"Aku memang lebih muda darimu, Elea," bisik Darren dengan suara rendah, nyaris berdesir di telinganya. Napas hangatnya menggelitik kulit Elea, membuat tubuhnya tanpa sadar bergetar. "Tapi, aku tetaplah seorang pria normal," lanjutnya, suaranya penuh keyakinan, meninggalkan ketegangan yang menggantung di antara mereka.
***
Darren Alaric Everleigh, pewaris tunggal sebuah perusahaan besar, memutuskan untuk menjalani kehidupan yang berbeda. Menyamar sebagai karyawan biasa, ia masuk ke perusahaan milik keluarganya tanpa seorang pun tahu siapa dirinya sebenarnya. Namun, hidupnya berubah saat ia ditempatkan sebagai asisten Elea Victoria Whitmore.
Elea adalah seorang wanita pekerja keras yang diam-diam menyimpan mimpi besar. Namun, mimpi itu selalu dihancurkan oleh suaminya, Adrian, seorang pria yang tidak pernah mendukungnya. Di tengah tekanan pekerjaan dan pernikahan yang dingin, Elea menemukan kenyamanan dalam kehadiran Darren—seorang asisten muda yang penuh perhatian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A Smile for Someone Else
Salah satu lounge di hotel itu cukup sederhana, tetapi hangat. Dinding kayu berwarna gelap dengan tekstur kasar memberikan suasana akrab yang menenangkan. Cahaya lampu kuning redup memantulkan bayangan lembut, menciptakan kesan intim yang mengundang rasa nyaman.
Di sudut ruangan, suara pelan mesin kopi otomatis mengisi kesunyian, seperti irama monoton yang tidak pernah benar-benar mengganggu. Aroma kopi yang baru diseduh menguar lembut, bercampur dengan aroma kayu yang khas.
Di atas meja kayu yang sedikit aus, dua cangkir kopi tergeletak. Salah satunya hampir kosong, dengan bekas noda bibir di tepinya, sementara yang lain masih mengepulkan uap tipis, membawa aroma khas yang menenangkan. Di luar jendela, hujan mulai turun perlahan, menciptakan simfoni lembut yang menyatu dengan suasana ruangan.
Elea duduk dengan kaki bersilang, tubuhnya membentuk siluet anggun di bawah cahaya lampu. Rambutnya yang terurai membingkai wajahnya, menambah kesan elegan meski ia mengenakan pakaian sederhana. Laptop terbuka di depannya, tetapi pandangannya sudah menjauh dari layar, terpaku pada titik yang entah di mana.
Sesekali ia mengetukkan ujung jarinya ke meja, tanda pikirannya sedang berkeliaran jauh dari tugas yang ada. Darren, yang duduk di kursi seberang, memandangi Elea dengan intensitas yang sulit disembunyikan. Matanya menelusuri setiap gerakan kecilnya, dari cara Elea menyentuh gelas kopinya hingga kerutan halus di dahinya. Ia tahu ia tidak seharusnya memandanginya seperti ini, tetapi sesuatu tentang Elea selalu menarik perhatian Darren, seperti gravitasi yang tak terelakkan.
Ada hening yang nyaman—setidaknya bagi Elea. Namun, bagi Darren, hening itu terasa terlalu panjang, hampir menyiksa. Ia berdeham pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk memecah kebisuan. Tapi pikirannya berlari lebih cepat dari lidahnya, penuh dengan pertanyaan yang tak pernah ia temukan keberanian untuk tanyakan.
“Jadi,” Darren memulai dengan nada ringan, sedikit canggung, “apa rencanamu setelah ini? Maksudku, setelah proyek ini selesai. Liburan, mungkin? Kau kelihatan butuh itu.”
Elea mengangkat alisnya sedikit, lalu tersenyum tipis tanpa mengangkat kepala. “Liburan bukan pilihan. Aku punya pekerjaan yang menunggu di kantor, dan... tanggung jawab lain di rumah.”
Darren mendengus kecil, mencoba menyembunyikan rasa penasarannya. “Ah, kau benar-benar tipe pekerja keras, ya? Sebenarnya, apa yang membuatmu begitu fokus? Ambisi? Atau... pelarian?”
Elea menatapnya, matanya yang tajam menusuk Darren seperti pisau. Namun, senyum tipisnya tetap terjaga. “Apa yang kau tahu soal pelarian?”
Darren mengangkat bahu santai, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Lebih dari yang kau kira,” jawabnya, nadanya berubah serius. Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, suara ponsel Elea berdering, memotong suasana di antara mereka.
Elea mengambil ponselnya dari meja, melihat nama yang tertera di layar: Adrian. Wajahnya seketika berubah. Kilatan kebahagiaan muncul di matanya, dan senyum kecil yang jarang terlihat menghiasi bibirnya. Darren memperhatikan perubahan itu dengan seksama, hatinya terasa kesal melihat senyum yang tidak pernah ia terima.
“Sebentar,” kata Elea pada Darren sebelum menjawab telepon. “Adrian? Hai...”
Nada suara Elea melembut, nyaris seperti bisikan. Ada kehangatan yang jelas terasa dalam suaranya, kehangatan yang tidak pernah ia gunakan saat berbicara dengan Darren. Darren duduk tegak, menyilangkan tangan di dada, matanya tidak lepas dari Elea.
“Ya, aku baik-baik saja,” Elea berkata pelan. “Proyek berjalan lancar. Kau sendiri? Bagaimana harimu?”
