Bagaimana perasaanmu jika teman kecilmu yang dahulunya cupu, kini menjadi pria tampan, terlebih lagi ia adalah seorang CEO di tempatmu bekerja?
Zanya andrea adalah seorang karyawan kontrak, ia terpilih menjadi asisten Marlon, sang CEO, yang belum pernah ia lihat wajahnya.
Betapa terkejutnya Zanya, karena ternyata Marlon adalah Hendika, teman kecilnya semasa SMP. Kenyataan bahwa Marlon tidak mengingatnya, membuat Zanya bertanya-tanya, apa yang terjadi sehingga Hendika berganti nama, dan kehilangan kenangannya semasa SMP.
Bekerja dengan Marlon membuat Zanya bertemu ayah yang telah meninggalkan dirinya sejak kecil.
Di perusahaan itu Zanya juga bertemu dengan Razka, mantan kekasihnya yang ternyata juga bekerja di sana dan merupakan karyawan favorit Marlon.
Pertemuannya dengan Marlon yang cukup intens, membuat benih-benih rasa suka mulai bertebaran dan perlahan berubah jadi cinta.
Mampukah Zanya mengendalikan perasaannya?
Yuk, ikuti kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velvet Alyza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lebih Dari Sekedar Asisten
Marlon menggeleng. "Entahlah, aku seperti pernah melihatnya, tapi aku lupa dimana tepatnya aku melihatnya. Jadi, aku lukis aja." Jawab Marlon.
Zanya menganggukkan kepala. "Oh, begitu..."
Zanya melihat lukisan lainnya, tidak terlalu istimewa, hanya beberapa pemandangan, sebuah lapangan, dan pohon-pohon.
"Anda ingin melelang semua ini?" tanya Zanya.
Marlon menganggukkan kepala." iya, semuanya. Aku mau mengosongkan lantai ini." jawab Marlon.
"Bolehkah saya membeli yang itu?" tunjuk Zanya ke lukisan gadis berbaju biru.
"Kenapa kamu mau membeli yang itu?" Tanya Marlon.
"Dulu waktu saya kecil, saya pernah punya baju favorit berwarna biru seperti itu. Melihat lukisan itu jadi serasa melihat diri saya di masa lalu." Jawab Zanya.
"Boleh aja, nanti aku bilang ke temanku supaya tidak melelang yang itu. Aku akan berikan gratis untuk kamu." Ujar Marlon.
"Terimakasih, Pak." ucap Zanya.
"Sebagai gantinya, ayo kita makan mie instan. Kamu pernah janji mau masak mie instan buat aku. Ayo, sekarang aja." Ujar Marlon.
Zanya tertawa kecil. "Kenapa lukisan itu murah sekali, Pak? Seharga mie instan." ujarnya.
"Iya, aku kan murah hati. Kamu beruntung punya bos seperti aku." Marlon menyombongkan diri.
"Kalau begitu, gaji saya bulan depan jangan dipotong untuk bayar sepatu lagi, ya, Pak." Kelakar Zanya.
"Oh, gak bisa! Itu kan kesalahan kamu, harus kamu tanggung sendiri, aku gak bermurah hati untuk itu." Balas Marlon sambil tersenyum.
"Masak mie nya di mana, Pak?" Tanya Zanya setelah mereka keluar dari lift di lantai 20.
"Di tempat kamu lah... Di tempat aku mana ada mie instan." Jawab Marlon
"Siapa tau Anda mau makan di tempat Anda, karena di tempat saya ruang makannya agak sempit." Ujar Zanya.
"Gak perlu, dapurku jangan sampai terkontaminasi makanan yang gak sehat seperti itu." Ujar Marlon.
Zanya berdecih. "Udah tau gak sehat, tapi ngebet banget pengen nyobain makan mie instan." Gumamnya sambil membuka pintu kediamannya.
"Apa? Kamu bilang apa barusan?" tanya Marlon.
"Oh, gak kok, Pak." Jawab Zanya cengar cengir.
Setelah masuk, Zanya membuka blazernya dan menyimpannya di kamar. Setelah itu ia ke dapur sambil menyingsingkan lengan kemejanya hingga ke siku, lalu mulai mempersiapkan alat masak serta mie instan.
Marlon mendekati Zanya yang mulai memasak.
"Aku mau liat cara masaknya." Ujar Marlon.
"Cukup ikuti cara yang ada di sini." Zanya menunjuk petunjuk memasak di bungkus mie instan.
