Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Pagi itu, suasana di apartemen Mario terasa lebih sibuk dari biasanya. Mario sedang duduk di meja kerjanya, menyelesaikan beberapa dokumen saat pintu diketuk. Devon masuk dengan membawa map tebal berisi dokumen.
“Tuan,” Devon berkata sambil meletakkan map tersebut di meja Mario. “Ini berkas pembebasan Tuan Daniel Hartono. Semua sudah diproses dan disetujui. Hari ini Anda bisa langsung menjemputnya.”
Mario mengangkat pandangannya dari dokumen yang sedang ia baca. Matanya menyapu map itu sejenak sebelum mengangguk pelan. “Bagus. Persiapkan mobilnya. Aku ingin semuanya selesai dengan lancar,” katanya dengan nada tegas namun santai.
Devon tersenyum tipis, terlihat puas dengan hasil kerjanya. “Semua sudah diatur, Tuan. Apakah Anda ingin saya mengantar Anda?” tanyanya.
Mario bangkit dari kursinya, mengambil jas yang tergantung di belakang pintu. “Tentu saja, Devon. Kau yang bertanggung jawab atas ini, jadi kau harus ikut.”
Devon mengangguk. “Baik, Tuan. Mobil sudah siap di bawah. Saya akan menemani Anda.”
Mario tersenyum samar sambil mengambil map tersebut. “Hari ini adalah hari besar untuknya. Setelah bertahun-tahun, dia akhirnya bebas.”
Devon menatap Mario sejenak, lalu berkata, “Dan itu semua karena Anda, Tuan. Tuan Daniel Hartono beruntung memiliki seseorang seperti Anda di pihaknya.”
Mario hanya mengangguk kecil sebelum berjalan menuju pintu. “Mari kita jemput dia. Sudah waktunya dunia tahu kebenaran tentang apa yang sebenarnya terjadi.”
Di dalam mobil yang melaju tenang menuju penjara, Devon melirik Mario yang duduk di sebelahnya, terlihat memandang keluar jendela dengan ekspresi serius. Setelah beberapa saat, Devon memecah keheningan.
“Tuan, setelah Tuan Daniel bebas, apakah Anda akan langsung mempertemukannya dengan Nona Renaya?” tanya Devon dengan hati-hati, memilih kata-katanya dengan teliti.
Mario mengalihkan pandangannya dari jendela, menatap Devon dengan ekspresi tenang namun tegas. “Tidak, Devon. Tidak sekarang. Aku ingin Daniel tenang dulu. Dia sudah cukup lama di penjara, dan aku ingin memberinya waktu untuk menyesuaikan diri. Dia akan tinggal di apartemenku yang lain untuk sementara waktu,” jawab Mario.
Devon mengangguk kecil, memahami keputusan tersebut. “Itu keputusan bijak, Tuan. Tapi bagaimana jika Arnold tahu bahwa Tuan Daniel sudah bebas?”
Mario menyunggingkan senyum tipis yang penuh arti. “Arnold tidak boleh tahu. Aku ingin bermain sebentar dengannya. Biarkan dia merasa segalanya masih dalam kendalinya, sebelum aku menarik karpet dari bawah kakinya.” Nada suaranya dingin.
Devon mengangguk lagi, mengagumi kecerdikan bosnya. “Bagaimana dengan Nona Renaya? Apakah dia tidak curiga tentang semua ini?”
Mario menarik napas panjang sebelum menjawab. “Renaya belum tahu soal ini. Memberitahunya bahwa Daniel adalah papi kandungnya yang sebenarnya... rasanya butuh waktu tersendiri. Aku harus memilih momen yang tepat. Renaya adalah tipe yang sensitif, dan aku tidak ingin dia merasa dikhianati atau bingung dengan kenyataan ini.”
Devon menatap Mario dengan penuh rasa hormat. “Anda benar-benar memikirkan segalanya, Tuan. Saya yakin Nona Renaya akan mengerti pada akhirnya.”
Mario tersenyum kecil, tatapannya kembali ke jendela. “Aku hanya ingin memastikan dia bahagia, Devon. Segalanya yang kulakukan ini... hanya untuk dia.”
Mobil berhenti di lampu merah, dan Devon berkata, “Kalau begitu, saya akan memastikan semua berjalan sesuai rencana, Tuan. Daniel akan aman di apartemen baru, dan tidak ada yang tahu tentang pembebasannya, kecuali orang-orang yang kita percayai.”
Mario mengangguk, puas dengan jawaban Devon. “Bagus. Aku berharap banyak padamu, Devon. Jangan kecewakan aku.”
Devon tersenyum tipis. “Tentu, Tuan. Anda bisa mengandalkan saya.”
Mobil kembali melaju, membawa mereka lebih dekat ke penjara, ke awal baru untuk Daniel, dan ke langkah berikutnya dalam rencana besar Mario.
Mobil berhenti perlahan di depan gerbang penjara. Mario keluar lebih dulu, diikuti Devon yang membuka pintu belakang untuknya. Di depan mereka, Daniel sudah berdiri dengan pakaian sederhana, membawa tas kecil yang tampak lusuh. Wajahnya terlihat tenang, meski ada bayangan kelelahan yang tak bisa disembunyikan.
Daniel menatap Mario sejenak, lalu melangkah mendekat. “Mario,” sapanya singkat, suaranya berat namun tegas.
Mario menyunggingkan senyum tipis. “Bagaimana rasanya menghirup udara bebas lagi, Daniel?” tanyanya dengan nada santai namun penuh makna.
Daniel menghela napas panjang sebelum menjawab. “Rasanya seperti terlahir kembali. Tapi aku tahu ini belum selesai. Kau bilang akan membantuku, jadi aku di sini,” jawabnya, matanya menatap Mario dengan penuh harapan sekaligus keraguan.
