Usai penyatuan itu, Seruni bersandar pada dada polos Victor. "Ada satu yang belum aku kasih tahu sama kamu, Vic."
"Apa?" Tanya Victor.
"Aku... gak bisa punya anak," ucap Seruni dengan berat hati. Ia merasa sudah bertindak egois karena baru mengatakannya sekarang. Seruni berpikir Victor pasti sama seperti pria lain, yang menginginkan seorang anak. Apalagi ia seorang penerus perusahaan.
"Aku tidak peduli itu, Seruni. Aku mencintai kamu, bagaimana pun kamu."
Kata-kata Victor membuat bahagia menelusup di hati Seruni. "Kenapa kamu bisa nerima aku yang kayak gini?"
Victor tersenyum hangat saat Seruni menatapnya dengan tatapan bersalah. "Aku sudah kehilanganmu selama dua belas tahun. Apa kamu pikir aku akan rela kehilanganmu lagi karena alasan itu?"
Tanpa Seruni ketahui, Victor sudah menyembunyikan sebuah kenyataan pahit. Ego Victor untuk bisa kembali bersama cintanya yang belum usai membuatnya mengabaikan kenyataan itu. Kenyataan yang suatu hari akan menyakiti Seruni lebih dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Lahirnya Laura Ruby Hartono
"Jadi kau membatalkankan perceraian dengan Marsha?"
"Untuk sementara akan seperti itu, Ayah." Lirih Victor.
"Lalu bagaimana dengan wanita miskin itu?"
"Seruni akan tetap menjadi istriku." Tegasnya. "Dia sedang mengandung putriku."
"Putri?"
"Iya, kami sudah mengetahui jenis kelaminnya. Perempuan, Ayah." Ujar Victor bahagia.
Namun Emran malah berdecak kesal. "Jangan harap Ayah akan menerima wanita miskin itu! Apalagi anaknya. Ayah tidak sudi."
"Ayah harus menerimanya. Dia calon anak dan istriku, Ayah."
"Kenapa kau menjani kehidupan seperti ini, Victor?! Ayah berusaha keras membesarkanmu dengan baik! Nyatanya Ayah sudah gagal. Seharusnya perhatianmu bisa kau fokuskan pada perusahaan. Tapi kau malah sibuk dengan dua istri di sisimu! Benar-benar memalukan."
Kedua tangan Victor mengepal kuat. "Semua ini tidak akan terjadi jika Ayah tidak memisahkan aku dan Seruni sejak awal. Jika saja Ayah merestui, aku hanya akan memiliki satu istri yaitu Seruni. Semua ini berawal dari kesalahan Ayah sendiri!"
"Kenapa Ayah yang justru kau salahkan sekarang?! Ku lupa, kau yang terjebak dengan permainan Marsha. Itu salahmu sendiri! Semakin dewasa kau bukannya membuat Ayah bangga, malah membuat Ayah semakin pusing! Bagaimana bisa Ayah akan menyerahkan seluruh Hartono Group padamu?!"
"Jika Ayah begitu keberatan, serahkan saja perusahaan Ayah ini pada managemen profesional. Pemegang saham utama lain, yang jauh lebih kompeten akan dengan senang hati menerimanya. Aku tidak keberatan kehilangan semua itu." Angkuh Victor.
"Victor!"
"Aku pamit."
Victor pun pergi dari ruangan sang ayah dengan marah. Semua yang terjadi dalam hidupnya memang sedikit banyak adalah kesalahan sang ayah. Jika saja ia tak dipisahkan dengan Seruni, semua ini tidak akan terjadi. Jika saja ia tak terjebak dengan Marsha, maka hidupnya tidak akan sekacau ini.
Entahlah, Victor sendiri begitu marah, kenapa takdir harus selalu begitu tak berpihak padanya.
***
Hari pun berlalu, berganti bulan, hingga sudah waktunya Seruni melahirkan. Hari itu Seruni merasakan mulas yang amat sangat. Setelah berjuang keras, akhirnya ia melahirkan seorang putri kecil yang cantik. Berambut tebal, kulitnya kemerahan, dan tentu saja sehat juga sempurna.
"Lihat, dia mirip Papanya." Ujar Seruni bahagia, ia menatap ke arah Victor yang duduk di sampingnya. "Lesung pipinya sama banget sama kamu."
"Tapi wajahnya pasti akan secantik kamu, Babe." Ujar Victor tak kalah bahagia.
Bahagia di wajah Seruni berkurang, senyumnya memudar. "Kamu harusnya pergi, Vic. Jason pasti nunggu kamu."
Victor pun berubah sendu. "Tapi kamu belum pulih."
"Yang penting aku udah selamat, Sayang. Jason sampai datang ke Indonesia karena berbulan-bulan kamu gak pulang ke Inggris. Dia pasti pengen banget ketemu kamu." Bujuk Seruni.
Victor berpikir sesaat. Lalu ia menghela nafas. "Seandainya ia mau bertemu denganmu."
"Jason pasti masih susah nerima aku, Vic. Gak apa-apa, gak usah dipaksain."
"Semua gara-gara Marsha. Ia terus membuat Jason membencimu."
"Ini bukan kesalahan Marsha juga. Keadaannya memang seperti ini, mau bagaimana lagi." Seruni mencoba menerima keadaan.
"Aku lelah terus berada di kondisi ini." Keluh Victor.
"Udah ah, jangan ngeluh terus. Aku gak apa-apa, kok."