Marlon mengambil bungkus mie instan dari tangan Zanya, lalu melihatnya. "Ah, gampang, biar aku coba." ujarnya.
Zanya mengangkat alis sebelah. "Anda yakin?" tanyanya.
Marlon membuka jasnya, lalu dasinya, dan memberikannya pada Zanya. Kemudian menggulung lengan bajunya hingga siku. Ia membaca petunjuk dengan sungguh-sungguh.
"Mana guntingnya?" tanyanya saat ia melihat di sekitarnya tidak ada gunting.
"Untuk apa?" tanya Zanya yang sedang menyimpan jas dan dasi Marlon di sofa.
"Untuk buka kemasannya." Jawab Marlon.
Zanya tersenyum mengejek. "Membuka bungkus mie instan gak perlu gunting, lihat saya." Zanya membuka bungkus mie itu dengan merobek bagian ujungnya.
Marlon mendengus, lalu mengambil kembali mie instan dari tangan Zanya. Ia kembali membaca petunjuknya.
"Kenapa ada telur? Di petunjuknya gak ada telur." Tanya Marlon.
"Telur itu opsional, Pak. Tergantung selera." Jawab Zanya.
"Lalu kapan memasukkan telurnya?" tanya Marlon.
"Pak, boleh gak saya aja yang masak? Kayaknya gak selesai-selesai kalau Anda yang masak." Ujar Zanya sambil menggaruk kepala.
"Baiklah, biar aku lihat aja." Jawab Marlon sambil memberikan mie instan kepada Zanya.
"Pak, tau gak? Mie instan itu selalu jadi penyelamat anak kost." Ujar Zanya sambil memasak.
"Kenapa bisa gitu?" Tanya Marlon.
"Karena anak kost itu sering kekurangan uang, kalau sedang tidak punya uang, maka mie instan adalah solusi kalau lapar. Karena mie instan murah, mudah di olah, dan bikin kenyang." Ujar Zanya.
"Kenapa mereka gak beli makanan biasa aja, alih-alih masak mie instan?" tanya Marlon tak mengerti.
"Karena gak ada makanan yang mengenyangkan yang lebih murah daripada mie instan. Dengan 2 ribu sampai dengan 3 ribu rupiah, kita bisa beli mie instan dan kenyang." Jawab Zanya.
Marlon membelalakkan matanya. "Apa?? Ini harganya 2 ribu sampai dengan 3 ribu aja? Wahh..." Marlon memegang bungkus mie instan yang sudah kosong dan menatapnya dengan tidak percaya, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Zanya ikut menggeleng-gelengkan kepala. "Dasar orang kaya..." Gumamnya.
"Kasian sekali ya jadi anak kost..." Ujar Marlon sambil termenung.
"Tapi jadi anak kost itu seru, Pak. Entah kenapa selalu ada rasa kangen dengan masa-masa seperti itu." Ujar Zanya.
"Kangen dengan masa-masa susah maksudnya? Aneh sekali." Protes Marlon.
"Anda gak pernah ngerasain jadi anak kost sih... Coba sesekali anda menyamar, pura-pura jadi orang susah, berbaur dengan orang-orang biasa yang tinggal bersama di tempat kost." Ujar Zanya.
Marlon berdecih. "Untuk apa? Aku punya semua yang aku butuhkan di sini. Lagipula anak kost itu kan orang-orang yang tinggal terpisah dari orangtua. Aku juga tinggal di sini sudah lebih dari 2 tahun, secara teknis aku juga anak kost." Ujarnya.
"Gak, Pak. Beda dong..." Protes Zanya sambil tertawa. "Kalau anak kost biasanya nyuci baju sendiri, nyetrika sendiri, ada beberapa yang masak sendiri karena mau hemat, bersih2 ruangan sendiri, pokoknya mandiri lah, gak bergantung pada orang lain. Dulu ada teman saya yang orang kaya, kost di jakarta karena orangtuanya di kota lain, dia juga sama seperti anak kost pada umumnya, mandiri, semua dia kerjakan sendiri." Lanjutnya.
"Oh... Jadi, menurut kamu anak kost itu keren?" tanya Marlon.
"Kalau cowok pernah kost, biasanya dia tumbuh jadi pria dewasa yang mandiri, yang gak patriarki, dan bermental kuat serta pengertian, pokoknya suamiable lah..." Ujar Zanya sambil menuang mie ke mangkok.
Selesai makan, Marlon bersiap pulang ke kediamannya.
