Nova Spire, seorang ahli medis dan racun jenius, tewas tragis dalam ledakan laboratorium saat mencoba menciptakan obat penyembuh paling ampuh di dunia. Tapi kematian bukan akhir baginya—melainkan awal dari kehidupan baru.
Ia terbangun dalam tubuh Kaira Frost, seorang gadis buta berusia 18 tahun yang baru saja meregang nyawa karena dibully di sekolahnya. Kaira bukan siapa-siapa, hanya istri muda dari seorang CEO dingin yang menikahinya demi tanggung jawab karena membuat Kaira buta.
Namun kini, Kaira bukan lagi gadis lemah yang bisa diinjak seenaknya. Dengan kecerdasan dan ilmu Nova yang mematikan, ia akan membuka mata, menguak kebusukan, dan menuntut balas. Dunia bisnis, sekolah elit, hingga keluarga suaminya yang penuh tipu daya—semua akan merasakan racun manis dari Kaira yang baru.
Karena ketika racun berubah menjadi senjata … tak ada yang bisa menebak siapa korban berikutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sky
Setelah semua orang meninggalkan meja makan dengan wajah tegang dan perut yang belum tentu kenyang, hanya Kaira yang tetap duduk tenang. Ia menyendok suapan terakhir sup krim jamur ke dalam mulutnya, menikmati tiap tetesnya seolah tak terjadi apa-apa.
Langkah kaki pelan terdengar tergesa. Pelayan muda yang tadi melaporkannya dengan fitnah, mencoba meninggalkan ruang makan secara diam-diam.
Namun sayangnya, Kaira bukan gadis sembarangan. Tanpa mengangkat kepala, ia berkata pelan namun jelas.
"Mau kemana kau?"
Pelayan itu langsung berhenti di tempat. Suaranya bergetar, "Nyonya … saya hanya mau membersihkan—"
"Bukan tugasmu. Kau bohong, kau fitnah aku di depan suamiku. Sekarang, kau bahkan berani meninggalkan meja sebelum aku memberi izin?" Suara Kaira mulai naik, tetap dingin dan tanpa emosi.
Pelayan lain yang berdiri di sisi dinding terlihat gelisah.
"Bantu dia berkemas. Sekarang."
Nada suara Kaira tajam. "Dan pastikan dia keluar dari rumah ini dalam lima menit."
"Nyonya! Bukankah Anda sangat keterlaluan!" pelayan itu mencoba membela diri.
"Pergi atau ku siram kau dengan kuah panas!" ancam Kaira tidak main-main tidak mempedulikan ucapan pelayan itu.
Pelayan itu akhirnya bicara lantang, mencoba menggertak. "Kau pikir hanya karena kau istri tuan Leonel, kau bisa memecat seenaknya? Siapa yang percaya gadis buta sepertimu berani melakukan apa pun—"
Belum sempat kalimatnya selesai, suara air yang terkena kulit terdengar nyaring. Semangkuk kuah sup panas disiramkan tepat ke lengan dan dada pelayan itu.
"Aaaakkhhh!" Pelayan itu menjerit, tubuhnya tersentak ke belakang sambil memegangi kulitnya yang memerah.
Pelayan lain berteriak kaget, sebagian langsung mendekat panik. Tapi Kaira tetap duduk tenang, meletakkan mangkuk kosongnya di atas meja dengan santai.
"Anggap itu sebagai peringatan," ucap Kaira dengan dingin. "Bagi siapa pun di rumah ini. Jangan uji kesabaranku. Buta bukan berarti lemah. Jangan paksa aku membuktikannya."
Pelayan itu masih menangis pelan, merintih di lantai marmer. Pelayan lain menunduk dalam-dalam, tidak berani berkata apa-apa.
Suara langkah berat mendekat. Leonel kembali masuk ke ruang makan dengan wajah muram. Di belakangnya, Selina, Maura, dan Magenta menyusul, terkejut melihat kekacauan.
"Apa lagi yang kau lakukan, Kaira?" tanya Leonel dingin.
Kaira mengangkat dagunya, tanpa rasa takut.
"Membersihkan sampah. Rumah ini terlalu indah untuk dipenuhi tikus rakus yang tidak tahu adab."
"Kau menyiram pelayan dengan kuah panas?" Selina terdengar marah.
"Aku sudah beri dia pilihan. Pergi ... atau kusiram. Dia pilih yang kedua." Kaira berdiri perlahan, lalu berjalan keluar dari ruang makan tanpa menunggu balasan.
Langkahnya tenang, beriringan dengan denting tongkat yang menyentuh marmer. Tak satu pun yang berani menahan.
Di belakangnya, pelayan itu masih menangis, dan semua mata tertuju pada gadis buta yang kini tak lagi terlihat lemah—tapi menakutkan.
*****
Malam telah larut. Angin membawa aroma embun dan udara dingin dari taman. Di lantai dua mansion Frost, Kaira berdiri sendirian di balkon kamarnya, rambut panjangnya melambai pelan diterpa angin.