Mario mengangguk kecil. “Dan aku menepati janjiku. Kau akan tinggal di apartemenku yang lain. Aman, tenang, dan jauh dari perhatian siapa pun. Tapi ada satu hal yang harus kau tahu—Arnold belum boleh tahu kau bebas. Aku ingin memastikan segalanya berjalan sesuai rencana,” tegasnya, tatapannya berubah tajam.
Daniel mengangguk, meski ada sedikit keraguan di wajahnya. “Aku mengerti. Tapi bagaimana dengan Renaya? Apa kau akan segera memberitahunya bahwa aku adalah ayah kandungnya?”
Mario terdiam sejenak, kemudian menjawab, “Belum. Memberitahu Renaya butuh waktu. Dia harus siap untuk mendengar kebenaran ini, dan aku ingin memilih waktu yang tepat. Aku tak ingin dia terguncang.”
Daniel menunduk sejenak, lalu menatap Mario lagi. “Baiklah. Aku hanya ingin memastikan dia aman.”
Mario menepuk bahu Daniel. “Dia aman, Daniel. Dan selama dia berada di bawah perlindunganku, tak ada seorang pun yang bisa menyakitinya.”
Devon, yang berdiri di dekat mereka, menambahkan, “Semua sudah diatur, Tuan Daniel. Apartemen Anda sudah siap, dan tidak ada yang mengetahui lokasi Anda, termasuk Arnold.”
Daniel mengangguk lagi, matanya menunjukkan kepercayaan meskipun masih ada sedikit kekhawatiran. “Terima kasih, Mario. Untuk semuanya.”
Mario hanya tersenyum tipis. “Kau bebas sekarang, Daniel. Gunakan kebebasan ini untuk memulihkan dirimu. Kita punya banyak waktu untuk menyelesaikan semua ini.”
Mereka bertiga masuk ke mobil, dengan Daniel duduk di kursi belakang. Saat mobil melaju menjauh dari penjara, Daniel menatap keluar jendela, meresapi kenyataan bahwa lembaran baru dalam hidupnya baru saja dimulai. Sementara itu, Mario diam-diam menyusun langkah berikutnya dalam pikirannya.
**
**
**
Mario membuka pintu apartemennya dengan langkah berat setelah hari yang panjang. Begitu masuk, dia langsung disambut Renaya yang melompat ke arahnya dengan antusias, memeluk lehernya erat.
“Daddy dari mana saja? Aku kangen, tahu,” ujar Renaya dengan nada manja, wajahnya menempel di pipi Mario seperti koala yang tidak mau lepas.
Mario tersenyum kecil, meskipun tubuhnya lelah. Dia menggendong Renaya dengan mudah, membiarkan gadis itu bersandar di dadanya. “Daddy banyak pekerjaan hari ini, Baby. Tapi sekarang Daddy sudah di rumah, jadi tenang, ya.”
Renaya menatap Mario dengan mata berbinar, lalu mulai merajuk. “Daddy sibuk terus, aku jadi kesepian. Tadi aku lihat Kak Anne pun mulai bosan mengikutiku ke mana-mana.”
Mario terkekeh, membawanya ke sofa dan mendudukkan Renaya di pangkuannya. “Anne itu profesional, sayang. Dia nggak akan bosan menjagamu.”
“Tapi aku bosen, Daddy. Aku... Aku rindu sama Papi Arnold,” ucap Renaya, suaranya berubah lembut, mencoba membujuk. “Daddy, izinkan aku ketemu Papi, ya? Cuma sebentar...”
Wajah Mario berubah serius, meski tangannya tetap mengelus lembut rambut Renaya. “Renaya, Daddy sudah bilang, kamu tidak boleh menemui Arnold. Ini demi kebaikanmu.”
“Tapi kenapa? Dia itu Papiku, Daddy. Apa salahnya aku menemui Papi sendiri?” tanya Renaya, suaranya memelas.
Mario menghela napas panjang. “Daddy nggak melarangmu tanpa alasan. Arnold bukan orang yang bisa dipercaya. Daddy hanya ingin kamu aman, sayang.”
Renaya menggembungkan pipinya, jelas tidak puas dengan jawaban Mario. “Daddy nggak sedang menyembunyikan sesuatu, kan?” tanyanya penuh selidik, matanya menatap tajam ke arah Mario.
Mario tersenyum tipis, berusaha tetap tenang. Dia mengecup kening Renaya, lalu menjawab, “Tentu saja tidak, Baby. Daddy cuma ingin kamu bahagia dan jauh dari masalah. Lagipula, Daddy selalu ada di sini untukmu, kan?”
“Tapi...”
“Tidak ada tapi-tapian,” potong Mario dengan nada lembut namun tegas. “Kalau kamu rindu, Daddy akan mengajakmu pergi jalan-jalan besok. Mau ke mana? Shopping lagi?”
Renaya mendesah pelan, tapi akhirnya tersenyum kecil. “Kalau Daddy yang ajak, aku mau aja. Tapi tetap aja aku ingin ketemu Papi...” gumamnya, setengah merajuk.
Mario hanya menggeleng kecil, mengangkat dagu Renaya dengan jemarinya. “Percaya sama Daddy, ya. Semua ini untuk kebaikanmu.”
Meski masih terlihat enggan, Renaya akhirnya mengangguk pelan. “Oke, Daddy. Tapi kamu harus janji ngajak aku belanja barang yang aku mau besok!”
“Janji,” balas Mario sambil mencubit hidung Renaya pelan, membuat gadis itu tertawa kecil. Dia tahu, meskipun pembicaraan ini selesai untuk sementara, masalah ini belum benar-benar selesai.