Darren mendengus kecil, cukup keras sehingga Elea meliriknya sekilas. Namun, Elea segera kembali fokus pada teleponnya, tidak memperhatikan perubahan ekspresi Darren yang kini terlihat seperti anak kecil yang kesal tidak mendapatkan perhatian.
“Adrian, aku...” Elea berhenti sejenak, senyum lembut di wajahnya. “Aku senang kau menelepon.”
Darren mulai mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, pura-pura sibuk dengan cangkir kopinya. Matanya tetap menatap Elea dengan intens, mencoba mencari celah untuk menginterupsi percakapan itu. Namun, ia tahu ia tidak punya alasan.
“Ya, aku akan segera pulang setelah tugas di sini selesai,” kata Elea lagi. “Kita bisa makan malam bersama kalau kau tidak terlalu sibuk...”
Ada jeda panjang sebelum Elea melanjutkan, suaranya sedikit lebih tenang. “Oh, aku mengerti. Tidak apa-apa, lain kali saja, ya.”
Meskipun Elea berusaha terdengar santai, Darren bisa melihat perubahan kecil itu. Cara Elea mengalihkan pandangan, cara bahunya sedikit menurun—semuanya menandakan kekecewaan yang berusaha ia sembunyikan. Sesuatu dalam dirinya memberontak, ingin sekali menghapus kekecewaan itu dari wajah Elea, tetapi ia tahu batasannya.
Setelah menutup telepon, Elea duduk diam beberapa detik sebelum kembali menghadap laptopnya. Namun, sebelum ia sempat mengetik apa pun, Darren akhirnya membuka mulut.
“Jadi, itu Adrian?” tanyanya, nadanya lebih datar daripada biasanya.
Elea menatapnya dengan alis terangkat. “Ya. Kenapa?”
“Ah, tidak apa-apa,” jawab Darren, meskipun jelas dari nadanya bahwa itu bukan kebenaran. “Aku hanya berpikir... menarik melihat sisi lain darimu. Kau terlihat... berbeda saat berbicara dengannya.”
“Apa maksudmu?” Elea bertanya, suaranya terdengar curiga.
Darren menyandarkan tubuhnya ke kursi, memasang ekspresi polos yang ia tahu akan mengganggu Elea. “Tidak ada. Aku hanya berpikir, mungkin aku harus mulai meneleponmu lebih sering. Kalau itu yang diperlukan untuk membuatmu tersenyum seperti tadi.”
Elea menghela napas panjang, jelas berusaha mengabaikan godaan Darren. “Darren, jangan mulai lagi.”
“Aku serius,” Darren menambahkan, nadanya lebih lembut. “Kau terlihat bahagia. Dan sejujurnya... aku jarang melihat itu.”
Elea terdiam. Kata-kata itu menusuk sesuatu dalam dirinya yang sudah lama ia coba abaikan. Di satu sisi, ia tahu Darren sedang bermain-main. Tetapi di sisi lain, ada sesuatu dalam nadanya yang terasa tulus.
“Adrian adalah suamiku,” katanya akhirnya, mencoba menutup pembicaraan. “Tentu saja aku bahagia mendengar kabarnya.”
Darren mengangguk pelan, meskipun ekspresinya sulit dibaca. “Tentu saja,” katanya, hampir seperti bergumam. “Aku hanya berharap dia tahu betapa beruntungnya dia memiliki seseorang sepertimu, Elea.”
Elea menatapnya dengan ekspresi bingung, tetapi sebelum ia sempat berkata apa-apa, Darren sudah berdiri.
“Baiklah, aku akan keluar sebentar,” katanya dengan senyum tipis, meskipun matanya tidak menunjukkan kebahagiaan. “Aku akan memastikan tidak ada yang perlu diatur ulang sebelum presentasi besok.”
Tanpa menunggu jawaban, Darren melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan Elea yang masih duduk diam. Ia tahu Darren sedang menyembunyikan sesuatu, tetapi ia tidak yakin apakah ia ingin mengetahuinya. Di luar jendela, hujan semakin deras, membasahi jalanan kota Birmingham yang dingin. Suara air yang jatuh membentuk harmoni melankolis, mencerminkan perasaan yang tak terucapkan di antara mereka berdua.
Namun, saat Darren membuka pintu, ia mendapati seseorang sudah berdiri di sana. Pria itu mengenakan jas gelap yang tampak mahal, wajahnya dingin dan penuh kewaspadaan. Mata pria itu menatap Darren dengan tajam, penuh arti, seolah sudah mengetahui semua rahasia yang coba Darren sembunyikan.
Darren berhenti di tempat, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia mengenali pria itu—Mr. Everleigh, seseorang yang tahu persis siapa Darren sebenarnya. "Kita perlu bicara, Everleigh," kata Mr. Lancaster dingin, suaranya rendah.
Darren merasakan tenggorokannya mengering, tetapi ia mencoba mempertahankan ekspresi santainya. Di dalam ruangan, Elea mungkin sudah mulai bertanya-tanya ke mana Darren pergi. "Bukan di sini," bisik Darren akhirnya, melirik sekilas ke pintu ruang istirahat.
"Baik," jawab Mr. Lancaster sambil melangkah mendekat.
“Tapi pastikan tidak ada yang perlu mendengar pembicaraan ini, atau kau tahu apa yang akan terjadi," kata Mr. Darren sambil melirik ke arah pintu ruang istirahat, memastikan tidak ada yang mendengar percakapan mereka.
***