" Tapi sekarang kamu jauh dari abang. Siapa yang melindungimu kalo dia kembali merundung? " Arya menghela napas berat. Hatinya diliputi kebimbangan.
" Kalo dia berani main tangan pasti Diza balas, bang! " desis Diza sambil memperhatikan ke satu titik.
" Apa yang dia katakan padamu? " Arya menyugar rambut. Begitu khawatir pada keselamatan adiknya di sana. Diza menghela napas panjang.
" Mengatakan Diza ngga punya orang tua! Dan hidup menumpang pada kakeknya! " ujarnya datar.
" Kamu baik-baik saja? " Arya semakin cemas.
" Itu fakta 'kan, bang? Jadi Diza tak bisa marah! " pungkasnya yang membuat Arya terdiam.
Perjuangan seorang kakak lelaki yang begitu melindungi sang adik dari kejamnya dunia. Bersama berusaha merubah garis hidup tanpa menerabas prinsip kehidupan yang mereka genggam.
Walau luka dan lelah menghalangi jiwa-jiwa bersemangat itu untuk tetap bertahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon isha iyarz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
" Hari ini kakak mungkin pulang terlambat. Di kantor sedang lembur menyelesaikan laporan. Jangan pada ngeluyur ngga jelas! " Bulan menoleh adiknya yang hanya nyengir diujung meja. Tatiana pura-pura tidak menyadari lirikan Bulan kearahnya dan Mentari.
" Diza dan Zeta hari ini masak, ya? " Bulan menoleh kedua gadis yang sedang menikmati roti di depannya.
" Iya, kak! Mentari udah belanja kemarin. Diza bisa eksekusi untuk malam nanti " jawab Zeta. Bulan mengernyit.
" Tari belanja lagi? Kakak bilang kan gantian biar Diza dan Zeta sesekali ke pasar " Bulan menatap adiknya gemas.
Keempat gadis itu hanya saling melempar pandang sambil mengulum senyum.
" Zeta ngga suka ke pasar, kak! Jadi aku sama Tatiana sekalian aja. Kebetulan kami memang lagi cari barang, ya, Ta? " Mentari menepuk gadis yang menunduk sejak tadi. Tatiana mengangguk sambil tersenyum lebar.
" Iya, kak! " sahutnya kemudian. Bulan hanya menghela napas panjang. Dia tahu adiknya dan Tatiana sering keluyuran setiap pulang kuliah. Mereka memburu barang yang mereka inginkan dengan mengunjungi toko, butik atau mall lebih dari tiga kali dalam seminggu.
" Hari ini tidak ada perjalanan dinas. Pulang kuliah harus ada di rumah! " Bulan menunjuk Mentari dan Tatiana bergantian menggunakan sendok. Wajah keduanya langsung berkerut.
Diza hanya tertawa kecil memperhatikan keduanya.
Bulan berangkat kerja setelah beberapa pesan istimewa yang dia berikan untuk adiknya juga Tatiana. " Gimana, Tar? Hari ini diskon, lho! " Tatiana menghembuskan napas panjang.
" Kita keluar aja sebelum jam berakhir. " Mentari menjentikkan jari.
" Bagaimana kak Bulan tau kalian sering ngelayap? Kita ngga bocorin, lho! " Diza menatap keduanya bergantian.
" Beberapa kali ketemu teman kak Bulan makanya dia jadi tau. Temennya juga pemburu diskonan, kok! " Mentari manyun.
" Barang yang kalian beli buat apa? Perasaan jarang dipake aku liat! " Zeta mengernyit heran.
" Dijual! " sahut Mentari dan Tatiana bersamaan. Lalu tergelak membuat meja makan itu mendadak riuh.
" Udah, ah! Yok, berangkat! " Tatiana membawa gelasnya ke wastafel. " Eh, mulai sekarang piring gelas kotor bekas pakai cuci sendiri, ya, gengs! Kita jadwal masak sama bebersih rumah aja! " gadis dengan kemeja lengan pendek itu menoleh teman-temannya yang masih duduk di meja makan.
" Setujulah! " Zeta menyahut. Diza dan Mentari mengacungkan jempol. Setelah bersiap mereka segera keluar rumah sambil menyeret motor dari garasi.
" Tumben ngga bawa motor, Ze? " Tatiana yang sudah duduk di belakang Mentari menegur.
" Aku mau nebeng Diza aja! " gadis yang membawa ransel itu tersenyum smirk. Diza menarik bibirnya miring. Dia tahu alasan utama Zeta mengintilinya.
" Kamu serius pindah prodi? " Mentari menoleh Diza yang berkendara di sebelahnya. Jalanan cukup lengang. Satu dua motor melintas cepat melewati mereka.
" Iya, nanti mau ketemu dekan. Udah ke Ketua Prodi kemarin. Bang Arya juga bilang ngga papa. Mumpung masih semester awal " sahut Diza.
" Semester akhir juga ngga papa 'kan? Ngga ada larangan karena wangsit tiba belakangan " sahut Zeta dibelakangnya.
" Ih, julid! " gerutu Diza. Lima belas menit mereka memasuki gerbang kampus. Mentari dan Tatiana melambaikan tangan. Kelas mereka berdekatan. Walau sekelas dengan Mentari, Zeta lebih sering gabung dengan teman-temannya di klub fotografi saat di kampus. Mereka hanya bersama saat di rumah.
" Kamu bawa motor aja ntar pulang. Aku mau pake grab " Diza mengulurkan kunci ke depan Zeta yang membuka helm dan menggantungkannya di cantolan motor.
