Salsabillah Khairunnisa Kirani, 25 tahun. Terpaksa harus menikah dengan Adrian Mangku Kusumo, 25 tahun. Karena perjodohan orang tua mereka, padahal mereka sama-sama memiliki kekasih.
Sabillah tak tahu mengapa Adrian selalu menuduhnya menjadi penyebab kehancuran Ajeng, kekasih Adrian.
Hingga di tujuh bulan pernikahan mereka, Sabillah melihat Adrian bersama wanita yang tengah hamil tua, dan wanita itu, kekasih Adrian.
Apakah Adrian sudah mengkhianati pernikahan mereka? Meski mereka sepakat untuk berpisah setelah dua tahun pernikahan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Wati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak sengaja
Adrian menatap wajah pucat wanita yang saat ini memejamkan mata. Tadi Adrian sudah bicara pada dokter, jika Ajeng meminum obat serangga untuk mengakhiri hidupnya.
Sebagai mantan nakes, tentu Ajeng tahu kadar yang ia gunakan untuk mencari perhatian Adrian. Dia belum mau mati, sebab Adrian belum ia dapatkan.
Perlahan kelopak mata itu bergerak, menandakan jika pemilik raga itu akan bangun.
"Alief main sama suster dulu ya, Om mau bicara sama mommy," ucapnya mengusap kepala Alief. "Sus, tolong jagakan Alief sebentar, saya ingin bicara dengan ibunya." Beruntung Alief merupakan anak baik, dia menurut saja apa yang dikatakan Adrian.
Sebenarnya dalam hati Alief sedih, setiap kali Adrian mengatakan om padanya, sedang mommy-nya, mengatakan jika Adrian papanya.
"Kenapa kamu lakuin ini, Ajeng?" tanya Adrian dingin ketika Ajeng baru saja membuka matanya. Tak ada kelembutan saat mengatakan itu.
Ajeng menatap laki-laki yang berdiri disamping tempat tidurnya dengan tangan bersedekap. Tersenyum miris tahu itu Adrian.
"Aku belum mati ternyata," menatap langit-langit kamar. "Apa aku harus melakukan ini dulu biar kamu mau nemuin aku, Adrian?" Terkekeh dengan linangan air mata. "Kalau cuma mau marahin, mending nggak usah dateng."
Adrian memijit pelipisnya.
"Aku sibuk." Memang benar Adrian sangat sibuk saat ini, ditambah sekarang dia harus mencari bisnis lain, karena dunia telekomunikasi saat ini sedang tidak baik-baik saja. Semua karena kerja samanya dengan pihak pemerintah, membuat beberapa proyek yang harus dikerjakan harus mandek.
Adrian juga harus meminilimalisir pengeluaran, mengcancel perjalanan luar negeri jika tidak terlalu penting. Karena dia tidak ingin memotong gaji karyawan juga.
Tapi sebisa mungkin akan meluangkan waktu untuk ibunya Arial. Sesibuk apapun itu.
Adrian tersenyum sendiri mengingat itu.
"Kayaknya kamu lagi bahagia ya, Adrian. Senyum mu itu mengingatkan ku tujuh tahun lalu." Sayangnya Ajeng melihatnya.
Iya, dimana Adrian awal jatuh cinta padanya, begitulah Adrian. Sayangnya semua harus berakhir saat Adrian dijodohkan dengan wanita pilihan orang tua Adrian. Dan nasib buruk menimpanya.
"Sayangi Alief, jangan membuat dia merasa sendiri." Adrian mengalihkan.
"Seharusnya kamu yang bertanggung jawab penuh padanya, dia ada karena kamu, Adrian."
Adrian selalu lemah jika Ajeng sudah mengatakan itu. Tapi sekarang dia memiliki jawabanya.
"Dia memang ditakdirkan untuk hidup. Meski sekuat tenaga aku mempertahankanya. Dan kamu menjadi ibu hebat yang telah melahirkanya."
Cuih, bullshit.
"Tapi aku akan lebih kuat lagi kalau kamu selalu ada untuk Alief. Karena dia bukan hanya butuh materi, Adrian. Tapi sosok ayah."
Dada Ajeng rasanya ingin meledak, matanya memanas seiring buliran bening itu jatuh tak terbendung, ia begitu marah pada Adrian. Laki-laki yang menjadi penyemangat hidupnya telah berubah, dia yang berjanji akan bertanggung jawab atas semua yang terjadi padanya kini seolah lepas tangan.
