NovelToon NovelToon
About Me (Alshameyzea)

About Me (Alshameyzea)

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Anak Genius / Anak Yatim Piatu / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Murid Genius / Teen School/College
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Febby Eliyanti

Saksikan perjalanan seorang gadis yang tidak menyadari apa yang telah disiapkan takdir untuknya. Seorang gadis yang berjuang untuk memahami konsep cinta sampai dia bertemu 'dia', seorang laki-laki yang membimbingnya menuju jalan yang lebih cerah dalam hidup. Yuk rasakan suka duka perjalanan hidup gadis ini di setiap chapternya.


Happy Reading 🌷
Jangan lupa likenyaa💐💐💐
Semoga kalian betah sampai akhir kisah Alsha🌷 Aamiin.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febby Eliyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28. Di Antara Pilihan dan Perasaan

...Assalamualaikum guys!! Sebelum baca, bantu support yaa dengan follow, vote, like dan komen di setiap paragraf nya!! Karena support kalian sangat berarti bagiku💐Makasiiii!🌷...

...••••...

...🌷Happy Reading 🌷...

...•...

...•...

...•...

..."Dalam dunia yang penuh pilihan dan perasaan, setiap langkah adalah puisi yang ditulis di atas kanvas hidup yang tak ternilai."...

...°°°°...

Aku duduk di bangku di depan kelasku, tenggelam dalam dunia yang diciptakan oleh buku yang sedang kubaca. Angin sepoi-sepoi meniup lembut kerudungku, memberikan rasa nyaman di tengah panasnya siang. Pandanganku sesekali beralih dari halaman buku ke sekeliling, mengamati suasana sekolah yang mulai sepi karena sebagian besar siswa memilih untuk bermain di lapangan atau menghabiskan uangnya di kantin, termasuk Aline. Dia sejak tadi memaksaku untuk ke kantin, tapi aku menolaknya, aku ingin menghabiskan bacaanku dulu.

Saat itulah mataku menangkap sosok yang familiar. Arshaka dan Rey berjalan bersama menuju kelas mereka. Mereka tampak bercakap-cakap, tampaknya begitu asyik hingga tak menyadari kehadiranku yang duduk di sana. Aku menatap mereka, terutama Arshaka. Aku merasa lega melihat luka di wajah Arshaka yang sudah mulai memudar. Kejadian perkelahian itu terjadi seminggu yang lalu, dan sejak itu, banyak hal yang berubah.

Aku menghela napas pelan, mengingat kejadian itu. Seminggu berlalu sejak Arshaka dan Keenan berantem, dan meskipun luka fisik Arshaka sudah memudar, ada hal lain yang mengganggu pikiranku. Perubahan sikap Arshaka. Cowok itu tiba-tiba kembali ke setelan awal, cuek.

Padahal baru kemaren Shaka mulai jadi lebih ramah, batinku. Tapi sekarang, kenapa dia cuek banget..

Tapi dibalik itu semua, hubunganku dengan Keenan mulai membaik sejak seminggu yang lalu. Ada perasaan campur aduk saat aku mengingat kembali kejadian yang membuka mata kami berdua.

Aku dan Aline duduk di teras rumahku, menikmati sore yang tenang. Kami sedang berbincang santai ketika tiba-tiba Kafka, Abhi, dan Nevan datang membawa seorang anak laki-laki yang wajahnya terlihat penuh ketakutan. Anak itu tampak familiar, dan saat mereka mendekat, aku menyadari dia adalah pelaku yang menabrakku beberapa waktu lalu.

Kafka mendesak anak itu untuk jujur. "Buruan jelasin! Apa yang sebenarnya terjadi."

Anak itu gemetar, tapi akhirnya mengangguk. "Iya, bukan Keenan yang nyuruh gue. Ada orang lain yang bayar gue buat nyelakain kalian."

Aku terkejut mendengar pengakuannya. "Siapa?"

Anak itu tampak ragu sejenak sebelum akhirnya bicara. "Gue nggak tau namanya. Orangnya nggak pernah bilang siapa dia."

"Ngomong yang bener!" bentak Kafka

Aku menyetop Kafka utuk memarahi anak itu, membiarkan dia bicara dengan sedikit santai.

