Almira Sadika, terpaksa harus memenuhi permintaan kakak perempuannya untuk menjadi madunya, istri kedua untuk suaminya karena satu alasan yang tak bisa Almira untuk menolaknya.
Bagaimana perjalanan kisah Rumah tangga yang akan dijalani Almira kedepannya? Yuk, ikuti terus kisahnya hanya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Shine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 06
Usai bermain dengan ingatannya, Sebastian pun segera bangkit menuju kamar mandi hanya untuk sekedar menatap pantulan dirinya dalam cermin."Aku baru berusia tiga puluh satu tahun, apa iya aku setua itu untuk menjadi pasangan, Almira? Almira saat ini dua puluh lima tahun, hanya terpaut enam tahun.. Tidak masalah, bukan..?!" Ucap Sebastian yang bermonolog dengan dirinya sendiri. "Tapi, bagaimana jika benar kata, Papa! Almira justru menemukan pria lain yang lebih muda di luaran sana?? Tidak, tidak. Itu tidak boleh terjadi. Almira adalah istriku, dan selamanya akan menjadi istriku. Haaa... Semenjak hari itu, aku merasa sikap ku sangat keterlaluan padanya," lanjutnya yang tiba-tiba kalang kabut sendiri. "Aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku, dan segera pulang," sambungnya, dan buru-buru keluar dari kamar mandi.
Saat baru membuka pintu, Sebastian mendapati sekertaris nya tengah berdiri di depan meja kerjanya.
"Ada apa Kau, kemari?" tanyanya dengan tatapan curiga.
"Ini, Tuan," ucap si sekertaris sembari mengulurkan beberapa berkas ditangannya ke depan Sebastian. "Saya disuruh tuan Steven untuk menyerahkan berkas-berkas ini pada Tuan Sebastian," lanjutnya.
"Astaga..! Sepertinya papa sengaja menambah pekerjaanku," ucap Sebastian dalam hatinya saat melihat setumpuk berkas yang berada di tangan sekertaris nya.
"Baiklah, kau letakkan saja di sana," tunjuk Sebastian ke arah mejanya.
Dengan patuh, sekertaris tersebut menaruh berkas-berkas tersebut ke tempat yang ditunjuk Sebastian. "Sudah, Tuan. Saya permisi," ucap sekertaris tersebut.
"Tunggu, Sonal!" Panggil Sebastian saat sekertaris nya baru membalikkan badan.
"Iya Tuan, kenapa? Apa ada yang bisa saya bantu?" Tanya sekertaris tersebut yang bernama Sonal setelah kembali membalikkan tubuhnya menghadap sang atasan.
"Ya!" seru Sebastian cepat. "Apa Kau bisa membantu menyelesaikan semua itu," tunjuk Sebastian pada berkas yang dibawa Sonal tadi. "Jika Kau bisa.. Maka saya akan memberikan bonus untukmu," lanjutnya.
"Tapi kata Tuan Steven.. Harus Anda sendiri yang melakukannya!" Ujar Sonal dengan perasaan tak enak.
"Sudah kuduga..! Papa pasti sengaja melakukan ini semua," batin Sebastian.
"Ya.. Kau jangan beritahu tuan Steven!" Tawar Sebastian.
"Maaf Tuan. Tapi tuan Steven berkata.. Akan mengawasi saya dua puluh empat jam. Dan jika saya ketahuan membantu Anda, maka karir saya yang akan terancam," ucap Sonal.
"Ya sudah, pergilah sana! Disini pun Kau tak ada gunanya," usir Sebastian seraya menghela nafas frustasi.
"Sekali lagi maaf, Tuan," ucap Sonal yang tak mendapat respon dari Sebastian. Sebelum benar-benar pergi, Sonal yang tadinya sudah berbalik badan kembali menghadap Sebastian.
"Ada apa? Mengapa tak jadi pergi?!" Ketus Sebastian.
"Tuan Steven berkata agar berkas tersebut harus dikerjakan dan selesai hari ini juga," ucap Sonal. "Permisi."
"Papa..!!!!" Teriak Sebastian setelah Sonal sudah benar-benar pergi dari ruangannya, saking geramnya.
Untung saja ruangannya kedap suara, jadi tak sampai membuat kegaduhan di kalangan karyawan yang satu lantai dengannya.
Sementara di ruangan lain.. Papa Steven tengah tertawa puas usai mendengar informasi dari Sonal si sekertaris yang ditugaskan untuk mengantarkan berkas-berkas perusahaan pada Sebastian. "Tidak semudah itu, Bastian..! Setelah Kau menyadarinya maka Kau harus papa beri sedikit ujian," ucapnya.
***
"Kak..." panggil Almira sembari membuka pintu kamar Cassandra yang tak tertutup rapat.
"Al..! Masuklah," sapa Cassandra seraya buru-buru menaruh kembali barang yang sedari tadi dirinya gunakan, dan itu tak luput dari perhatian Almira. Dan jangan lupa, mata sembab juga jejak air mata yang masih tercetak jelas di pipi Cassandra. "Duduklah, Kakak akan segera kembali," lanjutnya, namun segera dicegah oleh Almira dengan cara mencekal pergelangan tangannya.
Almira segera menarik tubuh Cassandra dan memeluknya. "Kakak... Masih ada aku... Kenapa Kakak harus menyimpannya sendiri, hem? Apa Kakak tak lagi menganggap Al sebagai adik lagi? Apa karena Al sekarang menjadi madu Kakak, iya..?" Ucapnya, yang seketika membuat Cassandra tak kuasa untuk menyembunyikan tangisnya. "Menangislah, Kak.., Menangislah."