"Istirahatlah, aku ingin mengajak Alief keluar." Adrian ingin berbalik, tapi ucapan Ajeng membuatnya mengurungkan niatnya.
"Kamu selalu begitu, Adrian. Selalu menghindari aku jika aku meminta tanggung jawab kamu, apa karena wanita itu? Ingat Adrian, aku begini karena dia."
"Jangan menyalahkan orang lain atas nasib kamu, cepatlah sehat karena Alief membutuhkan kamu."
"Kenapa kamu nggak bunuh aku saja, Adrian? Aku tersiksa, kalau kamu mau tahu aku tersiksa hidup begini. Jika aku sudah tidak ada lagi, kamu bebas mengejar cinta mantan istri kamu." Ajeng menghempas-hempaskan tanganya yang diinfus, membuat cairan merah itu mengalir.
"Stop, Ajeng. Jangan kekanak-kanakan," Adrian menekan bel memanggil perawat. "Obati dia, buat dia tenang," ucapnya pada dua perawat wanita yang datang.
"Kita akan membahasnya kalau kamu sudah sembuh, Ajeng. Aku keluar dulu."
"Kamu keterlaluan, Adrian. Kamu brenggsekk." Namun Adrian sama sekali tak menghiraukan itu, ia tetap keluar karena pikirannya sedang pusing.
Saat keluar ia tak mendapati Alief, Adrian menghampiri suster yang berjaga disana.
Disisi lain, diruang yang berada satu lantai.
Entah mengapa Sabillah jadi tak nyaman, sejak tadi dia terus membenarkan kerah bajunya. Menyebalkan sekali, apa yang membuatnya tidak nyaman seperti ini? Sabillah merasa sangat gerah di pagi menjelang siang ini.
Dia merasa terganggu dengan sosok laki-laki yang dipanggil papa oleh anak laki-laki seusia Eka. Astaga, kenapa harus terpikirkan itu? Meskipun itu anaknya juga, bukan urusannya sama sekali. Pikiran Ajeng teringat dengan perkataan mamanya waktu itu yang mengatakan jika Adrian masih melajang setelah berpisah denganya.
Tapi anak siapa tadi? Apa itu anak wanita hamil yang pernah ia lihat?
Berarti anak itu anak korban pemerkosaan tujuh tahun lalu yang ia dapat dari suaminya? Jika benar? Kenapa anak itu bersama Adrian, kemana mamanya?
Atau, Adrian disini bersama wanita itu? Sabillah menggeleng, kenapa dia terus memikirkan itu?
Hingga Tangis dari Abimanyu Bratajaya, nama anak ketiganya dengan Arjuna membuat Sabillah tersadar dari lamunanya.
Anaknya itu baru saja disuntik imunisasi.
"Sudah selesai ya, Bu," ujar dokter anak yang menyuntik anaknya.
"Terima kasih, Dok."
Nama Abimanyu Sabillah ambil dari nama anak tokoh pewayangan Arjuna, sama dengan nama suaminya. Setelah selesai, Sabillah mendorong stroller anaknya keluar, bersama Eka dan Arial yang mengikutinya dibelakang.
Sangat kerepotan memang, dimana Sabillah saat ini belum mau menggunakan jasa perawat untuk membantunya menjaga anak-anaknya, Sabillah pikir belum membutuhkan, karena Eka juga belum masuk sekolah aktif.
Saat sedang berjalan dilorong rumah sakit menuju lift, Sabillah mendengar seseorang memanggil namanya.
"Sabill." Sabillah menoleh kebelakang.
Matanya melotot mengetahui siapa pemilik suara itu, Sabillah mempercepat jalanya.
"Umak, itu om Adlian." Arial malah senang.
"Bukan sayang, itu orang yang mirip. Ayo, cepat jalanya."
"Sabill, tunggu." Adrian mengejar langkahnya hingga bisa menyamai langkah wanita cantik itu. "Astaga Sabill, kamu kenapa menghindar begitu, sih?" Menghalangi langkah Sabillah.
"Permisi, kami mau lewat."
"Kamu kerepotan, Sabill. Aku antar." Sabillah tak menghiraukan, dia tetap melangkah melewati Adrian.
"Arial ikut Om ya. Kasihan Mama kerepotan." Ujar Adrian menatap Sabillah bersama anaknya yang menjauh.