"Soal foto? Apa yang kalian bicarakan saat itu?" tanyaku sedikit lembut

Anak itu menggeleng. "Waktu itu, gue jatuh dari motor, dan Keenan nolongin gue. Kami ngobrol bentar karena gue mau ucapin makasih ke dia. Tapi ini nggak ada hubungannya sama kejadian nabrak lo."

Aku terdiam, mencerna semua yang baru saja kudengar. Keenan tidak bersalah. Dia hanya berada di tempat dan waktu yang salah. Rasa bersalah dan lega campur aduk di dalam diriku. Aku harus segera bertemu dengan Keenan dan meminta maaf.

Keenan sudah banyak berubah sejak kejadian itu. Dia lebih terbuka dan perhatian padaku. Meskipun masih ada banyak hal yang harus kami bicarakan dan selesaikan, hubungan kami mulai membaik.

Saat aku terus merenung, tiba-tiba sebuah suara familiar mengalun di sampingku, membuatku terkejut. "Meskipun kau aksara tak bermakna dan hubungan kita sebatas fatamorgana, aku tetap menunggu kita menjadi nyata."

Aku tersentak, menoleh dan melihat Keenan berdiri di sana, tersenyum tipis. "Keenan, sejak kapan kamu di sini?" tanyaku, berusaha menenangkan detak jantungku yang tiba-tiba berdetak lebih cepat.

Keenan duduk di sampingku, menatapku dengan tatapan yang hangat. "Dari tadi. Aku perhatiin kamu asik banget sama novel mu, sampe nggak sadar aku disini."

Aku hanya bisa tersenyum canggung. "Oh, iya.."

"Kutipannya bagus". ucap keenan, matanya tak lepas dari wajahku. "Sangat bagus. Dan aku rasa kutipan itu bukan sekadar kata-kata indah di buku."

Aku mengerutkan keningku.

"Aku rasa itu lebih dari itu, seperti... tentang kita." tambahnya

Aku menelan ludah, mencoba mencerna ucapannya. "Maksud kamu?"

Keenan mengambil bukuku, membuka halaman yang tadi kubaca dan menelusuri kalimat-kalimat dengan jarinya. "Meskipun kau aksara tak bermakna dan hubungan kita sebatas fatamorgana, aku tetap menunggu kita menjadi nyata," ulangnya pelan. "Aku ngerasa kita seperti itu, Sheena. Mungkin hubungan kita kadang terasa seperti ilusi, tapi aku tetap menunggu kita menjadi nyata."

Keenan melanjutkan, suaranya lembut namun tegas. "Aku tau, sudah banyak yang terjadi di antara kita, banyak yang belum terselesaikan. Tapi aku ingin kamu ngerti, aku nggak akan pergi kemana-mana. Aku akan tetap di sini, menunggu kita bisa menjadi lebih dari sekedar fatamorgana." ucapnya, menatapku dengan dalam.

---

Saat aku terbaring di rumah sakit, aku sempat berpikir bahwa kesempatan untuk menjadi kandidat OSIS akan hilang begitu saja. Anehnya, aku tidak merasa sedih atau kecewa dengan kemungkinan itu. Sebaliknya, ada rasa lega yang aneh di dalam diriku. Aku tidak benar-benar ingin menjadi kandidat OSIS.

Keesokan harinya, Pak Iwan menghubungiku. Suaranya terdengar tenang dan penuh perhatian.

"Alsha, bagaimana keadaanmu?" tanyanya.

Aku menjawab pelan, "Sedikit lebih baik, Pak. Tapi, saya khawatir tentang pemilihan OSIS. Saya tidak yakin bisa berpartisipasi."

Pak Iwan menghela napas, lalu berkata, "Kami memutuskan untuk menunda pemilu sampai kamu benar-benar pulih."

Aku terkejut mendengar itu. "Benarkah, Pak?"

"Ya, kami ingin memastikan bahwa semua kandidat memiliki kesempatan yang adil. Dan yang terpenting, kami ingin kamu fokus pada pemulihanmu dulu. Jadi, istirahatlah dan sembuhkan dirimu. Kami akan menunggu," kata Pak Iwan dengan suara hangat.