"Mari saya antar, Pak." Ujar Zanya sambil membawakan jas Marlon.
"Tidak usah, Aku bisa sendiri." Tolak Marlon.
"Biar jasnya saya gantung di lemari baju kotor, Pak." Zanya berjalan keluar dari kediamannya, hendak ke kediaman Marlon.
"Gak perlu, biar aku sendiri. Mulai sekarang kamu gak perlu urus pakaianku lagi, aku bisa sendiri." Tolak Marlon sambil mengambil jas dari tangan Zanya, kemudian ia berjalan menuju kediamannya.
"Ih, kenapa dia? Tadi pagi, bilang gak mau dibangunin lagi, mau berusaha bangun sendiri, dan sekarang gak mau dibantu nyimpan pakaiannya... Apa dia pengen jadi anak kost yang sesungguhnya? Ah, terserah lah, toh kerjaan gue jadi berkurang." Zanya bicara sendiri.
Marlon membuka lemari pakaian kotornya, kemudian menggantung jasnya, lalu ia melihat ke bawah, dilihatnya keranjang pakaian kotornya yang berisi baju-baju dan beberapa pakaian dalam, seketika ia tertegun.
"Selama ini dia melihat ini? Dia melihat semua ini?!" tanyanya sambil terus menatap keranjang itu dengan wajah tertekan.
***
Radit dan Zanya fokus dengan pekerjaan mereka, Radit sedang mempersiapkan bahan meeting dengan Pak Rangga, sang COO Great corp, sedangkan Zanya sedang mengerjakan perintah Marlon u tuk mengirim email ke beberapa orang.
"Dit, Pak Marlon tadi pagi lu bangunin gak?" Tanya Zanya yang tiba-tiba teringat perubahan Marlon kemarin.
"Ya iya lah...! Emang kenapa?" Radit balik bertanya.
"Waktu lu datang, dia belum bangun?" tanya Zanya.
"Iya, kayak biasanya..." Jawab Radit. "Emang kenapa sih?" tanyanya kemudian.
"Kok dia gak mau dibangunin sama gue ya? terus dia juga gak mau dibantu rapihin tempat tidur, dan semalam dia juga gak mau gue bantu simpan baju kotornya. Aneh gak sih?" tanya Zanya.
Radit tertawa. "Ya iyalah... Dia kan suka sama elu." Ujarnya.
"Huuusss...! Sembarangan aja lu, nanti ada yang dengar, dikira beneran." Zanya bersungut-sungut.
"Eh, Za! Gue ini cowok, gue tau banget gelagat cowok yang suka sama cewek, dan gelagat Pak Marlon itu nunjukin bahwa dia suka sama elu. Dasar elu aja gak peka!" Ujar Radit.
"Sok tau ah!" ujar Zanya.
"Dengar nih, Za! Coba lu ingat, waktu awal elu kerja, dia kan cuek aja, karena dia menganggap elu cuma asisten.
Nah, kenapa dia sekarang gak mau lu masuk-masuk kamar dia, dan ngurusin baju kotor dia? Karena dia mulai menganggap elu lebih dari seorang asisten. That's it." Ujar Radit dengan wajah serius.
"Gak, gue gak percaya." Zanya melanjutkan pekerjaannya lagi.
"Permisi...! Marlon ada di dalam?" suara seorang wanita mengejutkan Radit dan Zanya.
"Oh, iya, Bu. Beliau ada di dalam..." Jawab Zanya setelah sadar bahwa wanita itu adalah Mama Marlon.
"Oh iya, kamu yang menemukan antingku, ya?" tanya Fenty sambil tersenyum.
"I-iya, Bu..." Jawab Zanya.
"Terimakasih, ya... Saya belum sempat mengucapkan terimakasih secara langsung." Ujar Fenty.
"Ah, iya, Bu... Terimakasih juga atas gelang yang Anda berikan untuk saya." Ucap Zanya.
"Ah... Itu gak seberapa dibanding anting yang kamu temukan itu... Oh, iya, siapa nama kamu?" Tanya Fenty.
"Nama saya Zanya, Bu..." Zanya menjawab.
Fenty tertegun. "Zanya...? Nama lengkap kamu?" Tanya Fenty lagi.
"Nama lengkap saya, Zanya Andrea, Bu" Jawab Zanya.
Fenty mengernyit. "Zanya Andrea....?" Bisiknya pelan.
Kelamaan Up gua sedot Ubun² lu thor /Facepalm/