Dion, seorang siswa kelas 10 yang ceria dan penuh semangat, telah lama jatuh cinta pada Clara, gadis pendiam yang selalu menolak setiap usaha pendekatannya. Setiap hari, Dion mencoba meraih hati Clara dengan candaan konyol dan perhatian yang tulus. Namun, setiap kali dia mendekat, Clara selalu menjauh, membuat Dion merasa seperti berjalan di tempat.
Setelah sekian lama berusaha tanpa hasil, Dion akhirnya memutuskan untuk berhenti. Ia tak ingin lagi menjadi beban dalam hidup Clara. Tanpa diduga, saat Dion menjauh, Clara mulai merasakan kehilangan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Kehadiran Dion yang dulu dianggapnya mengganggu, kini malah menjadi sesuatu yang dirindukan.
Di tengah kebingungan Clara dalam memahami perasaannya, Dion memilih menjaga jarak, meski hatinya masih menyimpan perasaan yang dalam untuk Clara. Akankah Clara mampu membuka diri dan mengakui bahwa ada sesuatu yang tumbuh di hatinya untuk Dion?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reito(HxA), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Momen Bersama yang Tak Terlupakan
Sabtu sore itu, akhirnya Dion dan gengnya—Reza, Fariz, dan Aldi—bisa bernapas lega. Setelah berminggu-minggu dihantam ujian, sore ini jadi waktu sempurna untuk pelarian. Mereka berkumpul di rumah Reza, rumah yang selalu jadi base camp andalan. Tempat ini selalu nyaman karena bebas dari gangguan orang tua, plus camilan yang selalu ada tanpa henti.
"Bro, kepala gue rasanya udah nggak karuan. Habisnya soal ujian kemarin tuh nyiksa banget," kata Reza sambil merebahkan diri di sofa.
Dion mengambil keripik, lalu tertawa kecil. "Setuju, Za. Tapi lu kayaknya santai banget, deh, kemarin. Nggak kelihatan stress sama sekali."
Reza mengangkat bahu santai. "Yah, gue emang bawaan lahirnya udah kalem. Itu kelebihan gue."
Aldi, yang sedang sibuk mengatur PlayStation di depan TV, langsung menimpali, "Bawaan lahir atau bawaan nggak ngerti soalnya?"
Fariz, yang duduk santai di lantai bersandar ke meja, ikut tertawa. "Mungkin dua-duanya."
Reza cuma mendengus sambil menyeringai. "Bodo amat. Eh, ngomong-ngomong, gue punya tebak-tebakan nih. Siap-siap ketawa ya, ini jokes kelas bapak-bapak."
Mereka semua langsung memasang wajah waspada. Sudah paham banget dengan jenis lelucon yang bakal keluar dari mulut Reza.
"Oke, dengerin baik-baik," Reza mengatur napas, siap melemparkan joke andalannya. "Kenapa kipas angin nggak bisa masuk sekolah?"
Dion dan Aldi saling berpandangan. Dion mengernyit, sementara Aldi mencoba berpikir keras. "Apa karena... dia nggak punya buku?"
Reza langsung menggeleng, lalu tertawa sendiri sebelum memberi jawaban. "Salah! Karena dia nggak ada angin-anginnya buat jadi murid!"
Fariz langsung tertawa keras sampai jatuh ke lantai. Aldi cuma bisa geleng-geleng kepala sambil menepuk dahinya.
"Za, itu... buruk banget," kata Dion sambil menahan tawa.
Reza masih cekikikan sendiri, merasa puas dengan leluconnya yang super garing itu. "Bro, justru karena garing makanya lucu."
Fariz, yang mulai bangkit setelah tertawa terbahak-bahak, angkat tangan. "Oke, gue juga punya satu tebak-tebakan. Siap-siap ya."
Semua mata tertuju pada Fariz, menunggu lelucon apa lagi yang akan keluar.
"Kenapa ayam nyebrang jalan?"
Aldi langsung menyahut, "Aduh, ini lagi. Pasti buat ke seberang, kan?"
Fariz menggeleng serius. "Bukan. Jawabannya adalah... karena si ayam mau nyobain motor baru di seberang jalan!"
