NovelToon NovelToon
Maaf Yang Terlambat

Maaf Yang Terlambat

Status: tamat
Genre:Tamat / Konflik etika / Anak Kembar / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Rianti Marena

Konon tak ada ibu yang tega 'membuang' anaknya. Tapi untuk wanita seperti Ida, itu sah-sah saja.
Lalu tidak ada yang salah dengan jadi anak adopsi. Hanya, menjadi salah bagi orang tua angkat ketika menyembunyikan kenyataan itu. Masalah merumit ketika anak yang diadopsi tahu rahasia adopsinya dan sulit memaafkan ibu yang telah membuang dan menolaknya. Ketika maaf adalah sesuatu yang hilang dan terlambat didapatkan, yang tersisa hanyalah penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rianti Marena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tersambung

Gradasi jingga kemerahan di ufuk barat menambah kesan megah kamar hotel tempat Ida menginap. Jendelanya yang menghadap barat daya mampu menyajikan keindahan sang penguasa hari yang kembali ke peraduannya. Namun keindahan sajian semesta itu tak mampu dirasakan oleh Ida.

Ida suntuk. Kesal bukan main. Kalau petugas layanan kamar atau pembersih datang, mungkin mereka mengira ada badai internal di kamar yang dihuni Ida. Gelas kaca yang semalam dipecahkan Ida masih terserak. Serpihannya menyebar tak tentu arah di lantai berlapis karpet. Setidaknya teko listriknya yang berbahan dasar sama masih utuh, hanya sedikit bergeser dari tempatnya semula.

Selimut dan bantal Ida juga melantai karena dilempar Ida. Jangan tanya rupa kasurnya. Ahh, setengah kondisi kapal pecah pokoknya. Setidaknya tirai, lukisan dinding, dan beberapa benda hotel masih selamat dari amukan ngawur Ida. Kalau sampai semua itu tak luput dari luapan kemarahannya, entah berapa nanti pihak hotel mengenakan biaya penggantian kepada Ida.

"Huh! Dasar pembohong! Jelas-jelas Mas Yunus masih hidup. Masih saja dia bersikeras adiknya itu sudah meninggal. Lantas, kenapa juga suamiku malah mengurus anak orang lain, yah walaupun itu anak kakaknya. Anak sendiri dia kemanakan? Aneh!" Ida bergumam kesal. Amarahnya telah reda, tidak seperti sebelumnya. Kini ia yang agak lebih tenang duduk di sudut tempat tidur.

Dering panggilan masuk terdengar dari ponselnya. Mata Ida melirik dengan galak. Meski enggan, diraihnya ponsel itu.

"Hm? Telepon dari siapa lagi, ini? Nggak ada namanya." Penasaran, diterimanya panggilan itu. "Halo?"

[....]

"Iya, saya Ida. Dengan siapa saya bicara?"

[....]

"Hah? Siapa?" tanya Ida kaget. Berdiri.

[....]

"Yunus?" Ida syok. Suara itu mengingatkan Ida pada Yunus yang dikenalnya. Suaminya. Tapi mana mungkin orang yang sudah meninggal bisa bersuara lagi bahkan menelponnya. Dijauhkannya telepon genggam dari telinganya sambil kebingungan menatap layar. Panggilan masih berlangsung.

"Nggak mungkin.... Nggak mungkin itu Mas Yunus."

Ida mendekatkan kembali ponselnya ke telinga. "Jangan main-main, ya! Saya tidak suka. Jawab, Anda ini siapa? Maksud saya, nama Anda siapa?"

[...]

"Yunus siapa? Yunus..., M-mas Yunus?" tanya Ida lagi penuh harapan. Disaat yang sama ia pun diliputi kekhawatiran, ketakutan. Apa yang akan terjadi jika Yunus yang meneleponnya adalah Yunus suaminya dulu, pikir Ida kalut.

Di ujung panggilan orang yang meneleponnya masih berbicara. Tapi telinga Ida mendadak tak mampu mengenali kata-kata. Dada Ida sesak. Debaran jantungnya terlalu cepat. Tiba-tiba semuanya buyar. Tumitnya terasa seperti butiran telur, tidak bisa rata menjejak bumi. Tubuh Ida oleng. Semua berputar. Lalu gelap. Hening.

...*...

Yones menyeruput teh lemon panas dari cangkirnya. Sore itu ia menemani ayahnya bersantai sejenak menikmati sore. Yunus baru saja menelepon Ibu Ida dengan nomor pribadinya.

"Gimana, Yah? Apa katanya?"

"Teleponnya tersambung. Tapi dia tidak merespon. Berhubung dia diam saja, ya, sudah, ayah matikan telepon," jelas Yunus.

"Kok aneh, ditelepon bukannya dijawab. Nggak sopan banget," komentar Yones. Ia pun jadi teringat pada peristiwa di panti. Insiden kecil yang tidak ia sengaja itu saja bisa membuat perempuan itu mengumpat dan mengomel seenaknya.

"Sinyal di tempat Beliau kurang bagus, mungkin, Nak," kata Yunus. Ia memilih untuk berpikiran positif.

"Ahh, hari gini di Jogja mana ada susah sinyal jam-jam begini? Emang karakter Bu Ida aja yang nggak oke kali, Yah. Dia bukan tipe orang yang menyenangkan," Yones mengutarakan pendapatnya.

