Di tengah gelapnya kota, Adira dan Ricardo dipertemukan oleh takdir yang pahit.
Ricardo, pria dengan masa lalu penuh luka dan mata biru sedingin es, tak pernah percaya lagi pada cinta setelah ditinggalkan oleh orang-orang yang seharusnya menyayanginya.
Sementara Adira, seorang wanita yang kehilangan harapan, berusaha mencari arti baru dalam hidupnya.
Mereka berdua berjuang melewati masa lalu yang penuh derita, namun di setiap persimpangan yang mereka temui, ada api gairah yang tak bisa diabaikan.
Bisakah cinta menyembuhkan luka-luka terdalam mereka? Atau justru membawa mereka lebih jauh ke dalam kegelapan?
Ketika jalan hidup penuh luka bertemu dengan gairah yang tak terhindarkan, hanya waktu yang bisa menjawab.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Selina Navy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28.
Keberuntungan memihak pada Adira. Heriberto yang tadi pergi pun kembali. Perasaan nya cemas dan gugup. Dia merasa sesuatu yang buruk telah terjadi. Terutama setelah ia mengetahui bahwa perintah untuk menjemput Ricardo di bandara tak pernah ada. Ini seperti jebakan untuk menjauhkan dirinya dari Adira.
"Sial! Siapa yng menjebak ku!" kesal Heriberto.
Dengan langkah cepat, Heriberto menuju ke ruangan Adira. Berniat memastikan keamanannya.
"Pada kemana semua orang?," ujar Heriberto semakin panik mendapati tak ada penjaga satu pun yang terlihat.
Heriberto pun terus berjalan. Dan saat ia mendekati tangga, matanya langsung terpaku pada pemandangan yang mengerikan. Ia melihat Adira tergelincir jatuh dari atas tangga. Tubuhnya terhempas ke bawah, sementara Salvatore yang bengis menghampirinya.
"Sialan!" Heriberto mengumpat keras. Darahnya mendidih dan matanya menyala penuh amarah.
Tanpa berpikir panjang, Heriberto berlari dengan kecepatan penuh. Menuju Salvatore yang sedang menghampiri Adira.
Di tengah kemarahan nya, Heriberto berteriak lantang dalam bahasa spanyol. Memanggil orang-orang yanh ada di dalam markas.
"Keluar kalian semua sialan!" panggil Heriberto memecah keheningan. Menggema di seluruh lorong.
Tiba-tiba, markas yang tadinya sepi mendadak penuh dengan orang-orang yang datang dari dalam ruangan-ruangan yang tertutup.
Salvatore yang mendengar teriakan Heriberto pun panik. Ia tak menyangka kedatangan Heriberto akan secepat itu. Ekspresi wajahnya berubah dari puas menjadi khawatir. Heriberto melangkah ke arahnya dengan amarah yang begitu besar.
Salvatore pun balik badan. Ia mulai melarikan diri menaiki tangga dengan langkah terpincang-pincang. Sementara Heriberto terus berlari mengejar Salvatore. Meninggalkan Adira yang masih berjuang melawan rasa sakit di dasar tangga.
Sementara itu Adira yang masih terbaring merasakan rasa sakit yang luar biasa ditubuhnya. Beberapa dari orang Ricardo, bergegas berlari menyusul Heriberto. Sementara yang lainnya langsung berlari menuju Adira.
Tanpa banyak bicara, mereka membantu Adira yang masih kesakitan, memapahnya perlahan kembali naik ke atas, menuju ruangan Ricardo. Adira berusaha menahan rasa sakit, tubuhnya masih gemetar setelah insiden yang baru saja terjadi.
Saat melewati lorong, mata Adira menangkap pemandangan yang membuatnya sedikit lega. Salvatore telah ditangkap. Heriberto dengan wajah penuh amarah memimpin penangkapan itu. Menyeret Salvatore yang meronta-ronta, masuk ke dalam ruangan yang tak jauh dari situ. Salvatore, yang tadi begitu percaya diri, kini tampak tak berdaya.
Adira akhirnya berhasil dibawa masuk ke ruangan Ricardo. Suasana ruangan kini terasa jauh lebih aman dengan banyaknya penjaga yang berjaga di depan pintu.
Tubuhnya yang lemah terduduk lemas di sofa dekat jendela, menghirup napas panjang sambil memegangi bagian tubuh yang masih terasa sakit akibat jatuh dari tangga. Tak lama setelah itu, Heriberto masuk ke dalam ruangan, menutup pintu dengan cepat.
Tanpa berkata apa-apa, Heriberto duduk di samping meja kerja Ricardo. Menghantuk kan belakang kepalanya ke meja, mengumpat dirinya sendiri, penuh penyesalan.
"Bodoh! Bodoh!." maki Heriberto pada diri sendiri.
Melihat Heriberto yang terus-menerus menghantukkan kepalanya ke meja, Adira tak tahan lagi. Ia merasa perlu menghentikan tindakan Heriberto itu.