"Gak apa-apa apanya? Kamu selalu mendapatkan perlakuan yang buruk dari Marsha. Padahal kalian sudah aku usahakan agar tidak bertemu. Tapi setiap kali bertemu, dia selalu membuat suasana menjadi tidak nyaman. Sedangkan jika aku mengungkit perceraian, Marsha selalu menjadikan Jason sebagai tameng. Bahkan Jason berada di pihaknya sepenuhnya sekarang. Bagaimana bisa sekarang Jason lebih percaya pada Marsha dibandingkan aku yang merawatnya sejak bayi."
"Namanya juga anak, Vic. Mau gimana pun ibunya, dia pasti sayang dan akan melindungi. Kamu pelan-pelan aja, jangan terlalu maksain. Nanti Jason malah makin gak terima."
"Baiklah aku akan menemuinya dan mencoba membuatnya mengerti." Lalu Victor menggendong putri kecil yang sejak tadi ada di pangkuan Seruni. "Sebelum aku pergi, aku ingin memberikannya nama."
"Namanya siapa?" Tanya Seruni penasaran.
Victor menatap sang istri dengan bahagia. "Namanya... Laura."
"Laura?" Ulang Seruni, "cantik banget namanya, Vic."
"Kamu suka?"
"Iya, namanya bagus. Tapi boleh gak aku tambahin namanya?"
"Tentu saja boleh. Kau ingin menambahkan nama apa?"
Seruni tersenyum, "aku pengen nambahin nama Ruby."
"Ruby? Kenapa Ruby?"
"Karena gak tahu kenapa, aku sering kepikiran nama itu selama hamil. Kayaknya bagus aja dikasih nama Ruby."
"Kenapa kamu tak pernah bilang? Kita bisa memberikan nama Ruby padanya."
Seruni menggeleng, "nama seorang anak itu harus dikasih sama ayahnya."
"Baiklah kalau begitu," Victor menatap wajah kecil itu. "Anak Papa, nama kamu adalah Laura Ruby Hartono."
Tiba-tiba datang dari pintu ruang rawat yang memang tidak tertutup, dua orang yang juga bahagia karena kelahiran Laura ke dunia ini. "Ya ampun, mesra banget ini yang baru punya baby."
Sontak Seruni dan Victor menoleh dan melihat Shelly dan Rifat datang membawa sebuah kotak yang cukup besar yang dilapisi kertas kado dan juga pita berwarna merah muda.
"Ya ampun, Shel, Pak Rifat." Sapa Seruni.
"Selamat ya, Ser. Gue seneng banget ngelihat kalian kayak gini." Ucap Shelly sungguh-sungguh. Bahkan ia menitikkan air mata.
"Ya ampun, apaan sih, Shel. Kok kamu sampai nangis gitu?" Seruni pun mengulurkan tangannya dan meminta Shelly memeluknya.
"Gue gak nyangka aja seudah kehidupan lo selama ini, gue ngerasa terharu aja bisa lihat lo lahiran dengan lancar, ada Victor di samping lo. Gue gak tahu kenapa rasanya..."
Entahlah, Shelly merasa begitu emosional. Ia juga merasakan sesuatu yang aneh. Ia sendiri tak mengerti, apakah ini perasaan terharu atau justru sedih.
"Maaf ya karena Shelly agak sedikit emosional, sebenernya kita mau pamit juga, Seruni, Pak Victor." Terang RIfat.
"Pamit?" Seruni nampak terkejut.
"Apa anda sudah memutuskan untuk mengambil tawaran itu?" Tanya Victor yang paham dengan apa yang Rifat jelaskan.
"Iya, Pak. Ini kesempatan yang bagus. Juga istri saya setuju untuk resign dari pekerjaannya dan pindah ke sana."
"Ini ada apa sih?" Tanya Seruni tak paham. Sejak usia kehamilannya menginjak bulan ke enam, Seruni memang tidak diperkenankan lagi bekerja oleh Victor. Jadi perkembangan di hotel tidak terlalu banyak yang diketahuinya.
"Tanya sama suami lo, tuh." Timpal Shelly masih sesenggukan karena Seruni sempat menatapnya penuh tanya.
Victor pun menjawab, "aku meminta Rifat menjadi general menager untuk The Luxury Hart Hotel yang ada di Bangkok. Kebetulan minggu lalu general manager di sana terkena kasus, jadi aku menawarkan kesempatan ini pada Pak Rifat."
"Serius?" Seruni begitu terkejut. "Selamat ya Pak Rifat. Tapi kalian jadinya pindah ke Bangkok kalau gitu?" Seruni berubah sedih. Itu tandanya ia tak akan bertemu dengan Shelly dalam waktu yang lama.
"Iya, Ser." Mereka pun kembali berpelukan. "Lo harus janji sekarang lo harus bisa kuat, jangan mau kalah sama si Marsha. Jangan terus berkorban perasaan, inget lo udah punya anak. Perjuangkan anak lo ini."
"Iya, Shel." Seruni pun ikut menangis haru. Ia sedih sekali karena selama ini hanya Shelly yang menjadi teman baginya. Jika Shelly tidak ada, maka Seruni hanya akan sendiri saat Victor harus berada bersama dengan Marsha.
"Dan lo," Shelly melepas pelukannya lalu menatap tajam pada Victor. "Jagain Seruni dan anak lo baik-baik. Prioritaskan dia lebih dari Marsha. Lo harus bisa bikin Marsha ngerti sama posisi Seruni yang lagi butuh banget kehadiran lo di sampingnya. Please, jagain Seruni dari Marsha. Janji sama gue, Vic."
"Iya, Shel. Aku janji, kamu tak perlu khawatir. Aku akan selalu menjaganya." Tekad Victor.
Walaupun Victor sudah seyakin itu, tapi entah mengapa Shelly merasa tidak tenang. Seakan sesuatu yang buruk akan terjadi pada keduanya.