"Yones, jangan gitu lah! Ayah nggak pernah lo, ngajari kamu membicarakan keburukan orang lain."

"Bukan berniat jelek-jelekin Bu Ida, Ayah. Tapi emang faktanya karakter Beliau jelek begitu. Mau diapain, coba?"

"Yoneees," tegur Yunus lagi.

"Iya, deh, maaf, Yah. Terus, rencana Ayah gimana?"

Yunus duduk menyandarkan diri. "Emm, nanti atau besok akan Ayah coba menghubungi dia lagi. Saat ini cuma dia satu-satunya harapan Ayah."

"Kalau memang Bu Ida seperti yang dibilang Om Dion, tahu soal masa lalu Ayah, mungkin Beliau juga bisa membantu Ayah menemukan keluarga Ayah. Termasuk anak perempuan Ayah. Tenang aja, Yah, aku pasti membantu sekuat tenaga."

Yunus tersenyum melihat anaknya. "Kamu nggak kenapa-kenapa kalau nanti Ayah menemukan putri Ayah? Nggak pakai acara ngambek dan cemburu, 'kan?"

Anak laki-laki Yunus tersenyum jahil.

"Emang aku harus ngambek dan cemburu sama anak kandung Ayah?" goda Yones. Ia dan ayahnya lalu tertawa.

Untung saja malam ketika Yones merasa tidak nyaman dengan kemungkinan 'ditelantarkan' oleh Yunus karena ada putri kandung langsung ia bicarakan dengan serius bersama Yunus. Malam itu pula Yunus menegaskan bahwa Yones sangat berarti baginya. Keberadaan Yones tidak tergantikan dalam kehidupan Yunus. Maka setelah pembicaraan itu, Yones memantapkan hati untuk membantu Ayah angkatnya sebagaimana seorang anak berbakti dan peduli kepada orang tuanya. Mereka berdua saat ini sudah sampai pada fase saling memiliki dan melindungi. Status kandung dan angkat sudah bukan lagi masalah.

"Ayah tenang aja. Seperti janji Yones kemarin, kalau Ayah bahagia, Yones ikut bahagia. Tapi Ayah juga harus siap dengan segala kemungkinan."

"Iya, Ayah ngerti. Kamu pengen bilang Ayah harus siap mental menerima kondisi kalau-kalau keluarga Ayah tidak mau menerima Ayah kembali. Atau istri Ayah sudah menikah lagi dan punya keluarga sendiri. Atau begini, atau begitu, dan atau-atau yang lain. Begitu, 'kan? Kamu tenang saja. Ayahmu ini mentalnya sudah teruji klinis!"

Yones dan ayahnya terbahak-bahak.

"Oh iya, Ayah jadi ingat. Tadi, ayah ketemu lagi sama anak perempuan yang jadi relawan di panti asuhan tempo hari. Itu, lho, anak perempuan yang ikut masak di dapur panti yang kata Om Dion mamanya bawain kompor induksi besar ke panti. Tadi dia ikut tur studi dari sekolahnya. Ketemu lah kami di galangan."

"Oh ya? Terus? Dia ingat sama Ayah?"

"Ingat! Malah dia duluan yang menegur dan mengingatkan Ayah. Ternyata dia itu lucu banget. Terus dia cerita, dia fobia api. Dia nggak bisa lihat percikan api langsung."

"Hah? Fobia api? Emang ada ya, orang yang betulan takut sama api? Oo, pantas aja mamanya bela-belain dia bawa kompor induksi sendiri ke panti. Ternyata itu alasannya? Lho, Yah, di galangan kapal bukannya banyak teknisi yang pakai mesin las. Ada percikan apinya, 'kan? Terus dia gimana?"

"Dia bawa senjata: kacamata hitam. Selama diajak keliling, dia pakai terus kacamata hitamnya. Dia juga wajib didampingi gurunya. Hasilnya ya, dia baik-baik saja. Ayah senang ngobrol sama dia. Nyambung. Anak perempuan kok suka banget sama kapal? Pintar lho, dia. Malah dia lebih paham dan tahu detailnya dibanding anak-anak magang."

Yones terheran-heran mendengar cerita ayahnya. "Wah, nyambung banget sama Ayah, tuh. Lha ngomongin kapal. Ketemu makhluk satu frekuensi dong, Yah?"

"Iya. Makanya, Ayah jadi ikut semangat lihat dia. Kamu tahu dia cita-citanya apa? Dia pengin bikin kapal sendiri."

Yones tertawa. "Anak cewek, fobia api lagi, mau bikin kapal sendiri? Wahhh, nekad, tuh, Yah! Tapi, seru juga. Semoga ada kesempatan lagi aku ketemu sama dia. Kayaknya anaknya bisa jadi teman ngobrol yang asyik, tuh! Aku jadiin adik boleh nggak, Yah?"

...*...

1
Sabina Pristisari
yang bikin penasaran datang juga....
Rianti Marena: ya ampun.. makasih lo, udah ngikutin..
total 1 replies
Sabina Pristisari
Bagus... dibalik dinamika cerita yang alurnya maju mundur, kita juga bisa belajar nilai moral dari cerita nya.
Sabina Pristisari: sama-sama... terus menulis cerita yang dapat menjadi tuntunan tidak hanya hiburan ya kak...
Rianti Marena: makasih yaa..
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!