Nasib memang tidak bisa di tebak. ayah pergi di saat kami masih butuh perlindungannya. Di tengah badai ekonomi yang melanda, Datang Sigit menawarkan pertolongan nya. hingga saat dia mengajakku menikah tidak ada alasan untuk menolaknya.
. pada awalnya aku pikir aku sangat beruntung bersuamikan pria itu.. dia baik, penyayang dan idak pelit.
Tapi satu yang tidak bisa aku mengerti, bayang-bayang keluarganya tidak bisa lepas dari kehidupannya walaupun dia sudah membina keluarga baru dengan ku.
Semua yang menyangkut keluarga harus di diskusikan dengan orang tuanya.
janji untuk membiayai adik-adik ku hanya omong kosong belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Alhamdulillah usahaku semakin ramai saja. Semula hanya Hafsah dan Bilal yang membantu, tapi melihat pesanan yang membludak membuat aku harus merekrut tenaga baru untuk membantu. selain itu, dari pihak brand nya juga memberi ku bonus sebuah motor. Aku tak berhenti bersyukur. Ternyata memilih lepas dari mas Sigit bukan membuatku terpuruk seperti kutukan ibunya. Tapi membuatku semakin kuat . Berbagai jalan Rizki terbuka untuk ku.
"Karena melihat ketekunan Bilal dan Hafsah, aku ingin sesekali menyenangkan mereka.
"Beberapa hari ini kalian sudah sangat lelah. Bagaimana kalau hari ini kita jalan-jalan ke mall?"
"Mall, Mba?" ulang mereka serentak tak percaya. bermain ke mall hanyalah impian buat kami selama ini. Karena itulah mereka seperti tak tak raya saat mendengar ajakanku.
aku ikut bahagia melihat mereka bahagia.
Dengan cepat aku mandikan Bulan, dalam hati berniat akan mengabulkan semua keinginan yang selama ini tidak dia dapat dari ayahnya.
Bermain sepuasnya, membeli boneka kesukaan nya apapun yang dia mau selagi aku masih mampu.
Sayangnya ibu menolak ikut dengan alasan sudah tua. Padahal aku ingin sekali membuat nya bahagia.
Raut kecewa terlihat di mata kedua adik ku saat mobil mang Rohim mogok. mobil yang rencananya aku sewa itu tidak bisa hidup.
"Telpon Om ayah saja..!" Celetuk Bulan
"Om ayah? jangan ah, tidak enak. nanti merepotkan."
"Lalu kita naik apa, Mba?" tanya Hafsah cemas. dia khawatir kalau acara kami gagal.
Di tengah kebingunganku. mas Agam datang dengan mobilnya. aku juga tidak mengerti kenapa sangat kebetulan.
"Wash Bulan. Sudah rapi sekali. Mau kemana?" dia menyapa Bulan tapi mata ya melihat ke arahku
"Kami mau jalan-jalan ke mall, tapi mobil Nang Rohim sedang rusak." gadis kecilku berceloteh manja.
"Oooh, begitu rupanya. Om ayah juga mau ke kota membeli beberapa keperluan, kenapa tidak ikut Om ayah saja?"
"Tidak kata ibu malu merepotkan." aku menutup mulut anakku agar tidak lebih banyak bicara.
"Benar begitu?" tatapan mas Agam ke arahku.
"Jangan di dengarkan. Bulan asal bicara kok."
"Tapi kurasa Bukan tidak bohong. Kalian sudah rapi begini." matanya menyapu dari bawah hingga kepalaku.
"iya, kami sedang menunggu mang Rohim memperbaiki mobilnya."
Mas Agam menatap mang Rohim yang sedang di bawah mobil.
"Sampai kapan? Lebih baik ikut aku saja. Kita satu tujuan." dia terus mendesak ku.
Akhirnya hal yang tidak terduga sebelumnya terjadi. Kami pergi dengan mobil Dokter Agam. Aku duduk di depan sedang anak-anak di belakang. canda riuh mereka mengurangi kecanggungan ku.
Seperti wajah anak-anak di belakang kami. wajah Dokter Agam pin terlihat ceria. Entah apa alasan di baliknya.
***
Sampai di mall, anak-anak bermain sepuasnya. Aku hanya bisa melihat keceriaan mereka. Sampai tidak sadar kalau dokter paham masih ada di sampingku.
"Syukurlah, kau terlihat bahagia seperti mereka. tidak lagi terpuruk oleh keadaan." dia memulai percakapan.
"Iya, saya sadar. Hidup harus terus berjalan. Kalau saya masih terpaku di tempat itu itu saja, kapan saya majunya? biarlah yang berlalu menjadi pelajaran buat saya kedepannya." jawabku sambil mencari tempat duduk sambil mengawasi anak-anak.
"Kau hebat, aku kagum padamu."
Aku tersenyum samar
as Agam terlalu berlebihan. Apanya yang hebat dari seorang wanita kampung seperti saya?"
"Aku tidak pernah melihat seseorang dari latar belakangnya, tapi dari kemauannya berjuang. Contohnya dirimu. Kau berhasil memperjuangkan kebebasan mu dan lepas dari belenggu keluarga suami mu. Itu patut jadi contoh buat teman-teman mu. Terus terang saja aku bangga menjadi temanmu. Kau adalah inspirasi jutaan wanita di luar sana."
"Terima kasih.." jawabku tersipu. Tampak ketulusan dari sorot matanya. Dia bukan tipe pria yang suka mencari muka.