---

Pemilu OSIS di SMAN Cendana selalu menjadi acara besar yang dinantikan setiap tahunnya. Sekolah tampak lebih meriah dari biasanya dengan dekorasi di setiap sudut, poster-poster kandidat terpampang di papan pengumuman dan di dinding-dinding aula. Bendera-bendera kecil berwarna-warni berkibar di sepanjang koridor, menciptakan suasana yang penuh semangat.

Hari itu, aula utama berubah menjadi pusat kegiatan. Meja-meja panjang disusun rapi, masing-masing dilengkapi dengan kotak suara dan daftar pemilih. Siswa-siswi berbaris dengan tertib, menunggu giliran mereka untuk memberikan suara. Beberapa panitia pemilu, mengenakan seragam khusus, sibuk mengatur jalannya acara dan memastikan semua berjalan lancar.

Di satu sisi aula, ada panggung besar yang dihiasi dengan banner bertuliskan "Pemilu OSIS SMAN Cendana". Di atas panggung, para kandidat berdiri dengan wajah penuh harap. Mereka terlihat bersemangat, meskipun ada juga yang tampak gugup. Masing-masing diberi kesempatan untuk menyampaikan pidato singkat, menjelaskan visi dan misi mereka jika terpilih nanti.

Setelah semua suara dihitung, Pak Iwan, pembina OSIS, naik ke panggung untuk mengumumkan hasilnya. "Saya ucapkan terima kasih kepada semua yang telah berpartisipasi dalam pemilu tahun ini," katanya dengan senyum lebar. "Dan, dengan bangga kami umumkan bahwa ketua OSIS baru kita adalah... Arshaka Najendra!"

Sorak-sorai dan tepuk tangan meriah memenuhi aula. Arshaka berjalan ke depan panggung dengan ekspresi tenang namun penuh kebanggaan. Dia menerima selempang dari Pak Iwan dan tersenyum kepada semua yang mendukungnya.

Saat itu, matanya bertemu denganku. Tatapan kami terhubung sejenak, seolah waktu berhenti. Namun, dalam sekejap, dia mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Meninggalkan perasaan yang sulit dijelaskan.

----

Pagi itu, suasana ruang rapat OSIS SMA Cendana penuh dengan antusiasme yang tegang. Aku duduk di sudut ruangan, memperhatikan Arshaka yang berdiri di depan papan tulis dengan spidol di tangan. Dia tampak percaya diri seperti biasanya. Hari ini akan menjadi hari penting karena Arshaka akan menentukan struktur pengurus inti OSIS.

"Baiklah, kita mulai," kata Arshaka dengan suara tegas namun tenang. "Untuk posisi wakil ketua, gue milih Rey."

Rey, sepupunya, duduk di barisan depan dengan senyum puas. "Gue siap," katanya penuh keyakinan. Arshaka mengangguk, menuliskan nama Rey di sebelah kata 'Wakil Ketua' di papan tulis.

Ketika giliran menentukan sekretaris tiba, jantungku berdetak lebih cepat. Aku tahu ini momen penting, dan aku tidak bisa menebak siapa yang akan dipilih Arshaka.

"Selanjutnya, sekretaris," ucapnya dengan suara tegas. "Untuk posisi sekretaris, kita butuh seseorang yang teliti dan terorganisir."

Arshaka memulai dengan menatapku sejenak. Aku bisa merasakan tatapannya yang mendalam. Sejak beberapa waktu lalu, Arshaka mulai menjauh dan bersikap dingin padaku. Aku sedikit merasa canggung.

Setelah menatapku, Arshaka berpindah ke Clara, teman sekelas yang selalu terlihat tenang dan terorganisir. Aku melihat dia menilai Clara dengan cermat, seolah mempertimbangkan semua kemampuannya dalam administrasi.

Tatapan Arshaka kemudian beralih ke Ghisel, yang sangat teliti dalam pekerjaannya, serta Elysia, yang dikenal sangat terlibat dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler dan memiliki keterampilan organisasi yang baik. Arshaka memperhatikan kami semua dengan cermat, seolah mencoba menimbang setiap kelebihan dan kekurangan dari masing-masing calon.

