#TURUN RANJANG
Tiga tahun pasca sang istri meregang nyawa saat melahirkan putranya, Zeshan tetap betah menduda dan membulatkan tekad untuk merawat Nadeo sendirian tanpa berpikir sedikitpun untuk menikah lagi.
Namun, hal itu seketika berubah setelah Mommy-nya datang dan berusaha meluluhkan hati Zeshan yang telah berubah sebegitu dinginnya. Berdalih demi Nadeo, Amara menjanjikan akan mencarikan wanita yang pantas untuk menjadi istri sekaligus ibu sambung Nadeo.
Zeshan yang memang terlalu sibuk dan tidak punya kandidat calon istri pasrah dan iya-iya saja dengan siapapun pilihan Mommy-nya. Tanpa terduga, Mommy Amara ternyata merekrut Devanka, adik ipar Zeshan yang mengaku sudah bosan sekolah itu sebagai calon menantunya.
*****
"Ingat, kita menikah hanya demi Nadeo ... jangan berharap lebih karena aku alergi bocah bau ingus." -Zeshan Abraham
"Sama, aku juga alergi om-om bau tanah sebenarnya." - Devanka Ailenatsia
ΩΩΩΩΩΩΩΩΩ
PLAGIAT/MALING = MASUK NERAKA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 - Memang Hatimu Kuat?
Biasanya Devanka patuh, tapi kali ini tidak. Larangan Zeshan tak ubahnya bak angin lalu, naluri sebagai adik sontak tergerak untuk mengulurkan tangan hingga Devanka kembali terlonjak tatkala merasakan perih di ujung jarinya.
"Ssshhh aawwh ...."
"Sudah kubilang jauhkan tanganmu, Devanka!!" sentak Zeshan meninggi sembari menarik tangan Devanka cepat, matanya menatap tajam sang istri sebelum kemudian meng-hiisap ujung jari Devanka yang terluka.
Sebuah tindakan yang membuat Devanka bertanya-tanya, Zeshan marah atau kenapa. Karena memang pria itu sangat tidak terbaca, dibilang marah, tapi perlakuannya begitu sigap seolah benar-benar khawatir.
Bahkan, Zeshan mendahulukan luka di jemari Devanka dibandingkan figura foto Talita yang kini hancur. "Tunggu di sini, dan jangan lakukan apapun."
Begitu perintah Zeshan sebelum dirinya beranjak berdiri. Devanka yang tadinya sempat membangkang kali ini benar-benar patuh karena tidak ingin kualat untuk kedua kali.
Tidak begitu lama Zeshan pergi, beberapa saat dia telah kembali dengan membawa kotak P3K di sana. Perkara figura Talita benar-benar dia kesampingkan lebih dulu, Zeshan memilih untuk merawat luka Devanka.
"Aku bisa send_" Baru juga hendak menarik tangannya, Zeshan kembali melayangkan tatapan tajam yang membuat Devanka diam seketika.
Begitu pelan Zeshan melakukannya, meski lukanya kecil, tapi memang perih dan Zeshan tahu akan hal itu. "Jangan pembangkang lain kali, aku tidak akan melarangmu jika tidak ada alasannya," ucap Zeshan setelah sejak tadi hanya bicara dengan bahasa kalbu yang untungnya Devanka sedikit mengerti.
"Menjauhlah, aku akan bereskan ini," titah Zeshan yang kali ini tidak lagi Devanka anggap angin lalu.
Dia benar-benar menjauh, memilih untuk memandangi Zeshan dari sofa dekat tempat tidur. Tanpa meminta bantuan siapapun, Zeshan menyelesaikannya sendiri. Cukup lama waktu yang Zeshan butuhkan, hingga pria itu kembali dengan tangan kosong pasca membawa keluar pecahan kaca beserta foto Talita.
Jelas hal itu menimbulkan tanya di benak Devanka. Namun, sebelum berani melontarkan pertanyaan, sudah pasti ada yang harus dia katakan lebih dulu.
.
.
"Kak Zeshan," panggil Devanka mengikuti langkah Zeshan yang kini menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Kenapa? Lukanya makin perih?"
"Bukan," jawab Devanka sembari menggeleng pelan.
"Lalu apa? Bonekanya masih dalam perjalanan, sabar."
Setelah tadi selalu tegang, jawaban Zeshan kali ini berhasil membuat Devanka tersenyum tipis. Sangat amat tipis, nyaris tak terlihat hingga Zeshan sama sekali tidak sadar akan hal itu.
"Bukan juga soal itu ... aku cuma mau bilang, fotonya jatuh sendiri." Sedikit gugup Devanka mengatakan ini.
Bukan karena ingin terdengar paling benar, akan tetapi Devanka tidak ingin sampai Zeshan berprasangka buruk padanya, tidak sama sekali. "Aku menyayangi kak Talita seluas lautan, jadi mana mungkin aku sampai berpikir picik dengan melakukan hal konyol seper_"
"Tahu, lagi pula fotonya tinggi ... mana mungkin tergapai oleh bocah sepertimu." Memotong pembicaraan saja termasuk menyebalkan, tapi Zeshan justru membuatnya dua kali lipat lebih menyebalkan.