Arial mendongak menatap Sabillah meminta persetujuan. Sabillah menggeleng tanda tak setuju, membuat anaknya tertunduk lemas.
Adrian yang melihat ekspresi sedih Arial ikut sedih.
"Sabill kamu jangan keras kepala."
"Ngapain sih?"
"Mau bantu kamulah, Arial kangen aku itu, Sabill."
"Adrian sudah aku bilang kalau kita bertemu anggap kita nggak saling kenal." Sabillah tetap melangkah masuk kedalam lift. Kedua anaknya mengikuti.
Adrian juga ikut masuk.
"Dan aku udah jawab, aku nggak mau. Dosa Sabill saling kenal nggak saling sapa, makanya kalau ada pelajaran budi pekerti jangan tidur. Lantai bawah kan?" Menekan lantai dasar tanpa menunggu jawaban dari Sabillah.
"Ngapain sih ikut masuk?"
"Ya ngikutin kamu lah, aku khawatir liat kamu kerepotan begini. Memang aku laki-laki macam apa membiarkan wanita kerepotan aku diamin, terlebih dia mantan terindah aku."
Sabillah menarik nafasnya dalam. Eka, yang memang tidak suka, menatap sebal pada Adrian, dan memegang tangan Sabillah seolah ingin melindungi dari laki-laki yang mengganggu mamanya.
Adrian tersenyum melihat itu, ia sadar. Jika dia harus meluluhkan gadis cantik yang begitu mirip dengan wajah ayahnya ini. Sejak awal Eka menatapnya tak suka.
"Hai cantik, nggak papa ya Om ikuti mama kamu, kasihan mama sendirian. Om nggak jahat kok, Om akan menjaga mama kamu."
Bukan wajah ramah yang Adrian dapatkan, tapi wajah makin tak suka yang Eka berikan.
"Boneka dari Om cantikkan, kamu suka."
"Aku buang ke tong sampah," jawab Eka.
Oke, kali ini Adrian menatap Sabillah. "Mom, jangan ajari anak kecil sifat keras kamu, ajari dia untuk menghargai pemberian orang lain."
Sabillah membuang muka pura-pura tak mendengar. Jijik sekali dia mendengar Adrian mengatakan Mom. Adrian membuatnya makin tidak nyaman.
"Nggak papa, nanti Om belikan lagi yang kakak suka."
Pintu lift terbuka, Sabillah mendorong stroller anaknya. Kedua anaknya mengikuti tanpa diperintah.
"Umak, mau pipis." Kata Arial menggoyang-goyangkan lututnya menahan sesuatu yang ingin keluar.
"Iya, habis ini kita cari toilet."
Kerepotan sekali saat akan ke toilet, dimana Abimanyu menangis, tapi Arial seperti sudah tidak tahan lagi.
"Tuhkan, kamu tuh butuh orang lain, nggak bisa dilakuin sendiri. Arial, sini sama Om." Memberikan tangan agar Arial menggendeng tanganya untuk ke toilet. Dengan senang hati Arial menyambut tangan Adrian.
"Tunggu disini, Umak. Kami tidak lama," ujar Adrian mengedipkan mata pada Sabill menuju toilet laki-laki.
Dia baru tahu panggilan anak-anak Sabillah.
Sabillah mengabaikan itu, entah dia merasa aman Arial bersama Adrian. Dia menggendong Abimanyu mendiami anaknya, memberikan botol berisi asi miliknya.
Tak lama Adrian keluar bersama Arial yang menunjukkan wajah senangnya.
"Kita langsung pulang ya Sayang."
"Oke, Umak." Adrian yang menjawab dengan senyuman yang mengembang.
Sabillah lagi-lagi tak menghiraukan, biarkan saja nanti Adrian lelah sendiri, jika dia meladeni, Adrian akan semakin menjadi. Saat akan meletakkan Abimanyu kedalam stroller, Abimanyu kembali menangis, ditambah Eka bilang.
"Umak, Eka juga kebelet."
"Baby biar aku yang gendong, Sabill. Kamu antar kakak saja."
Dengan gerakan cepat seperti suami siaga, Adrian mengambil Abimanyu dari dekapan Sabill, tapi karena gerakanya yang spontan itu, membuat Adrian tidak sengaja menyenggol daging kenyal yang membuat dibawah sana seketika mengembung.
Sabillah memelototkan matanya marah.
"Aku nggak sengaja Sabill, sumpah."