Setelah beberapa menit perenungan, Arshaka menghela napas dan mengarahkan pandangannya kembali ke papan tulis. "Gue tau kalian semua punya kelebihan masing-masing. Setelah pertimbangan, gue rasa Clara, pilihan yang paling tepat untuk posisi sekretaris."

Belum sempat suasana mereda, Rey langsung angkat tangan. "Tunggu dulu. Gue punya pendapat juga." ucap Rey, membuat kami semua menoleh ke arahnya, "Alsha juga bisa jadi pilihan yang bagus." tambahnya, membuatku sedikit terkejut, kenapa dia milih aku?

"Menurut gue, Alsha juga layak dipertimbangkan. Dia punya kemampuan yang sama dan juga bisa diandelin." Rey mencoba meyakinkan Arshaka, sedangkan aku hanya bisa menelan ludah, kenapa Rey bisa seyakin itu ke aku?

Arshaka menatap Rey dengan frustrasi. "Tapi kita butuh seseorang yang bener-bener siap setiap saat. Clara sudah terbukti kompeten dalam hal ini."

Rey mengangkat alis, mencoba bersikap ringan. "Oh, jadi Clara udah dipastiin tanpa pertimbangan lain?"

Arshaka mendengus. "Dan lo mau bilang kalo lo lebih tau dari gue tentang siapa yang cocok untuk posisi ini?"

Eh? Kenapa mereka malah berdebat? Semua orang yang di ruangan hanya bisa diam, melihat kedua laki-laki itu berbicara.

Rey, dengan nada penuh percaya diri, menanggapi, "Gue nggak bilang gitu. Gue cuma mau bilang kalo Alsha juga punya catatan bagus. Kalo lo terus-menerus pilih Clara, kita nggak bakal dapet pandangan objektif."

Arshaka mengerutkan kening, tampak marah. "Gue udah banyak pertimbangkan semua faktor, Rey. Dan gue rasa, Clara lebih cocok."

Rey tetap bertahan pada pendapatnya, tapi setiap kali dia menegaskan bahwa aku juga layak dipertimbangkan, aku merasa campur aduk. Ada rasa terima kasih terhadap Rey karena dia berusaha membelaku, dan ada juga rasa kesedihan yang mendalam karena aku tahu Arshaka sepertinya benar-benar ingin menjauh dariku.

Arshaka membalas dengan suara meninggi, "Jadi lo mau gue ngelupain semua pertimbangan gue cuma karena lo pengen Alsha terpilih? Itu bukan cara kerja yang profesional."

Rey tersenyum sinis. "Dan lo pikir dengan memaksakan Clara, lo udah profesional? Ini tentang menemukan orang yang tepat, bukan cuma yang lo anggap udah 'bagus'."

Arshaka berusaha menenangkan diri tapi tetap tidak bisa menahan kemarahannya. "Gue tau lo berusaha buat Alsha, tapi gue juga harus mikirin yang terbaik untuk OSIS. Kita butuh seseorang yang bisa bekerja tanpa masalah."

Rey menggelengkan kepala dengan penuh rasa frustrasi. "Oh, jadi lo kira dengan memilih Clara, semua masalah bakal selesai? Gue rasa lo cuma nggak mau mendengarkan pendapat lain."

Perdebatan antara Arshaka dan Rey semakin memanas, dan Clara tampaknya tidak mau ketinggalan. Aku duduk di sudut ruangan, merasakan ketegangan yang semakin meningkat saat mereka terus-menerus berdebat.

Clara, yang tidak bisa menahan diri, berdiri dan menyela, "Gue rasa, penting untuk gue sampaikan kenapa gue layak untuk posisi sekretaris. Gue udah berpengalaman, dan gue bener-bener antusias untuk posisi ini."

Rey menatap Clara dengan raut skeptis. "Clara, gue paham lo antusias, tapi ini bukan cuma soal kemampuan. Lo perlu liat juga dari sudut pandang lain. Alsha juga punya potensi yang sama untuk posisi ini."