"Sakit Al... Sakit..., Kakak rasanya sudah tak kuat lagi menanggung rasa sakit ini, Al..., Kakak capek.. Kakak lelah terus terusan minum obat yang nyatanya tak bisa menyembuhkan penyakit yang Kakak derita.., Kakak sakit... Kakak lelah dan capek... Kakak tidak sanggup lagi, Al..."
"Ssstt... Kakak jangan menyerah. Al yakin, Kakak kuat. Bukankah Kakak ingin melihat keturunan dari Kak Tian?? Lalu bagaimana caranya Kakak bisa melihatnya.. Jika Kakak sendiri menyerah seperti ini.., Al yakin, pasti akan ada obat dari langit yang bisa menyembuhkan segala penyakit yang kata dokter tak ada obatnya. Dan Al juga yakin, jika kakak kuat... Maka tidak hanya akan melihat, tapi Kakak akan juga merawat darah daging Kak Tian, nantinya. Jadi, Kakak harus kuat ya Kak, ya..., demi Al, dan demi semua orang yang menyayangi juga mencintai, Kakak," tutur Almira mencoba untuk menenangkan dan memberikan semangat sang kakak untuk terus hidup, dan berusaha sekuat tenaga agar tak sampai menjatuhkan air mata yang siap lolos dari pelupuknya agar tak semakin membuat sang kakak semakin lemah.
Cassandra pun mengangguk pelan beberapa kali sebelum berucap, "Terima kasih, Adikku. Rupanya aku telah salah menduga, Kau bukan lagi adik kecilku. Tapi kini Kau lebih dewasa dariku. Terima kasih," ucapnya sembari kembali memeluk tubuh Almira.
"Al..." panggil Cassandra setelah beberapa saat terdiam.
"Iya Kak.. Kenapa? Katakan saja.. Jangan dipendam," ujar Almira.
Cassandra tak langsung berucap, melainkan hanya bergumam sembari menggigit bibir bawahnya.
"Kakak... Katakanlah," ucap Almira sembari menggenggam tangan Cassandra.
"Tapi Kau jangan marah."
"Iya... Ada apa sih?? Bikin Al penasaran saja!"
"Apakah sudah ada tanda-tanda?" tanya Cassandra.
"Tanda-tanda? Maksudnya?" tanya Almira karena tak mengerti.
"Maaf Al..., maaf jika Kakak terkesan buru-buru dan menekan mu. Tapi Kakak tak tahu umur Kakak akan sampai kapan.." ucap Cassandra dengan wajah murung dan sedih.
Dan akhirnya Almira pun mengerti arah dari ucapan kakaknya itu.
Almira terdiam sejenak, mencoba memikirkan kata apa yang tepat sehingga tak menyakiti hati sang kakak maupun dirinya sendiri.
"Maafkan Al, Kak... Sepertinya yang kuasa masih belum percaya pada Al untuk menerima tanggung jawab itu... Maaf," Dan akhirnya kata itulah yang keluar dari mulut Almira.
"Iya.. Tak apa. Mungkin bukan takdir Kakak melihat anak Bastian," ucap Cassandra lesu.
"Kak Sandra bicara apa sih! Dengarkan Al, Kak.., Al dan Kak Tian akan terus berusaha, oke. Jadi Kakak tenang saja," ucap Almira, dan yang beberapa kalimat terakhirnya membuat wajahnya kian memanas. Bagaimana tidak, jangankan sampai melakukan apa yang diucapkannya, berusaha?? Membayangkannya saja Almira sepertinya tak sanggup. "Sebaiknya Kakak istirahat. Tidak usah banyak pikiran. Al tinggal, ya..., istirahatlah," lanjutnya, dan langsung pergi meninggalkan Cassandra yang tengah berbaring.
"Semoga secepatnya Kau akan hamil, Al," gumam Cassandra sembari menatap kepergian Almira.
***
"Bagaimana ini. Disisi lain kak Sandra sudah sangat ingin melihat anak kak Tian, tapi disisi lain... Aku belum siap... Kak Tian juga sepertinya..." Almira men jeda sejenak ucapannya. "Tidak, aku menikah dengan kak Tian karena demi kak Sandra. Maka sekarang pun... Siap tidak siap, aku harus siap. Demi kakak. Ya benar!" Lanjutnya yang tiba-tiba menggebu.
"Tapi, bagaimana caranya aku berbicara dan berinteraksi dengan kak Tian? Sedangkan dia beberapa hari ini bersikap dingin dan memandangku seolah aku tak ada," ucapnya dengan sedih mengingat beberapa hari ini tak ada sapaan hangat dari Sebastian untuknya seperti dulu.
"Ah, sebaiknya itu ku pikirkan nanti saja." Usai mengucapkan kalimat tersebut, Almira segera bangkit dari duduknya dan berjalan menuju lemari pakaian. Diraihnya salah satu pakaian yang dirinya sisihkan di sudut paling bawah lemari dan mengangkat tinggi pakaian tersebut tepat di depan wajahnya. "Apa iya aku harus memakai pakaian ini??" Pakaian yang tak layak disebut pakaian. Pakaian yang sepertinya jika ditarik, sekali tarikan saja akan langsung robek saat itu juga. Membuat Almira menghela nafas dan kembali melemparkan pakaian yang katanya memiliki sebuah nama, Lingerie. "Lihat nanti sajalah! Siapa tahu kak Tian juga belum siap," lanjutnya, dan segera merebahkan diri untuk istirahat siang. Mengistirahatkan tubuh yang hampir setengah hari ini telah lelah mengerjakan ini dan itu.
***