Kaira mendongak, menatap ke atas. Meski matanya buta dan tak bisa melihat apa pun, ia tahu ... malam pasti begitu cerah di atas sana.
“Langit … apakah kau masih sama seperti dulu? Saat aku masih bisa menatapmu dengan mata Nova?” gumamnya pelan, hampir seperti doa yang melayang ke udara.
Diam sejenak.
“Tubuhku … apa masih utuh? Atau sudah jadi abu, dikubur reruntuhan laboratorium itu?”
Kaira menggenggam pagar balkon erat.
“Nova Spire … mati dalam ledakan. Tanpa nama. Tanpa perpisahan. Tanpa siapa pun yang peduli.”
Senyum tipis terbentuk di wajahnya. Bukan senyum bahagia. Tapi getir. Penuh luka.
“Tapi lihat aku sekarang … Aku hidup. Dalam tubuh gadis malang bernama Kaira Frost. Mereka pikir dia lemah. Mereka pikir dia hanya beban ... lucu.”
Ia menunduk sedikit, mendengarkan angin.
“Tenang, Kaira. Aku akan menjalani hidup ini untuk kita berdua. Aku akan balas semua yang menyakitimu … dan juga mereka yang menghancurkan hidupku di masa lalu.”
Kaira kemudian berbisik, seperti mengirim pesan ke bintang:
“Dan jika suatu hari nanti, tubuh Nova ditemukan … mereka akan tahu. Mereka kehilangan orang yang salah.”
Dari balik jendela, tirai bergerak pelan. Kamera tersembunyi kecil masih merekamnya diam-diam. Namun Nova tetap tersenyum.
“Rekamlah. Awasi aku. Aku akan tetap bermain sebagai Kaira si buta yang lemah. Tapi di balik kegelapan ini ... aku akan menyusun semuanya, satu per satu.”
****
Senja telah lama tenggelam, meninggalkan langit malam yang berbalut kelam dan sunyi. Di sebuah pemakaman sepi di pinggiran kota Altaria, seorang pria berdiri diam di samping sebuah makam.
Tubuh tegapnya terbungkus mantel panjang berwarna hitam pekat. Wajahnya rupawan, namun sedingin es kutub utara, tak menunjukkan banyak ekspresi. Tapi dari sorot matanya … tampak jelas, luka yang belum sembuh.
Dia menatap nisan di depannya. Angin malam menghembuskan rambut hitam kebiruan yang rapi.
NOVA SPIRE
1999 - 2025.
“Kepergianmu adalah sunyi yang tak pernah bisa kudiamkan.”
Dengan tangan gemetar, pria itu mengelus pelan tulisan nama itu. Mata sendunya tak lepas dari batu nisan yang terukir rapi.
“Nova .…” katanya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam angin, “Aku … menyesal. Karena terlalu lama menahan perasaanku.”
Ia menghela napas panjang, lalu tersenyum getir.
“Aku pikir waktu masih panjang. Aku pikir kau akan selalu ada di sana … menatapku dengan tatapan tajammu. Menghardikku karena terlalu kaku. Tapi nyatanya .…” Ia mengepalkan tangan. “Aku bahkan tak sempat mengucapkan selamat tinggal, kau benar-benar telah meninggalkan aku selamanya.”
"Maafkan aku Nova. Aku pria yang pengecut!"
Dari jauh, seorang pria datar berdiri menatap sang Tuan dengan turut berdukacita. Cinta sang tuan tak sampai, hingga akhirnya sang gadis pergi untuk selamanya.
Beberapa detik kemudian, langkah kaki terdengar mendekat. Seorang pria lain—tak kalah dingin dan rapi, berdiri tak jauh di belakangnya. Sang asisten pribadi, berwajah serius, dengan suara datar berkata, “Tuan Sky … sudah waktunya kita kembali ke Elyndor. Jet pribadi sudah siap.”
Pria tampan itu, Sky Oliver—tak langsung menjawab. Ia menatap nisan itu sekali lagi, lalu perlahan membungkuk dan mengecup permukaannya.
“Tunggulah aku … Nova. Jika tak bisa bersamamu di dunia ini … maka aku akan mencarimu di kehidupan selanjutnya. Selamat tinggal sayang. Aku mencintaimu selamanya dan tidak akan pernah berubah.”
Sky lalu berdiri, kembali mengenakan sarung tangan hitamnya. Sekejap saja, raut wajahnya kembali sedingin baja. Ia melangkah pergi, meninggalkan makam itu dalam senyap.
Sang asisten melirik sekilas ke arah batu nisan itu, lalu mengikuti Sky tanpa berkata apa-apa. Langkah kaki mereka menjauh, sementara malam kembali hening.
Di kejauhan, suara angin membawa bisikan…
“Nova … Nova … Nova .…”
seirinh wktu berjlan kira2 kpn keira akan bis melihat yaaa
ya panaslah masa enggak kaira tinggl di rumah keluarga fros aja panas padahal tau kalo kaira di sana tidak di anggap,apa lagi ini bukan cuma panas tapi MELEDAK,,,,,,