Di masa lalu... orang tua Sherli pernah berurusan dengan yang namanya polisi hingga harus berada di pengadilan. Sejak saat itu Sherli antipati dengan polisi tetapi di masa sekarang Sherli harus berhadapan dan ditolong seorang polisi yang bernama Kres Wijaya di kantor polisi. Apakah dengan adanya peristiwa tersebut penilaian Sherli tentang seorang polisi berubah atau justru gigih dengan penilaian sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phine Femelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjanjian
Kres dan Sherli sampai di kantor polisi lalu Sherli merasa berat melangkah dan Kres tahu Sherli masih gundah.
"...tapi semoga rasa gundah kamu bukan karena diancam. Kalau memang terjadi begitu saya siap melindungi kamu" kata Kres pelan.
"Tidak perlu sok peduli dengan saya!" kata Sherli muak dan segera berjalan masuk.
Sherli harus berhenti berjalan karena bertemu Irfan.
"Dik Sherli cuma sendiri datang ke sini?"
"..."
Pertanyaan Irfan terjawab. Irfan melihat Kres datang dan akhirnya mengajak Sherli masuk lalu berjalan pergi dan Kres menatap Sherli.
"Bantu saya. Tolong. Agar saya bisa melindungi kamu dan kasusnya cepat selesai" kata Kres memohon.
Sherli membuang muka.
"Saya mau buat perjanjian dengan Bapak!" kata Sherli marah.
Kres merasa ingin tahu.
"Saya mau jadi saksi tapi cuma hari ini dan..."
Kres menunggu lanjutan perkataan Sherli.
"...hari ini juga kita terakhir bertemu!" lanjut Sherli dengan mengerutkan dahi.
Kres menatap Sherli.
"Apa? Kamu tidak salah bicara, bukan?" pikir Kres.
"Ternyata selama ini penilaian saya terhadap Anda salah, Pak. Saya pikir Anda polisi yang baik tapi ternyata...tega sama orang lain. Pertemanan kita cukup sampai di sini" kata Sherli sinis.
Sherli segera berjalan masuk dan Kres terkejut. Perkataan Sherli yang baru saja masih terngiang di telinganya. Hampir saja Kres tumbang jika tidak ingat dirinya ada di kantor.
"Rasanya seperti kehilangan meskipun gue gak paham alasannya bisa merasa kehilangan" pikir Kres.
Kres juga mengingat raut wajah Sherli begitu benci.
"Kamu benci sama saya? Kenapa? Saya cuma melakukan kewajiban dan mau menolong kamu. Kenapa kamu tidak bisa menghargai usaha saya untuk menolong kamu?" pikir Kres pelan.
Irfan melihat terus Sherli dengan pandangan bertanya. Sherli merasa risih.
"Kenapa Dik Sherli diam saja?"
"Gue benci. Sangat benci dengan keadaan ini apalagi tadi mereka memandang sinis kepada gue. Mbak Lailis juga kecewa sama gue" pikir Sherli sedih.
"Pak, hari ini saya jadi gagal fokus"
Kres berhenti berjalan dan mendengar yang baru saja dikatakan Sherli kepada Irfan.
"Maksud Dik Sherli apa?"
"Pak Irfan terlalu tampan, sih" kata Sherli pelan.
Ada sesuatu yang menggelitik hati Kres mendengar Sherli memuji Irfan. Merasa dirinya tidak senang dengan pengakuan Sherli apalagi melihat Irfan cuma diam terpaku.
"Dik..."
Irfan gagap dan berdeham sebentar untuk menutup rasa gugupnya.
"Kenapa sama saya kamu tidak bisa begitu?" pikir Kres.
Kres merasa miris.
"Dalam diam kamu senang sama Irfan?" pikir Kres.
Sherli menyunggingkan senyum terbaiknya dan hal itu kembali membuat Kres merasa tidak senang.
"Dik...Sherli tolong. Berhenti becanda. Tidak ada kata becanda. Ini sebuah kasus"
Meskipun Irfan berusaha tegas tapi Kres tahu bahwa hal itu hanya menutup rasa gugupnya. Satu sisi Kres hanya bisa diam mematung. Kres tidak bisa usaha untuk protes atau menghentikan Sherli berbuat hal lebih. Kres terlalu terpaku dengan pernyataan Sherli yang berkata hari ini pertemuan terakhir mereka apalagi disertai perlakuan Sherli kepada Irfan. Kres juga menyadari bahwa secara fisik dirinya memang kalah dengan Irfan. Irfan jauh lebih tampan dan berkulit putih sedangkan Kres sama sekali tidak tampan. Secara kulit juga kalah. Kres merasa miris tapi dia ingat bahwa tetap harus profesional. Kres berusaha setengah mati melupakan situasi rumit yang terjadi dalam hidupnya.
