajahnya kayak orang yang gelisah gitu, Selai. Tahu nggak ekspresi orang tua kalau anaknya hilang? Nah, kurang lebihnya itu maksudku. Waktu Kak Stev ngasih kabar kalau Aline hilang, tiba-tiba saja Kak Raga langsung ambil alih gagang telepon dari Kak Levi, marah-marah sama Kak Stev terus keluar sambil bawa kunci motor dan jaketnya. Kak Raga kayak orang yang terburu-buru begitu."
"Eng..., mungkin dia kelihatan gelisah begitu karena lagi ada urusan penting kali."
"Bisa jadi, sih. Setelah Kak Raga tutup teleponnya, Kak Raga memang dapat panggilan telepon pribadi. Tapi, aku masih aneh saja sama Kak Raga. Kenapa waktunya harus tepat setelah Kak Stev yang kasih kabar itu coba?"
"Secara tidak langsung, ini kamu jadi curiga sama Kak Raga begitu?"
"Yah, enggak begitu juga. Gimana, ya, aku cuma ngerasa kalau Kak Raga itu terlalu mengkhawatirkan Aline."
"Jadi, menurut kamu Kak Raga pergi dari sana buat cari Aline begitu?"
"Hm, nggak tahu juga sih. Tapi, kurasa memang begitu. Habisnya setiap kali aku perhatikan, tingkah lakunya Kak Raga sejak Aline berada di kampus ini jadi agak aneh. Nggak tahu kenapa, Kak Raga yang biasanya nggak pernah peduli sama mahasiswa baru atau teman perempuannya tiba-tiba jadi perhatian banget, terutama sama Aline. Kak Raga kayak melindungi Aline banget gitu. Aku juga pernah dengar dari Kak Levi, katanya Kak Raga mau kasih semua busana koleksinya ke Aline."
"Apa? Serius kamu?" Reaksi Elin kelewat berlebihan. James sampai tersedak karena kaget. "Tadi kamu bilang, Kak Raga yang super duper cuek ke semua cewek itu ngasih semua busana koleksinya ke Aline? Kamu nggak salah informasi, nih?"
Uli menggeleng. "Informasi ini pasti valid. Kak Levi sendiri yang cerita ke aku. Kamu tahu, kan, hubungan aku dan Kak Levi akhir-akhir ini sudah mulai membaik, jadi kurasa semua yang Kak Levi katakan tidak mungkin cuma omong kosong. Apalagi hubungan pertemanan Kak Levi dan Kak Raga itu kan erat sekali, sudah pasti apa yang diperbuat Kak Raga akan diketahui oleh sahabat-sahabatnya."
"Itu berarti dugaan aku selama ini benar, dong. Kak Raga diam-diam memang suka sama Aline. Tapi, bukannya Kak Raga itu punya hubungan sama Kak Ode, ya?"
"Sudah, jangan bergosip terus. Belum tentu juga kabar itu benar." James mengingatkan.
Uli dan Elin cengengesan. Lantas Elin mencetuskan sesuatu. "Bagaimana kalau pulang dari sini kita cari Aline ke asramanya? Kemarin Miss Jane kan sudah memberi alamat tempat tinggal Aline."
"Ide bagus. Ya sudah, sekalian nanti kita kasih materi kuliah yang sudah kita salin itu buat Aline, supaya dia bisa kejar materi yang tertinggal."
"Boleh tuh. Oke, kalau begitu jam satu kita kumpul di sini, ya. Aku bakal izin dari klub dance biar bisa ikut kalian."
"Oke. Ya sudah, kita lupakan sejenak rencana kita. Sekarang lebih baik kita bahas dulu materi yang harus kita presentasikan setelah ini." kata James, mengambil laptop dari tas selempangnya.
"Memang ada tugas, ya?" Uli heran.
"Ada. Nulis esai tentang ulasan fashion show, sama tugas sketsa."
"Astaga, aku lup—" Uli teringat sesuatu. "Eh, enggak, deh. Tugas aku sudah kelar semua." Uli cengengesan, ingat bahwa semalam Levi sudah mengajarkannya membuat sketsa dan esai dalam bahasa Inggris yang benar.
"Saya kurang percaya kalau kamu sudah mengerjakan tugas. Dua hari lalu, kamu kan menghindar dari kelas Sir Julian." ledek James.
Uli mencibir. "Memangnya manusia tidak bisa berubah?"
James dan Elin saling melempar pandang.
"Ohoho... Ternyata Uli sudah mulai dewasa, ya? Sikapnya jadi bijak begini..."
"Iya, dong. Aku kan sudah menemukan passion aku, jadi aku akan berjalan di jalur ini." Uli bersikap optimis sembari menggenggam telapak tangannya. Bibirnya cengar-cengir sendiri, menimbulkan kecurigaan James dan Elin.
"Kamu sehat kan, Ul?"
"Alhamdulillah, aku sehat." jawab Uli sembari tertawa.
James bergidik. Elin menggeleng-gelengkan kepala.
"Sudahlah, biarkan saja Uli begitu, setidaknya dia tidak akan menganggu kita lagi." James berbisik di telinga Elin. Elin hanya tersenyum mendengarnya.
Mereka berdua lantas asyik berdiskusi, membahas tugas-tugas mereka di taman kampus itu hingga bel masuk berbunyi.