Pinky, gadis rusuh dan ceplas-ceplos, tergila-gila pada Dev Jaycolin meski cintanya selalu ditolak. Suatu kejadian menghancurkan hati Pinky, membuatnya menyerah dan menjauh.
Tanpa disadari, Dev diam-diam menyukai Pinky, tapi rahasia kelam yang menghubungkan keluarga mereka menjadi penghalang. Pinky juga harus menghadapi perselingkuhan ayahnya dan anak dari hubungan gelap tersebut, membuat hubungannya dengan keluarga semakin rumit.
Akankah cinta mereka bertahan di tengah konflik keluarga dan rahasia yang belum terungkap? Cinta Gadis Rusuh & Konglomerat adalah kisah penuh emosi, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
"Pinky, letakkan bolamu, jangan menimbulkan masalah lagi!" kata Mark dengan nada tegas, suaranya memecah ketegangan yang meliputi ruangan. Tatapannya tajam mengarah pada Pinky yang berdiri di ruangan itu dengan bola di tangannya.
Gadis itu hanya menyeringai, senyum sinis menghiasi wajahnya. "Papa, lebih baik periksa anakmu dan selingkuhanmu," balasnya dengan nada mengejek, tanpa rasa takut. Ia mengangkat bolanya setinggi dada, memainkannya seolah tantangan itu adalah hiburan. "Aku hanya menggunakan lima puluh persen tenagaku. Mungkin saja barang selingkuhanmu pecah." Kalimat itu keluar dari mulutnya dengan penuh provokasi.
Sania, yang berdiri tak jauh dari Mark, tidak bisa menahan emosinya. Wajahnya memerah, dan matanya menyala penuh kemarahan. "Aku akan menuntutmu!" kecamnya, suaranya bergetar menahan marah.
Namun, Pinky tidak menunjukkan rasa gentar sedikit pun. Dengan santai, ia melempar senyum menantang. "He he he...baiklah, bagaimana kalau kita ke kantor polisi sekarang? Aku akan mengaku salah, dan biarkan polisi periksa dada anakmu dan barangmu itu. Apakah masih bisa digunakan atau tidak," jawabnya dengan nada penuh ironi sambil mengeluarkan ponselnya. Ia mulai mengetik nomor tujuan dengan santai, seolah ini hanya permainan biasa baginya.
Ketika panggilannya tersambung, suara tegas seorang pria terdengar di ujung sana. "Halo, di sini adalah detektif divisi kriminal," sahutnya.
Pinky menjawab tanpa ragu, suaranya penuh dengan nada puas. "Aku mau melaporkan sebuah kasus kekerasan. Selingkuhan papaku dan anak luar nikahnya terluka," katanya santai, seperti membacakan laporan biasa.
Polisi di seberang terdengar bingung namun mencoba tetap profesional. "Dengan siapa di sana dan siapa pelakunya?" tanyanya.
Pinky tersenyum penuh kemenangan, meskipun tak ada yang melihatnya. "Dengan aku, Pinky, dan pelakunya adalah aku juga," jawabnya dengan santai, nyaris tak peduli dengan reaksi yang akan ia terima.
Di seberang, suara polisi berubah menjadi penuh frustrasi. "Apa kau tidak ada kerjaan lain, sehingga mengganggu kami terus? Kapan kau tidak pernah berulah, ha? Dalam setahun sudah lebih dari sepuluh kali kami melihat wajahmu. Jangan pernah datang lagi! Kalau tidak, aku akan menembak kepalamu!" teriak polisi itu, suaranya penuh emosi.
Namun, ancaman itu tidak menggentarkan Pinky. Ia hanya terkekeh pelan. "Aku mau serah diri. Apakah kalian tidak terima? Kalau kalian menangkapku, kalian akan naik pangkat," balasnya.
Polisi di seberang hanya mendengus marah. "Bukan naik pangkat, yang jelas naik darah! Jangan muncul di hadapan kami!" bentaknya, sebelum memutus panggilan dengan kasar.
Pinky menatap ponselnya sejenak sebelum tertawa kecil. "Aneh sekali, padahal aku ingin menyerah diri malah ditolak," gumamnya dengan nada geli. Ia mengangkat bahu dan mengarahkan pandangannya ke Mark dan Sania yang masih berdiri mematung.
"Mereka menolak. Lebih baik kalian saja pergi melapor. Dan aku akan menunggu mereka di sini," ucap Pinky dengan santai, sambil melempar bola ke arah mereka. Lemparan itu nyaris mengenai Mark, membuat pria itu tersentak dan mundur dengan kesal.
Tak ingin terus berurusan dengan Pinky, Mark, Sania, dan Jenny langsung beranjak pergi. Mereka bahkan meninggalkan koper mereka tanpa berpikir dua kali.
Pinky menatap punggung mereka yang menjauh, lalu terkekeh puas. "Hahaha...ingin melawanku? Lihat saja nanti. Permainan belum selesai," ujarnya, sambil menarik koper mereka ke arah jendela. Ia berdiri di sana, memandang ke bawah di mana mobil ayahnya terparkir rapi.
Beberapa pejalan kaki terlihat berlalu lalang di depan gedung mereka, tak menyadari drama yang baru saja terjadi di lantai atas. Pinky berdiri dengan angkuh, bola masih di tangannya, memandang dunia di bawah sana dengan senyuman penuh rencana.