Arshaka, jelas frustrasi, membalas dengan nada tegas, "Lo nggak bisa terus-menerus memaksakan Alsha. Gue udah pertimbangin banyak hal, dan Clara udah menunjukkan komitmennya."

Clara menambahkan, "Dan gue juga ingin menunjukkan betapa seriusnya gue. Gue tau posisi ini penting, dan gue berkomitmen untuk melakukannya dengan sebaik mungkin."

Rey, yang mulai kehilangan kesabaran, merespons, "Gue ngerti komitmen lo, Clara, tapi kalo lo terus berdebat tanpa mempertimbangkan pendapat orang lain, kita nggak bakal pernah selesai. Alsha juga bisa jadi sekretaris yang baik."

Arshaka semakin kesal. "Jadi lo mau bilang semua keputusan gue salah? Gue udah mempertimbangkan semua faktor dan Clara adalah pilihan yang paling tepat."

Clara, tetap pada pendiriannya, menambahkan, "Kalo Arshaka sudah yakin dengan gue, kenapa harus debat? Ini tentang siapa yang bener-bener bisa menjalankan tugas dengan baik."

Rey, dengan nada frustrasi, berkata, "Gue bukan nggak setuju sama Clara, tapi kalo kita terus bertindak tanpa mempertimbangkan pendapat orang lain, kita cuma bakal bikin semua orang merasa diabaikan."

Arshaka mendecak kesal. "Gue nggak mau terjebak dalam perdebatan tanpa akhir. Kalo lo terus nuntut, kita bakal jadi stuck dan nggak bisa bergerak maju."

Clara, semakin mendesak, mengatakan, "Tapi posisi sekretaris ini sangat penting! Gue bener-bener berkomitmen untuk menjalankannya dengan baik. Lo semua harus ngertiin itu."

Rey tidak mau menyerah. "Gue setuju posisi ini penting, tapi gue juga percaya kalo kita harus memberi kesempatan pada semua orang, bukan hanya pada mereka yang udah jelas-jelas diutamakan."

Suasana semakin tegang, dan anggota OSIS lainnya mulai merasa tidak nyaman dengan perdebatan yang tak kunjung usai. Setiap argumen seolah semakin membakar suasana, dan aku merasa bingung tentang bagaimana semua ini bisa diselesaikan.

Di tengah perdebatan yang semakin memanas antara Arshaka dan Rey, Clara terus berbicara dengan semangat, sementara aku hanya duduk diam. Rey akhirnya menoleh kepadaku, wajahnya penuh perhatian. "Alsha, lo punya pendapat tentang ini? Gue perhatiin lo cuma diem aja dari tadi."

Aku terkejut dan merasa terhentak dari pikiranku. Dengan suara lembut dan penuh keraguan, aku menjawab, "Sebenernya, aku nggak yakin kalo aku nanti jadi sekretaris OSIS. Aku khawatir aku nggak bisa memenuhi harapan dan tanggung jawab yang ada."

Arshaka, yang mendengar pernyataan ini, langsung menatap Rey dengan nada tajam. "Lo denger sendiri kan? Yang lo pilih aja nggak yakin sama dirinya sendiri. Kenapa lo bisa segitu yakinnya milih dia?"

Rey, yang tampak marah, langsung membalas, "Shaka! Lo kenapa sih! Kok lo gini ke Alsha! Dia baru aja bilang kalau dia nggak yakin, tapi itu bukan berarti dia nggak bisa melakukannya. Kenapa lo harus membela Clara dengan cara kayak gini?"

Arshaka, yang merasa terpojok, menjawab dengan nada tinggi, "Lo yang kenapa, Sampe segitunya ke Alsha! Kenapa lo begitu keras membela dia, padahal gue udah banyak pertimbangan!"

Melihat pertengkaran yang semakin memanas, aku merasa hatiku berat. Mendengar Arshaka dan Rey saling berdebat, terutama ketika Arshaka membela Clara dengan sangat keras, membuatku merasa semakin terasing dan sedih. Kata-kata mereka membuatku merasa seperti aku tidak punya tempat di sini, dan..

Keinginan Arshaka untuk menjaga jarak dariku terasa semakin jelas.

