"Zivanna aku menikahimu karena ingin balas dendam kepada ibu mu. Bukan karena aku mencintaimu," Devan mencengkeram kuat dagu gadis itu, lalu dihempaskan kelantai kamar dengan kasar.
"Aa--aa--apa! Bukanya selama ini kakak mencintai ku?" tanya Zizi tergagap di sertai air matanya.
"Cih, cinta kata mu! Aku tidak pernah mencintaimu. Selama ini aku melakukannya agar bisa menjalankan misi balas dendam ku. Apa kamu sudah mengerti sekarang,"
Namun, ketika dia hamil mampukah Zizi mempertahankan anaknya? Sementara dia harus berjuang untuk hidupnya sendiri. Sedangkan Devan sudah mengancamnya. Apabila dia hamil, maka anak itu akan lelaki itu lenyap kan. Kira-kira Zizi akan tetap tinggal di rumah mewah Devan atau mengugurkan kandungan nya? Atau dia memilih pergi bersama bayi dan penyakit yang di deritanya?
Penasaran sama ceritanya? Yuk langsung ke bab selanjutnya.🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zaenab Usman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku bukan wanita bayaran.
🌷🌷🌷🌷🌷
.
.
"Nanti aku akan kesini lagi untuk mengantarkan uang bayaran buat pelayanan, mu." ucap Devan sebelum meninggalkan kamar itu.
Setelah kepargian Devan dari kamarnya. Zizi kembali menangis merasakan sakit pada pangkal pahanya akibat perbuatan Devan, dan juga sakit hati telah di lecehkan oleh suaminya sendiri. Belum lagi ancaman Devan yang melarang dia hamil. Entah bagaimana pikiran lelaki itu selalu menikmati tubuh Zizi tapi dia membencinya.
"Hick...Hick...! Aku bukan wanita bayaran. Tapi kenapa kamu memperlakukan aku seperti ini. Jika kamu memintanya secara baik-baik aku akan memberikan hak, mu. Namun, bukan seperti ini caranya." ratap gadis itu sambil mengambil pakaiannya yang berhamparan di atas lantai dalam keadaan tidak berbentuk.
Lalu dia pun terpaksa harus masuk ke kamar mandi guna membersihkan dirinya. Bukan karena dia mengikuti perintah Devan. Tapi memang dari tadi pagi dia belum mandi, di tambah lagi dengan beraktivitas seharian. Jadi sudah jelas tubuhnya semakin lengket oleh keringat.
Di bawah guyuran air shower. Zizi menumpahkan semua kesedihannya. Berharap setelah itu dia bisa melupakan kejadian yang baru saja di alaminya. Bagaimana mungkin Devan menyamakan dia seperti wanita penghibur.
Tapi yang jelas sedikit banyaknya pasti bersangkutan dengan Fiona. Tadi Devan mengatakan jika Fiona sudah bilang semuanya. Padahal Zizi tidak ada melakukan kesalahan apapun. Jadi entah apa yang Fiona sampaikan.
Lain Zizi maka lain pula yang Devan rasakan. Lelaki itu tertawa sendiri karena merasa dia sudah membalaskan sakit hati yang di rasakan oleh mendiang ibunya dulu.
"Ibu... Apa sekarang ibu sudah puas melihat aku berhasil menyakiti putri dari wanita yang sudah merebut ayah. Akan ku buat wanita itu gila setelah aku puas bermain-main dengan nya, Bu." kata Devan berbicara pada poto ibunya.
Padahal di dalam hatinya sendiri tidak yakin akan ucapannya yang akan membuat istrinya gila. Apa lagi setelah dia mengingat ucapan Zizi yang mengatakan jika tubuhnya hanya untuk suaminya. Bahkan dengan berani Zizi menampar pipinya karena dia sudah menuduh gadis itu menjual tubuhnya.