"Mas Agam sendiri orang hebat. pintar tapi rendah hati, jiwa pengabdi sejati. Kadang-kadang itu yang membuat saya minder berada di dekat Dokter."
"Kenapa harus minder? Sudah ku bilang, aku dekat atau berteman dengan seseorang bukan dari status sosialnya kok. mungkin karena itulah aku betah di tugaskan di desa.
walaupun keluargaku berkali-kali menentang keputusan ku, aku tetap bertahan. Karena disitulah jiwaku. Aku kurang suka riuh gemerlapnya kehidupan kota." jawabnya sambil matanya menerawang.
"Walaupun harus mengabaikan keluarga mas Agam?"
Dia mengangguk.
"Aku tiga bersaudara dan aku cowok sendiri. Kakak perempuan ku sudah menikah, dan adik perempuan ku... " dia berhenti seperti menahan kesedihan yang dalam.
"Kenapa dengan adik perempuannya?"
"Dia juga sudah menikah dan punya seorang anak perempuan. Adikku satu-satunya ya g paling mengerti diriku. Dia mengalami kecelakaan dia tahun yang lalu."
"Innalillah.. .."
"Lalu anak dan suaminya?" cecar ku tanpa sadar.
"Suaminya masih, tapi anaknya ikut meninggal dalam kecelakaan itu."
Di mengerjap seperti menepis kenangan yang sangat menggores hari ya.
"Maaf saya tidak tau kalau dokter menyimpan luka yang begitu dalam."
"Tidak apa-apa, justru kehadiran mu dan Bulan bisa mengobati kerinduanku kepada mereka. Kau tau kau dan Bulan mirip mereka. Mungkin karena itulah aku sangat sayang pada Bulan."
Sekarang aku tau alasan nya, perlakuan Dokter Agam pada Bulan bukan tanpa alasan. Dia melihat sosok keponakannya pada diri Bulan.
"Eh, lihat.. Mereka sudah selesai main. mereka pasti lelah. Kita cari makan yuk."as Agam langsung bangkit menyongsong Bulan
kami berjalan mencari tempat makan. Sambil jalan Bulan dalam gendongan mas Agam.
Mereka terlihat dekat layaknya ayah dan anak.
Tanpa sengaja kami berpapasan dengan keluarga mas Sigit. Aku lihat ibu mertua, Rani dan Mas Sigit yang mendorong Tara dengan kursi Roda. Rani terlihat mentereng dengan penampilannya. Di sama sekali tidak merasa risih karena anaknya di dorong mas Sigit.
Sedang dia bebas melenggang seperti seorang gadis.
Seperti halnya aku, mereka tampak terkejut melihat kami.
Mas Sigit menatap tidak suka pada mas Agam yang menggendong Bulan.
"May kau disini?" suara ibu mertua memecah kebisuan di antara kami. Matanya terus menatapku dengan penuh kekaguman, begitupun Rani. Apalagi mas Sigit. Dia seperti tidak percaya kalau aku adalah May, istri kumalnya yang dia sia siakan.
"Bulan, kau sudah besar rupanya. ini nenek... Ayo Salim dulu." Bu Karti mengulurkan tangannya. Tapi Bulan mengibasnya.
Aku dan mas Agam sempet kaget oleh reaksinya. Sebenci apapun aku kepada keluarga itu, tidak pernah sekalipun menularkan kebencian itu kepada anak ku.
"Bulan, tidak boleh begitu, nak. ayo Salim."
Dengan enggan putriku menyalami nenek nya.
Mas Sigit sudah mengulurkan tangannya, tapi Bulan sudah sibuk menarik tangan mas Agam untuk pergi.
Mas Sigit menatapku sedih.
"Apapun hubungan kalian saat ini, tidak seharusnya kau mengajarkan anakmu acuh pada ayahnya. Sigit ayahnya lho..!" ucap ibu mertua.
"Aku tidak pernah mengajarkan hal yang jelek kepadanya. Mungkin karena perlakuan kalian yang membuatnya begini." semula aku masih bisa menahan diri. Tapi ibu mertua menyulut emosi ku.
"Jangan karena merasa kau cantik jadi sombong seperti ini." celetuk Rani.
Hatiku memang panas mendengarnya.
Tapi meladeni mereka dengan hati panas hanya merugikan diri sendiri. Karena itu aku udah strategi.
"Sungguh, aku baru tau kalau aku cantik, itupun dari mulut mu sendiri. Makasih, ya..makasih atas semuanya. Kalau tidak karena kalian kau tidak akan sampai seperti ini. Bisa menghasilkan uang walau pun dari rumah. bisa mempercantik diri dengan uang sendiri tanpa harus mengemis kepada suami sendiri." ucapku tajam sambil melirik mas Sigit. Yang di lirik hanya tertunduk lesu.
Rani terpancing. Di semakin emosi.
"Dasar wanita jalang. Kau pikir mas Sigit masih mau pada mu? Dari dulu dia tidak mencintaimu. dia hanya kasihan pada nasibmu."
"Oh, ya? Begitu? Asal kau dan calon suami mu tau. Aku tidak tertarik lagi padanya. ambil saja bekas ku itu." ucapku sambil membisikkan
Kata bekas di telinganya.
Dia murka dan hampir saja menjambak rambutku. Tapi mas Sigit menahannya.
"Jangan lakukan itu, malu..!"
Ibu mertua seperti iri melihat keadaan ku sekarang. Dia hanya menghela nafas berat menatapku.