Gracella Eirene, gadis pendiam yang lebih suka bersembunyi di dunia imajinasi, Ia sering berfantasi tentang kehidupan baru, tentang cinta dan persahabatan yang tak pernah ia rasakan. Suatu hari, ia terpesona oleh novel berjudul 'Perjalanan cinta Laura si gadis polos', khususnya setelah menemukan tokoh bernama Gracella Eirene Valdore. Namun, tanpa ia sadari, sebuah kecelakaan mengubah hidupnya selamanya. Ia terbangun dalam dunia novel tersebut, di mana mimpinya untuk bertransmigrasi menjadi kenyataan.
Di dunia baru ini, Gracella Eirene Valdore bertemu dengan Genta, saudara kembarnya yang merupakan tokoh antagonis utama dalam cerita. Genta adalah musuh tokoh utama, penjahat yang ditakdirkan untuk berakhir tragis. Gracella menyadari bahwa ia telah mengambil alih tubuh Grace Valdore, gadis yang ditakdirkan untuk mengalami nasib yang mengerikan.
- Bisakah Gracella Eirene Valdore mengubah takdirnya dan menghindari nasib tragis yang menanti Grace Valdore?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afizah C_Rmd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 29
Udara di kantor kepala sekolah terasa berat, seperti beban yang menekan dada Grace. Ia duduk di kursi, tangannya mengepal erat, menatap lurus ke depan. Suara detak jantungnya bergema di telinganya, mengingatkannya pada betapa tegangnya situasi ini.
"Grace, kamu dipanggil ke sini karena tindakanmu di lapangan voli kemarin," kata Pak Hendra, kepala sekolah, suaranya terdengar datar dan resmi. "Kami telah menerima laporan dari Pak Joshua dan juga dari orang tua Laura."
Grace menelan ludah, matanya beralih ke arah pintu. Di sana, berdiri orang tua Laura, wajah mereka dingin dan penuh amarah. Mereka adalah orang tua kandung Rene sendiri, yang selama ini tidak pernah di temui sejak Rene dibawa keluar oleh Genta.
"Grace, oh jadi kamu yang telah membuat anak kesayangan saya harus masuk rumah sakit, kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu," ujar Ibu Laura, suaranya tajam dan menusuk. "Kamu sengaja kan melukai Laura, kamu ingin menyingkirkannya, kan?"
'Rene, mending lo deh yang hadapin orang tua kandung lo ini. Gue gak tau harus gimana?' Tanya Grace pada Rene dalam pikirannya, memohon. Sungguh, ia sangat malas menghadapi kedua orang tua itu.
'Oke, lo tenang aja,' jawab Rene.
'Hmm, jangan buat kacau semuanya kayak kemarin dan buat alur cerita sejalan aslinya. Gue gak mau itu,' pinta Grace.
'Iya iya, cerewet,' balas Rene.
Rene, kemudian mengambil alih tubuh Grace, menatap tajam ke arah orang tua Laura. "Saya tidak sengaja," jawab Grace, suaranya terdengar dingin dan ketus. "Itu hanya kecelakaan."
"Kecelakaan? Itu jelas disengaja!" teriak Bapak Laura. "Kamu selalu iri pada Laura, kamu ingin mengambil tempatnya di keluarga ini, kan?"
Grace merasa tubuhnya bergetar. Ia tidak bisa menahan amarah yang membara dalam dirinya. "Cih, iri pada Laura! Itu gak akan pernah. Mungkin anak anda itu kali yang iri, makanya merebut tempat saya di keluarga Valdore padahal cuma anak pungut. Ups," ejek Rene, suaranya penuh sarkasme.
"Sialan, berani sekali sama orang tua, tidak ada sopan santunnya sama sekali. Menyesal saya melahirkan anak seperti kamu," kata Ibu Laura dengan nada penuh amarah.
Sakit itulah yang dirasakan Rene, mendengar ucapan menyesal Ibu kandung sendiri. "Hehe, saya juga menyesal lahir dari perut ibu yang kejam pada anaknya kandungnya sendiri, bahkan memilih anak pungut," balas Rene dengan nada mengejek.
Deg deg deg, entah kenapa Sahila, ibu kandung Grace, merasa sakit, tetapi memilih abai.
"Jaga ucapan kamu anak sialan, anak tidak tau aturan," bentak Abran, ayah kandung Grace.
"Heh, tidak ada aturan anak sialan. Hahaha, iya, saya anak sialan yang tidak pernah dipedulikan oleh orang tua kandungnya, bahkan disakiti dan dipukul," kata Rene, suaranya bergetar menahan air mata.
Sakit, itulah yang Rene rasakan. Ia berusaha tetap tenang dan tegar menahan air mata yang selalu ingin jatuh. Butuh banyak keberanian baginya untuk menjawab ucapan orang tua yang sangat ia cintai dan sayangi, tetapi tidak untuk dirinya.