" Jangan coba mengusirku! Ngga mempan. Bawa aku ke tempat yang mau kamu tuju atau ku laporin saat ini juga pada bang Arya! Pilihan ada di tanganmu! " Zeta menepuk pelan pundak gadis itu sebelum berlalu menuju kelasnya.
Meninggalkan Diza yang mengerucutkan bibir dengan wajah sebal. Setengah menyesal membuat gadis itu terlibat. Tapi dia lebih khawatir jika laporan itu tiba pada Arya. Mungkin lebih baik dia membawa serta Zeta. Setidaknya dia punya teman saat diperjalanan nanti.
*****
Suasana di meja makan cukup berisik. Mentari dan Tatiana terus mengoceh membahas keapesan mereka saat mengikuti bazar di sebuah komplek perkantoran tadi siang. Keduanya terlihat kesal.
" Ibu-ibu itu merebut baju yang udah aku pegang! Dia ngotot jadi miliknya karena udah megang duluan. Padahal aku yang narik lebih dulu! " wajah Mentari masih terlihat dongkol. Disambut omelan Tatiana membenarkan kejadian itu.
Zeta dan Diza tergelak melihat keributan yang keduanya ciptakan. " Eh, kak Bulan lembur sampe malam banget, ya? " Diza menoleh ke ruang tengah.
" Iya. Biasanya laporan tahunan gitu kakak nyaris semingguan leburnya " sahut Mentari.
" Ehm, Zeta kan mau menemui adik maminya di kota sebelah. Dia ngajakin aku. Jadi kami nanti subuh mau berangkat. " Diza mengatakan itu disela makannya.
Mentari dan Tatiana mendadak terdiam. Keduanya menatap Diza dengan pandangan tajam. " Kalian ngga ngajak-ngajak? Mentang-mentang ngga pernah diajak belanja bareng, gitu? Mau bales! " Tatiana melotot.
" Eh, ngga gitu juga kali, Ta! Emang kalian mau ikut? " Diza beranjak meraih gelas di dekat dispenser. Membawa air putih kembali ke mejanya.
" Kalo kita berangkat semua, apa kak Bulan ngga kerepotan sendiri di rumah? " lanjutnya saat di kursi.
" Ngga usah bikin calon korban disini. Kak Bulan udah terbiasa sendiri 'kali! " Mentari mengomel. Diza nyengir. Dia belum bisa memutuskan. Selain tempat yang belum dia ketahui medannya dia juga khawatir kepergian mereka bocor jika Segara kembali dan berniat menemuinya.
" Aku ke kamar dulu! " Zeta tersenyum. " Silakan berembuk lagi. Aku, sih, seneng aja kalo kalian semua pergi! " gadis dengan baby doll motif kitty itu tertawa sambil melambaikan tangan. Perlahan dia melangkah meninggalkan ruang makan.
Zeta menertawakan kegalauan Diza yang sedang dilema. Salah sendiri malah mengkambinghitamkan tantenya, seharusnya bilang saja bahwa Diza ingin menemui Tama. Zeta terkekeh sepanjang jalan menaiki tangga.
*****
Bus hitam berkelir merah di sepanjang bodi samping itu meluncur mulus membelah subuh yang dingin. Jalan sangat lengang. Hanya sesekali bus berpapasan dengan kendaraan lain di jalan raya.
Wajah Zeta begitu antusias memperhatikan jalanan. Walau masih gelap namun dia menikmati apa saja yang bisa ditangkap matanya. Gedung, rumah, taman, cahaya lampu menyinari sekitar yang menampilkan slide yang memanjakan mata.
Berbanding terbalik dengan wajah Diza yang tegang. Dia masih sedikit terbawa perasaan saat Mentari dan Tatiana memberinya ultimatum karena ditinggal. Bulan melarang Mentari ikut karena mereka ada acara keluarga di hari minggu.
Sedang Tatiana diharuskan ke kampus karena anak sastra mengadakan malam inisiasi sejak sabtu sore. " Ngga usah dipikirin, Diz! Ntar kalo aku beneran ke rumah tante Ima baru semua ikut! Aku, sih, ngga bohong! " Zeta terkekeh. Diza menolehnya dengan seringai.
" Eh, Diz emang kamu tau alamat bang Tama? " Zeta tiba-tiba teringat hal penting itu.
" Baru nyadar kita ngga punya alamat? " Diza gantian menertawakan Zeta yang sedikit pias.
" Makanya aku bilang ini petualangan. Bukannya aku ngga mau bawa rombongan, aku aja ngga yakin bisa menemukan keberadaan bang Tama semudah yang dibayangkan. Juga bahaya yang kita tidak tahu seperti apa, Ze! " Diza menatapnya sambil mengulum bibir.
" Belum terlambat jika kamu mau kembali! Turun di halte pertama yang kita temui nanti. " Diza merapatkan jaket. Zeta menghela napas panjang.
Perlahan bias cahaya kuning menyeruak dibalik bukit. Menimpa pucuk-pucuk pohon pinus, kelapa, dan tumbuhan tinggi yang ada di sisi kanan jalan. Kedua gadis itu menatap takjub pemandangan yang baru mereka jumpai. Mengucap syukur, diberikan kesempatan menikmati perjalanan ini.
Bus berhenti di sebuah halte pinggir jalan. Beberapa penumpang bergegas naik. Diza dan Zeta saling berpandangan. Namun hingga kendaraan itu kembali bergerak, Zeta tidak terlihat beranjak. Diza menarik miring sudut bibirnya.
persepupuan compleks... 😒