Ruangan langsung meledak dengan tawa. Lelucon itu jelas tidak masuk akal, tapi justru karena itulah semuanya tertawa sampai perut mereka sakit.
"Bro, serius deh. Kita harus masukin kalian ke acara stand-up comedy, tapi khusus buat bapak-bapak," kata Dion sambil tertawa.
Reza mengangguk bangga. "Jadi tau kan, kenapa gue selalu dapet nilai jelek di matematika? Otak gue udah kepenuhan jokes."
Setelah puas tertawa dengan tebak-tebakan yang makin nggak jelas, Aldi tiba-tiba punya ide. "Eh, gimana kalau kita main 'truth or dare' aja? Udah lama nih nggak main gituan."
Mereka semua setuju. Fariz mengambil botol kosong dari meja dan mulai memutarnya di tengah ruangan. "Oke, yang kena putaran botol harus milih antara truth atau dare. Siap-siap malu, guys."
Botol mulai berputar, semua menahan napas menunggu siapa yang pertama. Dan setelah beberapa detik, botol itu berhenti tepat di hadapan Dion.
"Uh-oh, Dion duluan," kata Reza sambil menyeringai.
Dion mengangguk santai. "Oke, truth."
Aldi langsung menyambar dengan pertanyaan licik. "Oke, siapa cewek di sekolah yang menurut lo paling cantik?"
Dion tersenyum tipis, sudah menduga pertanyaan itu bakal muncul. "Gue pilih Clara."
"Ah, predictable," seru Fariz sambil tertawa. "Tapi bener sih, Clara emang beda kelas."
Reza ikut menimpali, "Jadi lo beneran ada rasa sama Clara?"
Dion mengangkat bahu. "Ya, bisa dibilang begitu. Tapi nggak harus selalu soal cinta, kadang kagum juga biasa aja."
"Tapi kagum lo beda," cibir Aldi, membuat semua kembali tertawa.
Botol berputar lagi, dan kali ini berhenti di Reza. "Gue pilih dare," katanya dengan percaya diri.
Fariz langsung menyeringai jahat. "Oke, gue tantang lo buat nelepon pacar lo sekarang dan bilang lo mau jadi badut di acara ulang tahunnya."
Reza melotot kaget. "Serius lo?! Gila lo, bro!"
Fariz hanya mengangkat bahu. "Lo pilih dare, kan? Harus berani dong!"
Dengan berat hati, Reza mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor pacarnya. Semua temannya menahan tawa, menunggu momen itu.
"Halo, sayang?" Reza mulai dengan nada normal.
Aldi memberi isyarat agar Reza segera melaksanakan tantangan itu.
"Ehm... aku mau ngomong sesuatu. Aku kepikiran... gimana kalau aku jadi badut di acara ulang tahun kamu minggu depan?"
Terdengar hening sejenak di telepon, lalu suara pacarnya tertawa terbahak-bahak. "Kamu becanda kan?"
Reza juga akhirnya tertawa. "Iya, iya. Cuma becanda doang, kok."
Begitu telepon ditutup, ruangan langsung pecah dengan tawa mereka. "Gila, bro! Lo hampir aja ditinggalin sama pacar gara-gara dare bodoh!" kata Dion sambil terbahak.
Mereka terus melanjutkan permainan, dengan tantangan-tantangan yang makin konyol. Dari Aldi yang harus joget ala boyband Korea sampai Fariz yang ditantang bikin video tiktok pura-pura jadi pemandu wisata. Suasana semakin meriah, penuh dengan gelak tawa tanpa henti.
Ketika malam semakin larut, mereka akhirnya berhenti bermain. Meski banyak tantangan di depan, malam seperti ini yang membuat segalanya terasa lebih ringan.
"Bro, kita harus sering-sering kumpul gini. Masa sekolah bakal kerasa lebih seru," ujar Dion.
Aldi menepuk bahu Dion. "Pasti, bro. Momen kayak gini yang bikin hidup kita lebih berwarna."
Dan dengan itu, malam itu jadi kenangan tak terlupakan bagi mereka.
To be continued...