Aku adalah Dara, aku pernah menjalin hubungan dengan Bastian semasa sekolah, tapi karena tidak direstui, akhirnya hubungan kami kandas.
Akhirnya aku menikah dengan seseorang laki-laki lain, Lima tahun kemudian aku bertemu dengan Bastian kembali, yang ternyata sudah menikah juga.
Pernikahanku yang mengalami KDRT dan tidak bahagia, membuatku dan Bastian menjalin hubungan terlarang setelah Lima Tahun.
Salahkah, aku Mendua ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Lima
Dua minggu telah berlalu, akhirnya Dara dan Rico di panggil ke pengadilan. Bapak Hakim masih memberikan solusi mediasi.
Ruangan sidang itu terasa penuh dengan ketegangan. Bising suara pengacara yang berdebat, suara kertas yang dibolak-balik, dan desahan napas para saksi mengisi udara. Dara, dengan baju berwarna biru tua yang sederhana, duduk di kursi sidang dengan tatapan tegas. Di sampingnya, pengacaranya, Budi, berusaha meyakinkan hakim untuk memihak pada mereka. Namun, ada satu hal yang tak bisa disangkal; Dara sudah siap dengan keputusan ini.
Hakim, seorang pria paruh baya dengan kacamata bulat, mengangguk-angguk mendengarkan argumen yang saling beradu antara kedua pengacara.
"Dara, kalian masih bisa melakukan mediasi," kata hakim itu, tatapannya lembut namun tegas. "Perceraian selalu menjadi jalan terakhir."
Dara menatap hakim dengan mata penuh harapan yang sudah memudar. Sudah satu tahun lebih dia berjuang untuk mempertahankan pernikahan ini, namun, hatinya kini tak lagi tergoyahkan.
"Saya mengerti, Pak Hakim" jawabnya, suara Dara tenang namun penuh perasaan. "Tapi ini bukan jalan terakhir bagi saya. Ini adalah langkah pertama untuk menemukan diri saya yang sebenarnya."
Suasana di ruang sidang itu seakan berhenti sejenak. Semua mata kini tertuju padanya, menunggu penjelasan lebih lanjut.
"Saya tidak ingin terjebak dalam hubungan yang tidak sehat. Saya merasa kehilangan diri sendiri," Dara melanjutkan, suaranya mulai bergetar. "Saya yakin perceraian adalah jalan terbaik."
Rico, mantan suaminya yang duduk di kursi seberang, wajahnya tampak suram. Ia menundukkan kepala, tidak bisa menatap Dara. Meskipun begitu, ada getaran emosi di sana – entah itu penyesalan atau harapan, Dara tak bisa menentukan.
Dara telah meminta agar pria itu tak datang pada saat mediasi hari ini, tapi dia ternyata datang juga. Entah apa yang ada dalam pikiran pria itu sebenarnya.
"Dara," seru Budi setelah merasakan keheningan yang menggantung. "Kamu sudah memikirkan ini dengan matang? Kita bisa coba mediasi terakhir, mungkin ada solusi yang bisa ...."
"Pak, saya sudah memikirkan ini selama berbulan-bulan," potong Dara, tegas. "Saya berhak atas kebahagiaan saya sendiri. Dan kebahagiaan itu tidak bisa ditemukan dalam rumah tangga ini."
Hakim itu mengamati keduanya dengan serius, lalu berkata, "Apakah Anda sudah mencoba semua cara untuk menyelesaikan masalah ini? Apakah ada harapan untuk memperbaiki hubungan ini?"
Dara menggigit bibir, mengenang saat-saat indah yang kini terasa sangat jauh. Dari awal pernikahan pun kebahagiaan itu tak pernah dia cicipi. Dia rasa satu tahun sudah waktu yang cukup untuknya memberikan kesempatan pada pria itu.
"Pak Hakim," tuturnya kembali, "Tentu saja ada harapan, tapi harapan itu kian sangat tipis. Kami telah mencoba, dan saya sudah lelah berjuang untuk sesuatu yang tidak lagi ada."
Rico mendongak, tampak berjuang menghadapi emosi yang bergejolak. Dia tak ingin Pak Hakim melihat sifat temperamen nya. "Dara," ucapnya perlahan, "kita bisa memperbaiki semuanya. Kita bisa mulai dari awal."
Dara menatap pria yang pernah menjadi suaminya itu. Ada rasa sayang yang tersisa, tapi bukan lagi cinta. Hanya ada kenangan pahit dan rasa sakit yang berlapis. Persoalan yang tak terpecahkan.
"Mas Rico," suara Dara lirih, "Ada saat-saat di mana cinta itu terasa seperti beban. Aku tidak bisa kembali ke titik awal, karena aku sudah melalu banyak memberikan kesempatan padamu selama satu tahun ini. Kadang, melepaskan adalah cara terbaik untuk kita saling bahagia."