Suasana di kantor kepala sekolah semakin menegang. Udara terasa dingin dan lembap, seolah-olah ruangan itu menahan amarah yang terpendam. Pak Hendra, kepala sekolah, duduk di kursinya, keringat dingin membasahi dahinya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa terdiam, menyaksikan pertikaian keluarga Valdore yang semakin memanas.
Tiba-tiba, pintu terbuka dengan keras dan Genta masuk. Ia melihat Grace yang menahan tangis sedang bertengkar dengan orang tuanya, wajahnya menunjukkan amarah yang terpendam. "Kalian, kalian pasti menuduh Grace!" teriak Genta, suaranya bergetar. "Kalian selalu begitu, persis seperti dulu," ucap Genta dingin, matanya menyala dengan api amarah.
Genta menghampiri Grace, ia memeluk tubuh Grace berusaha menenangkan adiknya. "Grace, aku di sini untuk membantumu," kata Genta, suaranya bergetar. "Aku tahu kamu tidak bersalah."
Rene, yang merasakan kehadiran Genta, menarik napas dalam-dalam. "Genta, kamu tidak perlu ikut campur," bisiknya.
"Ikut campur, Heh, kamu lupa aku juga bagian dari keluarga Valdore, kakak kembar kamu," jawab Genta tajam. "Lama tidak berjumpa, kamu semakin berani pada kami, orang tua kandungmu sendiri."
"Heh, dengar, sejak saya dan Grace keluar dari mansion Valdore, saya tidak pernah lagi menganggap kalian orang tua kandung yang tidak becus dan lebih membela anak haram," kata Genta dingin dan kejam.
"Apa maksudmu anak haram, Genta? Laura anak angkat yang sudah seperti anak kandung bagi kami. Kamu pasti dihasut anak sialan itu, kamu harus sadar dan kembali bersama kami yah," bujuk Sahila lembut. Jujur saja, ia masih menyayangi anak lelaki keduanya ini.
"Kembali, oh astaga, anda pikir saya mau? Mimpi," ucap Genta dingin dan kejam. Sejak hari dimana ibunya mulai mengabaikan Grace, rasa sayangnya pada ibunya sudah mulai berkurang. Ditambah ibunya dengan kejam, memfitnah dan melukai adiknya Grace, hatinya semakin baku pada ibunya. Baginya, hanya Grace, adiknya, dan keluarga yang sangat ia sayangi dan cintai, ibunya hanya nomor dua. Maka dari itu, ketika ibunya melukai Grace dan peduli pada Laura, ia bisa dengan kejam membenci ibu yang telah melahirkannya.
"Genta, dengarkan saya. Kembali ke rumah dan tinggalkan anak sialan ini," titah Abran.
"Cih, sampai kapan pun saya tidak akan kembali ke tempat yang sudah menyiksa dan melukai adik saya," jawab Genta tegas.
Pak Hendra, yang selama ini terdiam, berusaha menyela pertikaian keluarga Valdore. Ia berdiri dari kursinya, keringat dingin membasahi dahinya. "Maaf, maaf, bisa kita fokus pada masalah utama?" ujarnya, suaranya sedikit gemetar. "Kita semua di sini untuk membahas kejadian Laura, bukan untuk memperdebatkan hubungan keluarga."
Genta dan orang tua kandung Grace sama-sama menoleh ke arah Pak Hendra. Tatapan tajam Genta seakan menusuk Pak Hendra, membuatnya semakin gugup. Namun, Pak Hendra tetap berusaha menengahi. "Saya mengerti bahwa ini situasi yang sulit," lanjutnya, "tapi kita perlu mencari solusi untuk masalah ini. Apakah ada yang ingin mengatakan sesuatu mengenai kejadian Laura?"
Sahila, ibu kandung Grace, menarik napas dalam-dalam. "Pak Hendra," ujarnya, suaranya terdengar sedikit lebih tenang, "saya hanya ingin Grace bertanggung jawab atas perbuatannya. Laura terluka parah, dan Grace harus dihukum."
"Ibu, itu tidak benar," kata Genta, suaranya dingin. "Grace tidak bersalah. Laura yang selalu membuat masalah, dan dia yang selalu berbohong."
"Genta, sudahlah," kata Sahila, suaranya terdengar sedikit lelah. "Kita tidak perlu memperdebatkan ini lagi. Yang penting, Grace harus dihukum."
"Tidak, Ibu," bantah Genta. "Grace tidak bersalah. Saya akan membela Grace sampai mati!"
"Genta, tolong," ucap Pak Hendra, suaranya terdengar sedikit putus asa. "Kita tidak bisa menyelesaikan masalah dengan cara ini. Kita perlu mencari solusi yang adil untuk semua pihak."
"Solusi yang adil?" tanya Genta, matanya menyala dengan kemarahan. "Bagaimana bisa adil jika adik saya yang selalu menjadi korban? Bagaimana bisa adil jika orang tua saya selalu membela Laura?"
"Genta, tolong," ucap Pak Hendra lagi, suaranya terdengar sedikit putus asa. "Kita tidak bisa menyelesaikan masalah dengan cara ini. Kita perlu mencari solusi yang adil untuk semua pihak."