"Kakak menghinaku?"
Zeshan membuka matanya, dengan posisi itu dia bisa melihat bagaimana Devanka yang kini bersedekap dada sembari melayangkan tatapan tajam ke arahnya.
Tidak lagi ada ketakutan atau sungkan di sana, yang ada tatapan penuh keberanian seolah menantang Zeshan untuk berkelahi lantaran berani bawa-bawa fisik.
"Mukamu kenapa? Faktanya begitu, 'kan? Tinggimu tak ubahnya seperti anak-anak," ucap Zeshan beranjak duduk dan memerhatikan gerak-gerik Devanka.
"Sorry ya, tinggiku di atas 150 CM dan di negara kita untuk perempuan sudah termasuk tinggi asal kakak tahu."
Zeshan tergelak, padahal Devanka ingat belum beberapa saat lalu pria itu menyeramkan. "Termasuk tinggi?" tanya Zeshan tanpa melepaskan Devanka dari tatapannya.
"Iya, kata mami perempuan yang tingginya di atas 150 senti sudah termasuk tinggi."
"Hem, 151 'kan tepatnya?" tanya Zeshan lagi-lagi tertawa kecil dan hal itu berhasil membuat Devanka merah padam. "Lebih 1 senti saja bangga," tambahnya lagi.
"Ya terserah, yang penting di atas 150 senti," kesal Devanka dengan dada yang kini naik turun.
Niat hati hanya ingin menjelaskan agar Zeshan tidak marah, nyatanya dia yang dibuat marah. Ingin sekali dia perpanjang, tapi Devanka berusaha menepis ego dan kembali pada tujuannya untuk mempertanyakan hal penting pada Zeshan.
"Ehem!!"
"Seret minum, Deva ... kamu bisa ambil sendiri, jangan manja," celetuk Zeshan yang kini beralih fokus ke layar ponselnya.
"Apa tidak bisa kakak mengurangi jurus sotoy itu setiap kita bicara?"
Zeshan kembali menatapnya, tak lupa meletakkan ponsel ke atas nakas dan kini beranjak menghampiri Devanka yang sejak tadi memang berdiri di hadapannya.
"Kamu juga, apa tidak bisa langsung bicara dan jangan main kode-kodean begitu? Sudah kubilang aku tidak sepeka pacarmu, Devanka," jelas Zeshan bersedekap dada.
Tidak ada jawaban, Devanka menarik napas dalam-dalam dan kini beralih menatap sisi tembok yang tadinya terdapat foto Talita. "Fotonya, kenapa tidak kakak pajang lagi?"
"Kalau tetap dipajang, memangnya hatimu kuat?" Bukannya menjawab, Zeshan balik bertanya hingga Devanka sontak mendongak, menatap wajah Zeshan di hadapannya.
"Maksudnya?"
"Seseorang pernah berkata, istri bisa menahan naffsu, tapi tidak dengan rasa cemburu ... dan kamu istriku sekarang," jawab Zeshan terdengar santai dan hal ini masih jelas menimbulkan pertanyaan di benaknya.
"T-tapi aku tidak cemburu tuh," timpal Devanka singkat sembari mengerjap pelan.
Gleg
Lumayan malu, tapi Zeshan mana mau memperlihatkan hal itu. "Hari ini belum, Deva, tapi besok-besok belum tentu ... bisa jadi foto Talita sekecil anak kutu kamu cemburui, dan itu jadi dosa andai kulakukan dengan sengaja menyakitimu," papar Zeshan berlebihan sekali, Devanka yang mendengar sampai mengerjap pelan.
"Orang gila mana yang cetak foto sekecil anak kutu?"
"Astaga anak ini," gumam Zeshan tak habis pikir, di saat tengah serius yang melekat di otak Devanka justru bagian hal itu. "Perumpamaan!! Makanya sekolah jangan cuma sampai gerbang, otakmu kosong beg_"
Tok ... tok ... tok
Sayang, siraman rohaninya terpaksa terhenti manakala ketukan pintu terdengar. Sungguh penyelamat bagi Devanka, dan petaka bagi Zeshan karena bisa dipastikan setelah ini dia akan kehilangan kesempatan untuk mengomeli sang istri.
Ingin Zeshan abaikan, tapi mana mungkin bisa. Terpaksa, mau tidak mau dia harus membuka pintunya segera. "Den, ini boneka non Devanka yang Anda minta."
Zeshan tidak segera menjawab, dia masih butuh waktu untuk memandangi teddy bear yang diperkirakan mencapai 2 meter itu karena memang lebih besar dari Bobby. "I-itu benar boneka, Bob?" tanya Zeshan memastikan.
"Iya, kata nyonya Ami ini yang namanya Lulu, Den," jelas Bobby yang hanya mampu Zeshan tanggapi dengan helaan napas pelan. "Yang benar saja, aku akan tidur dimana nanti malam?"
.
.
- To Be Continued -