Dengan nada lembut, Rico menyahut, "Jadi, kamu sudah memutuskan? Kamu tak ingin mencobanya satu kali lagi?"
Rico masih berusaha mempertahankan pernikahan ini, entah apa maksud ucapannya. Saat tadi hakim mempertanyakan tentang tanda tangannya yang setuju bercerai dan telah mengucapkan talak, dengan penuh kepalsuan dia mengatakan semua itu karena terpaksa. Dia juga baru menjatuhkan talak satu, jadi semua masih bisa dibatalkan lagi.
Dara menundukkan kepala, matanya berkaca-kaca. "Aku sudah mengambil keputusan ini, Mas. Mungkin kau bisa memahaminya di lain waktu. Tapi saat ini, aku ingin kita berpisah dengan baik-baik."
Hakim memandang mereka berdua, lalu berkata, "Baiklah, jika keputusan ini sudah bulat, kita akan melanjutkan proses perceraian. Saya harap, komunikasi di antara kalian tetap terjaga, demi kebaikan bersama."
Setelah itu, sidang dilanjutkan dengan pembacaan dokumen-dokumen yang perlu ditandatangani. Saati itu, sesak di dada Dara semakin terasa. Dia mengalihkan pandangan ke jendela, melihat hujan mulai turun, seakan alam merasakan duka hatinya.
Bukan sedih karena akan berpisah, tapi sedih tak bisa memberikan ayah terbaik bagi putrinya Chantika.
Ketika sidang berakhir dan semua orang mulai berdiri, Dara merasakan sebaliknya. Dia ingin menangis, ingin melampiaskan semua emosi yang terpendam. Namun, dia harus tetap tegar. Mungkin tangis bahagia.
"Jadi, ini benar-benar terjadi," bisiknya saat berdiri di depan Dara. "Kamu egois Dara. Tak memikirkan tentang anak kita yang akan menjadi korban atas keegoisan kamu. Dia harus kehilangan kasih sayang dari orang tua yang utuh!"
"Lebih tak baik bagi pertumbuhannya jika melihat kedua orang tuanya bertengkar terus nantinya. Mas, kamu sudah janji tidak akan mempersulit perceraian ini dan kamu sudah menanda tangani perjanjian itu. Aku harap kamu ingat itu!" seru Dara.
Rico tak dapat menjawab ucapan Dara. Dia akhirnya pergi melangkah keluar dari ruang sidang. Pengacara keduanya sedang membereskan berkas-berkas mereka.
Dara melangkah keluar dari ruang sidang, menyusuri lorong yang panjang. Langkahnya perlahan namun pasti. Menuju masa depan berdua si buah hati.
Saat melewati pintu keluar, dia merasakan hawa dingin dari luar, menambah rasa hampa di dadanya. Tapi, di balik rasa itu, dia merasakan sedikit lega. Ternyata, melepaskan tidaklah sesakit yang dia bayangkan.
Setelah berpisah dari ruang sidang, Dara melihat langit kelabu dan hujan merintik pelan. Dia mengeluarkan payung dari tasnya, membukanya, dan berjalan perlahan ke arah parkiran.
Baru saja akan masuk ke dalam taksi yang telah dia pesan tadi sebelum keluar dari ruang sidang, langkahnya terhenti saat namanya di panggil seseorang.
Dara membalikan tubuhnya mencari asal suara. Pandangannya bertemu dengan Fanny. Wanita itu melangkahkan kakinya semakin dekat ke arah dia berdiri.
"Kenapa kamu ada di sini? Jangan bilang jika kamu dan Rico akan bercerai!" seru Fanny.
Fanny datang karena panggilan pertama untuk mediasi juga. Dia dan mama mertuanya akan berusaha membuktikan jika rumah tangga mereka baik-baik saja sehingga hakim tak mengabulkan gugatan cerai Bastian.
"Kamu benar Fanny. Aku dan Rico memutuskan untuk berpisah. Sidang mediasi telah kami lalui. Hanya menunggu sidang selanjutnya," ucap Dara.
Dara tak mungkin menyembunyikan semua ini. Suatu hari mereka juga akan mengetahui kebenarannya.
"Jadi benar kamu akan bercerai juga?" tanya Fanny dengan suara lemah.
Dara mengangguk sebagai jawaban. Fanny merasa tubuhnya lemah melihat jawaban wanita itu. Sekarang dia paham, kenapa sang suami berkeras ingin berpisah.
Orang tua egois...
sukses selalu mama reni😍😍😍😍😍
aduh maaf Mak Lom smpt ke cono sibuk..mm🙏🙏🙏ntr saya kejar bap deh mak