Aku hanya bisa duduk diam, merasakan kepedihan di dalam hati. Setiap kali Arshaka menyebutkan betapa pentingnya posisi ini dan mengabaikan keraguanku, rasanya seperti ada sesuatu yang menekan dadaku. Aku tidak tahu bagaimana harus merespons, dan semua ketegangan ini membuatku semakin bingung dengan perasaanku sendiri.

Suasana ruangan semakin tegang dengan perdebatan yang tak kunjung usai. Anggota OSIS lainnya mulai berbisik-bisik, merasakan ketegangan yang menyelimuti ruangan.

Tiba-tiba, Pak Iwan masuk dan menghentikan perdebatan mereka. "Apa yang sedang terjadi di sini?" tanyanya dengan nada tegas. Suasana langsung hening saat Pak Iwan mengamati keributan di hadapannya.

Pak Iwan memandang Arshaka dan Rey dengan serius, lalu meminta mereka menjelaskan situasi.

Arshaka langsung menjawab, "Pak, kami sedang berdebat tentang siapa yang seharusnya menjadi sekretaris OSIS. Saya merasa Clara lebih cocok untuk posisi ini karena kemampuannya dan pengalaman yang sudah terbukti."

Rey, tetap berdiri tegak dan tampak frustrasi, membalas, "Pak, saya menghargai pendapat Arshaka, tapi Alsha juga punya kualitas yang layak dipertimbangkan. Dia punya catatan yang baik dan saya yakin dia bisa menangani tugas ini dengan baik."

Pak Iwan mengangguk, memutuskan untuk campur tangan. "Kita tidak akan menyelesaikan ini dengan berdebat terus. Kita akan menggunakan hasil pemilihan yang telah dilakukan untuk menentukan siapa yang akan menjadi sekretaris. Ini adalah keputusan akhir dan harus dihormati."

Rey dan Arshaka, meskipun masih terlihat kesal, akhirnya berhenti berdebat. Keputusan Pak Iwan memberikan kejelasan dan menghentikan perdebatan yang tampaknya tidak akan berujung.

Pak Iwan melihat hasil voting yang tertempel di papan pengumuman. Ketika hasil diumumkan, detak jantungku semakin cepat saat aku melihat namaku muncul sebagai pemenang suara terbanyak. Rey tersenyum puas, jelas senang dengan hasil ini. Mataku bertemu dengan tatapannya, dan aku merasa sedikit lega bahwa pilihannya akhirnya diterima.

Namun, reaksi Clara membuatku merasa tidak nyaman. Wajahnya cemberut, dan aku bisa merasakan ketidakpuasannya. Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap, apalagi melihat wajah kecewa Clara yang jelas-jelas menunjukkan rasa frustrasinya.

Sementara itu, Arshaka menatap tajam ke arah Rey. Tatapan itu penuh dengan kemarahan dan frustrasi, dan aku bisa merasakan ketegangan di antara mereka. Arshaka, laki-laki yang kini semakin menjauh dariku, seolah ingin menjauhkan diri lebih jauh lagi. Aku merasa sedih melihat reaksi Arshaka, terutama karena saat ini dia tampak sangat ingin menghindar dariku.

Pak Iwan, dengan nada tegas, mencoba meredakan suasana. "Baiklah, keputusan sudah diambil. Mari kita dukung Alsha sebagai sekretaris yang baru dan bekerja sama untuk mencapai tujuan OSIS kita."

Aku berdiri di tempatku, campur aduk antara rasa bahagia dan cemas. Ada kegembiraan karena terpilih, tapi juga ketidakpastian tentang bagaimana semuanya akan berjalan. Yang lebih membuatku bingung adalah bagaimana aku akan bisa menjalin kerja sama dengan Arshaka, yang jelas-jelas tampak ingin menjauh dariku. Reaksi dan tatapannya yang penuh kemarahan membuatku merasa semakin tidak nyaman.