"Waktu itu saya sudah menjelaskan semua sama Pak Kres jadi silahkan tanya sendiri. Mohon maaf. Semua yang terjadi memang adanya itu tanpa saya buat. Pak Kres sudah cerita detail sama Pak Irfan?" tanya Sherli dengan sinis.
Irfan merasa heran.
"Kalau belum tanya saja sendiri. Saya sudah cerita sedetail sampai ke akarnya. Di sini yang salah siapa? Pak Irfan yang kurang jelas mendengar atau Pak Kres yang menjelaskan tidak detail?"
Irfan merasa tidak menyangka sikap Sherli begitu tegas.
"Tanpa menunduk sama sekali. Memang perempuan tangguh" pikir Irfan mulai kagum.
"Pak, saya boleh minta satu hal?"
"Apa?"
"Kalau kasus ini diberitakan jangan menyebut nama saya dengan lengkap. Gunakan huruf depan saja. Saya tidak mau seperti artis yang terlalu disorot. Permisi" kata Sherli dengan berdiri.
Irfan merasa tidak menyangka dengan sikap Sherli dan melihat kepergiannya.
Sherli berpapasan dengan Kres dan melihat dengan tatapan menyakitkan. Kecewa. Kres menatap lurus ke depan dan Sherli melirik sinis lalu berjalan pergi dan Irfan melihat Kres.
"Kres, Dik Sherli memang begitu ya? Sungguh wanita tangguh" kata Irfan kagum.
"Astaga. Tadi gue mendengar Sherli memuji Irfan dan sekarang gue mendengar Irfan memujinya" pikir Kres miris.
Satu sisi Kres lega Irfan tidak curiga sama sekali bahwa sebenarnya Sherli bukan saksi tapi di sisi lain seperti ada sesuatu yang mengganjal setelah mendengar fakta antara Irfan dan Sherli saling memuji.
***
"Saya menyesal kenal sama Bapak!" teriak Sherli.
Seketika Kres membuka kedua mata dan kaget lalu bangun dan duduk. Kening Kres berkeringat dan Kres segera melihat jam dinding. Sudah pagi. Pukul 07.00. Sudah empat jam yang lalu dari kantor Kres langsung pulang.
"Kres. Kres"
Kres melihat mamanya membuka pintu kamar. Kres yang cuma memakai celana dalam trunk segera mengambil bed cover yang ada di sebelahnya untuk menutup tubuhnya sampai batas pinggang. Kres cuma menatap mamanya yang masuk ke dalam kamar.
"Teman kamu itu... Sherli...masuk dalam berita? Ini ada gambar wajahnya"
Kres melihat koran yang ditunjukkan mamanya dan membaca sekilas di dalam hati.
"Cuma pakai nama inisial" pikir Kres.
"Dia jadi saksi di kasus ini?"
Kres hanya mengangguk.
"Gimana ceritanya?"
"Ma, aku mau siap olahraga. Ceritanya nanti saja"
"Oh...begitu? Baiklah. Nanti benar cerita ya? Mama penasaran"
Kres hanya mengangguk dan mamanya berjalan keluar lalu Kres mengingat Sherli dan merasa miris.
***
"Jadi serius lo saksi? Lo memutuskan untuk melapor?" tanya Ella dengan merasa tidak percaya.
"Gak tahulah. Gue pusing" kata Sherli dengan berbaring.
"Ayolah. Lo cerita. Gue penasaran"
Handphone Sherli berbunyi lalu Sherli melihat layar handphone dan ternyata telepon dari rumah.
"Ella, papa gue telepon"
"Diterimalah"
"Takut mama gue yang telepon" kata Sherli pelan.
"Memangnya kenapa? Kalau dari orang tua harus direspon"
Sherli berusaha tidak takut dan menerima telepon.
"Sherli"
"Suara papa" pikir Sherli.
"Papa"
"Nak, gimana kabar kamu? Kenapa gak pernah kasih kabar?"
"Pa, astaga. Aku kangen. Benar kangen" kata Sherli pelan.
Tidak terasa air mata Sherli jatuh dan Ella jadi iba.
"Maafkan mama kamu ya, Nak? Dulu cuma emosi. Kamu jangan khawatir. Selama kamu bahagia di sana papa dukung asalkan jaga diri"
"Iya, Pa. Maafkan aku tapi di sini baik saja. Ada Ella. Aku sama Ella jadi aman. Sampaikan permintaan maaf aku untuk mama, Pa"
"Baguslah kalau keadaan kamu di sana baik tapi kalau sempat pulang ke sini saja meskipun gak bisa setiap minggu"
"Iya, Pa. Terima kasih papa begitu pengertian sama anak-anaknya"
"Mama juga cuma cara mendidik papa dan mama beda. Mama cuma gak mau kamu terjadi sesuatu karena waktu itu gak ada kabar"
"Iya aku minta maaf. Waktu itu handphone aku jatuh jadi rusak"
"...tapi kamu gak apa-apa, bukan?"