"Brengsek, dasar wanita *** ***! Berani sekali dia menampar, ku. Aku ingin tahu sampai kapan kamu bisa bertahan. Mari kita mulai permainannya gadis kecil." Devan tersenyum penuh arti. Entah apa yang dia rencanakan untuk kembali menyakiti istrinya.
Setelah jam dua belas malam Devan benar-benar menepati janjinya yang akan kembali ke kamar Zizi untuk mengantarkan bayaran buat gadis itu.
Ceklek...
Devan membuka pintu dengan kunci serep yang ada padanya. Begitu pintunya terbuka dia melihat Zizi sedang duduk, tapi kepalanya di letakan di antara kedua lutut nya sendiri. Terdengar juga isak tangis gadis itu walaupun tidak terlalu jelas. Padahal Devan tadi mengira kalau istrinya sudah tidur.
"Ini, kamu simpan kartu nya. Tapi kamu hanya boleh memakai uang nya apabila sudah melayani aku seperti malam ini, Dan tarip mu, aku bayar sepuluh kali lipat. Aku rasa jika kamu tidak serakah akan uang. Maka uang itu akan cukup untuk membayar biaya kuliah, mu." ucap Devan melemparkan kartu black card di samping Zizi.
Jangankan untuk mengambil kartu itu. Menoleh saja Zizi tidak mau. Meskipun, dia membutuhkan uang untuk biaya kuliahnya. Namun, gadis itu bertekad tidak akan menerima sepeser pun uang yang Devan berikan. Walaupun itu adalah haknya karena sudah melayani suaminya sendiri.
Melihat Zizi tidak mengambil kartu yang dia lempar. Devan memutar tubuhnya dan ingin keluar dari sana. Dia pikir gadis itu hanya sedang jual mahal.
"Anda bawa saja kartu ini Tuan Devan. Saya tidak membutuhkan sepeserpun uang dari Anda. Jika Anda menginginkan pelayanan maka datang saja ke kamar saya. Seorang *** *** seperti saya memang pantas di perlukan seperti ini."
Deg....
Mendengar ucapan Zizi dadanya seperti di hantam batu besar. Namun, tidak bisa di lihat oleh mata.
"Saya rasa Anda tidak mendapatkan kepuasan bukan, dari kekasih Anda yang bermuka dua itu. Makanya masih memaksa pembantu seperti saya untuk menyalurkan hasrat Anda." melihat Devan berhenti di tempatnya membuat Zizi kembali menyampaikan apa yang dia ketahui tentang kekasih suaminya itu.
"Jaga ucapan, mu! Kalau tidak, aku akan berbuat kasar pada mu Zivanna Lois." sergah Devan tidak suka Zizi membawa nama Fiona. Apalagi mengatakan kalau sahabatnya itu bermuka dua.
"Ayo lakukan! Dia memang bermuka dua. Jika dia gadis baik-baik maka dia tidak akan mau tinggal di rumah lelaki yang sudah beristri dan memfitnah saya yang bukan-buk---"
Plaaak....
"Aku sudah bilang bukan, jangan pernah membawa Fiona dalam masalah kita. Tapi nyali mu sangat besar rupanya," setelah menampar Zizi cukup keras. Devan mendorong tubuh itu dengan kasar walaupun di atas ranjang. Tapi tetap saja Zizi merasakan sakit berkali-kali lipat.
Baru setelah itu dia pergi dari sana dengan membanting pintunya. Malam ini Devan benar-benar di buat kesal oleh keberanian Zizi yang tiba-tiba selalu membantah ucapannya.
"Agkk!" Devan membanting barang apa saja yang ada di atas meja kerjanya. Ya, setelah menampar istrinya. Devan langsung menuju ke ruang kerja agar bisa menyibukan dirinya. Namun, bukan nya bisa bekerja tapi yang ada dia semakin kacau.
"Brengsek!"
Praaaank...
Pot bunga kaca yang ada di ruangan itu juga menjadi pelampiasan Devan. Tapi tetap saja rasa kesal, benci dan bersalah nya tidak hilang.