Saat Arshaka akhirnya berpaling dan pergi, aku merasa sebuah kekosongan di dalam diriku. Semua ini terasa seperti akhir dari sesuatu yang penting, dan aku tahu aku harus menghadapi tantangan baru sebagai sekretaris, sambil menghadapi perasaan-perasaan yang belum sepenuhnya aku mengerti. Dengan satu langkah maju ke depan, aku memutuskan untuk menyiapkan diri menghadapi tugas yang baru ini, meskipun bayang-bayang ketegangan dan perasaan yang belum terselesaikan masih menghantui pikiranku. Aku tidak tahu bagaimana harus mengatasi situasi ini, tetapi aku harus berusaha, meski terasa berat.

---

Setelah hasil pemilihan diumumkan, aku kembali ke kelas dan duduk sendirian di mejaku. Aku merasa hatiku berat ketika mengingat semua kejadian di ruang OSIS, terutama bagaimana Arshaka dengan tegas menolak keputusanku sebagai sekretaris. Melihat sikapnya yang jelas-jelas tidak ingin aku menduduki posisi ini membuatku merasa sangat sedih.

Saat aku membenamkan diri dalam pikiran tersebut, aku tiba-tiba mendongak dan melihat Rey datang ke mejaku dengan sebuah kotak nasi. Dia tersenyum ramah dan menyodorkan kotak itu kepadaku. "Lo belum makan, kan? Ini bunda yang bawain," katanya lembut.

Aku menerima kotak nasi tersebut dengan rasa terkejut dan sedikit bingung. "Makasih, Rey," kataku, berusaha tersenyum.

Sejenak, aku teringat pada saat-saat ketika Arshaka sering menyodorkan sekotak nasi yang sama kepadaku. Biasanya, dengan nada galaknya, dia akan berkata, "Buruan makan!" Aku tersenyum dalam hati, meskipun tidak selembut Rey, dan sering membuatku kesal, tapi itu cara dia yang membuatku merasa diperhatikan dan dihargai.

Kini, melihat Rey yang menggantikan peran itu, aku merasakan campur aduk dalam diriku. Momen-momen sederhana seperti ini mengingatkanku pada kebiasaan lama yang masih sangat aku hargai. Arshaka, dengan caranya yang unik, selalu mampu membuat hari-hariku terasa lebih berwarna, dan kehilangan itu terasa seperti sebuah kekosongan yang sulit diisi.

Rey duduk di kursi di sebelahku, menyadari ketidaknyamananku. "Al, gue tau hari ini berat buat lo. Tapi gue percaya lo bakal jadi sekretaris yang baik. Semua orang butuh kesempatan, termasuk lo."

Aku mengangguk, merasa terharu. "Makasih, Rey."

Rey mengangguk. "Gue yakin lo punya kemampuan, dan lo bisa ngatasi ini."

Aku mencoba tersenyum sambil mengangguk.

Rey Algara, dengan sikapnya hari ini, membuatku merasa sedikit lebih baik.

...BERSAMBUNG...

#alshameyzea

#alsha

#keenan

#aboutme

#fiksiremaja

#arshaka

#rey

------

Assalamualaikum guys!! Bantu support yaa dengan follow, vote, dan komen di setiap bab nya!! Makasiiii!🌷💖

Mari kepoin cerita kami juga di ig: @_flowvtry @febbyantii._

Salam kenal dan selamat membacaa. Semoga betah sampai akhir kisah Alsha! Aamiin.💖

Komen sebanyak-banyaknya disini 👉🏻 👉🏻 👉🏻

Eh? Kalian mau kasih saran dan kritikan? Boleh banget, disini yaaa👉🏻👉🏻👉🏻👉🏻👉🏻

Thanks udah mau bacaa bab iniii sampe akhir💐

1
Sodiri Dirin
jujursi ceritanya bikin binggung tp bagus 🤔
_flowvtry: Makasii kaaa🥹🥹🥹🌷
total 1 replies
Sodiri Dirin
up tor jangan lama2,,sejujurnya aku ngrasa binggung sama ceritanya kaya GK nyambung lompat2 GK jelas tp seneng aja bacanya 🤗
_flowvtry: makasii kaaa, update terbaru ada di aplikasi wp kaa🙏🏻😭
total 1 replies
lilyflwrsss_
kerennnn bangett, alurnya bener-bener ga ketebak.
jd pengen baca terus menerus.
ditunggu updatenya kaak
_flowvtry: makasiiii kaaaa huhuu🥹🥹❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!