"Apa yang kau sesali? Salvatore sudah tertangkap," ucap Adira, suaranya terdengar lemah.
Heriberto menghentikan gerakannya. Dia menatap Adira dengan pandangan penuh beban, "Ini bukan hanya tentang Salvatore yang tertangkap," jawabnya dengan nada rendah.
"Aku telah gagal menjaga orang yang paling penting bagi Ricardo. Aku sudah tak amanah. Itu kesalahan yang tidak bisa dimaafkan." lanjut Heriberto.
Adira pun terdiam, menyimak.
"Aku berutang budi pada Ricardo. Dia telah menyelamatkan keluargaku. Seumur hidupku, aku telah berjanji untuk mengabdikan diriku padanya. Tapi bagaimana aku bisa menebus janji itu kalau aku bahkan tak bisa menjaga orang yang paling penting bagi Ricardo?."
Heriberto terdiam sejenak, lalu melanjutkan,
"Aku hanya berharap Ricardo bisa memaafkanku. Dan kau, aku bersyukur kau masih selamat."
"Ya, Aku besyukur bisa selamat. Terimakasih kau sudah datang tepat waktu."
Heriberto hanya diam.
"Lalu? Bagaimana ceritanya? Kenapa kau bisa berutang budi pada Ricardo?."
Heriberto mengambil napas dalam-dalam sebelum mulai bercerita, hendak mengumpulkan semua kekuatan untuk membuka kisah pahit yang selama ini disimpannya.
"Tiga tahun yang lalu, saat aku berusia 24 tahun, hidupku sangat berbeda. Aku punya adik perempuan yang sangat kusayangi. Ia baru saja tamat SMA. Kami hidup dengan sederhana dan keadaan semakin sulit ketika ayahku jatuh sakit," ungkap Heriberto.
"Untuk biaya pengobatan ayah, kami terpaksa berhutang kepada agen pinjaman uang di perusahaan El Patron. Aku hanya lah seorang kurir dan buruh pabrik, pekerjaan ku tidak cukup untuk melunasi hutang dan bunga yang terus membengkak." lanjut Heriberto dengan suara serak.
Adira mengerti jelas rasanya. Ia bisa merasakan beban yang dipikul Heriberto.
"Karena kami tidak bisa membayar, mereka mengambil paksa adik ku untuk dijual," Heriberto melanjutkan, suara nya dipenuhi amarah dan rasa sakit.
"Aku mengikuti mereka sampai ke rumah El Patron. Namun, di gerbang, aku dipukuli oleh orang-orangnya."
"Saat itu, aku hampir mati. Dalam keadaan sekarat, aku memegangi pergelangan kaki seorang pria yang lewat, memohon agar dia mengembalikan adikku."
"Pria itu adalah Ricardo. Dia menendang tanganku, dan aku pikir aku akan mati di sana.
Namun, aku tak tahu bagaimana. Tiba-tiba aku terbangun di rumah sakit dengan adikku di sampingku."
Adira terkejut, tidak bisa membayangkan betapa mengerikannya pengalaman itu.
"Ricardo...Ternyata dia menyamar sebagai orang yang akan membeli adikku di pelelangan perdagangan wanita. Dia menyelamatkan adikku dan membiayai biaya rumah sakitku juga." lanjut Heriberto, menatap Adira dengan mata penuh rasa syukur.
"Sejak saat itu, aku berjanji untuk mengabdikan hidupku pada Ricardo. Aku merasa berutang budi seumur hidupku kepada nya. Aku ingin melakukannya sebaik mungkin. Tapi sial! aku gagal!." ujar Heriberto sambil kembali mengutuki dirinya dan menghantukkan kepala nya ke meja.
Setelah mendengarkan kisah panjang dari Heriberto, Adira merasakan campuran emosi yang mendalam. Hubungan Ricardo dan Heriberto tampak begitu kuat.
"Kau istirahat lah," ucap Heriberto tiba-tiba.
“Ricardo pasti tak senang melihatmu dalam keadaan seperti ini. Dia sudah dalam perjalanan pulang sekarang. Beberapa jam lagi dia pasti sampai.” jelas Heriberto.
Namun, Adira menggelengkan kepala nya. Matanya bersinar penuh tekad.
“Tidak, aku tak bisa istirahat. Aku ingin menunggu Ricardo saja." jawabnya, suara lembut namun tegas.
Keinginan untuk melihat Ricardo di hati nya begitu kuat. Ia juga ingin memastikan bahwa Ricardo dapat kembali dalam keadaan baik-baik saja.
Heriberto menggelengkan kepalanya melihat sikap keras kepala Adira.
"Kau ini." kata Heriberto.
Fokus Adira kini hanya tertuju pada pintu. Setiap kali ada suara langkah, hatinya berdebar, berharap itu adalah langkah kaki Ricardo.
.
.
.
Bersambung...
(ehemmm/Shhh//Shy/)