"Ayolah Devan ada apa dengan dirimu?" ucap Devan pada dirinya sendiri. Seharusnya dia senang setelah membalas dendam pada gadis yang dia anggap bersalah, karena gadis itu putri dari Ibu Ellena.
Dalam ruangan yang kacau Devan merebahkan tubuhnya di atas sofa sambil memijit pelipis nya yang terasa sakit. Sehingga Devan tidak sadar sudah tidur disana sampai pagi. Hal yang tidak pernah dia lakukan semenjak kecil.
Terkena sinar mentari pagi yang masuk lewat celah jendela. Lelaki itu mengerjabkan matanya. Lalu dia bangun dengan pelan dan melihat ruangan kerjanya sudah seperti kapal pecah. Namun, lelaki itu tidak ambil pusing dia pergi dari sana terburu-buru untuk segera membersihkan tubuhnya.
Setelah selesai bersiap-siap dia pergi menuju kamar wanita yang tadi malam dia siksa lahir maupun batin nya. Tapi begitu ingin membuka pintunya Devan malah mengurungkan niatnya dan menyandarkan tubuhnya pada dinding dengan satu tangan di masukan kedalam saku celananya.
"Apa yang akan aku katakan?" tanya nya bingung sendiri.
"Tuan muda!" sapa Bibi Marta dengan sopan. Meskipun dia ingin bertanya mengapa Tuan nya diam pada tembok seperti orang banyak pikiran namun dia tidak berani untuk bertanya.
"Bibi Marta. Bibi mau kemana?" ucap Devan sudah berdiri seperti biasa dan menanyakan perempuan baya itu yang kebetulan lewat di depan kamar Zizi.
"Maafkan saya sudah membuat Anda kaget, Tuan. Saya mau melihat pelayan yang sedang membersihkan ruangan di ujung sana." jawab wanita itu menunjuk ruang tempat Devan memainkan musik apabila memiliki waktu senggang.
"Hm, bisa tolong Bibi panggilkan gadis itu. Suruh dia keluar." kata Devan tidak mau menyebutkan nama Zizi.
Bibi Marta yang tau jika gadis dimaksud adalah Nona muda nya, hanya diam saja. Untuk menunggu Tuan mudanya selesai bicara dulu.
"Kenapa, Bi?" seru Devan melihat Bibi Marta hanya diam saja.
"Maaf, Tuan. Jika gadis yang tuan maksud adalah Nona Zizi. Dia sudah pergi dari setengah jam lalu." jawab Bibi Marta sedikit tersenyum karena dia tau jika Tuan muda nya sempat terkejut mendengar jawabannya.
"Jam---' Eh, tidak maksud ku, apakah dia sudah menyelesaikan pekerjaannya di rumah ini? Kenapa dia pergi sepagi ini?" tanya Devan bingung ingin bertanya apa lagi, alhasil pertanyaan itu yang dia tanyakan.
"Nona sudah menyelesaikan semua pekerjaan nya jauh sebelum pelayan di sini bangun, tuan. Dia berangkat pagi-pagi karena ingin menumpang ojek yang mengantar pekerja di wilayah kompleks." terang Bibi Marta apa adanya. Tidak ada yang perempuan itu sembunyikan.
"Aa--apakah dia tidak sarapan dulu?" ragu-ragu Devan tetap bertanya.
"Tidak, tuan. Bila saya tidak memaksa agar membawa bekal yang saya buat. Nona tidak pernah makan di rumah ini lagi, semenjak dia di rawat sebelum tuan pergi waktu itu." wanita itu mengucapkan nya dengan sendu.
"Kenapa dia tidak pernah makan di rumah ini lagi?"
"Entahlah, Tuan. Nona hanya mengatakan tidak ingin makan, makanan bila makanan itu bukan hak nya." Bibi Marta kembali menyampaikan apa alasan Zizi tidak pernah mau makan di rumah mewah itu lagi.
Deg.....