Sofia Amara, wanita dewasa berusia 48 tahun yang hanya dipandang sebelah mata oleh suami dan anak-anaknya hanya karena dirinya seorang ibu rumah tangga.
Tepat di hari pernikahan dirinya dan Robin sang suami yang ke-22 tahun. Sofia menemukan fakta jika sang suami telah mendua selama puluhan tahun, bahkan anak-anaknya juga lebih memilih wanita selingkuhan sang ayah.
Tanpa berbalik lagi, Sofia akhirnya pergi dan membuktikan jika dirinya bisa sukses di usianya yang sudah senja.
Di saat Sofia mencoba bangkit, dirinya bertemu Riven Vex, CEO terkemuka. Seorang pria paruh baya yang merupakan masa lalu Sofia dan pertemuan itu membuka sebuah rahasia masa lalu.
Yuk silahkan baca! Yang tidak suka, tidak perlu memberikan rating buruk
INGAT! DOSA DITANGGUNG MASING-MASING JIKA MEMBERIKAN RATING BURUK TANPA ALASAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DAAP 32
Di ruang tamu kediaman Rahardian, Saskia, Mikaila, dan Vanessa masih terpaku. Mereka tidak bisa berkata-kata.
Sofia … pemilik butik terkenal itu?
Sofia … wanita yang mereka hina, ternyata berdiri di puncak kejayaan? Saat mereka masih mencerna kenyataan itu, tiba-tiba Robin masuk dengan wajah bersemangat.
“Ada apa ini? Kenapa kalian mematung seperti melihat hantu?” tanyanya heran.
Namun, tak ada yang menjawab.
Robin mengerutkan kening, semakin bingung melihat ekspresi kaku mereka. “Halo? Ada yang bisa menjelaskan kenapa kalian seperti ini?” desaknya lagi.
Akhirnya, Saskia membuka mulutnya dengan suara terbata-bata. “Sofia … dia … dia pemilik butik yang sedang viral itu.”
Robin mengerutkan dahi, nyaris tertawa karena merasa itu lelucon.
Namun, sebelum dia bisa berkata apa-apa, wawancara dengan Sofia kembali muncul di layar TV.
Robin menoleh ke layar dan langsung membeku. Di sana, Sofia terlihat begitu anggun. Aura wanita itu begitu percaya diri, jauh dari sosok Sofia yang dulu ia tinggalkan.
Reporter bertanya, “Bu Sofia, apa yang menginspirasi Anda untuk membuka butik ini?”
Sofia tersenyum. Senyuman yang tidak pernah lagi Robin lihat sejak perpisahan mereka.
“Dulu, saya menghabiskan sebagian besar hidup saya untuk keluarga dan melupakan impian saya sendiri. Tapi sekarang, saya ingin membuktikan bahwa tidak ada kata terlambat untuk mengejar mimpi.”
Robin merasakan hantaman di dadanya. Tangannya mengepal tanpa sadar. Selama ini, dia mengira Sofia hanyalah ibu rumah tangga biasa, tanpa bakat, tanpa keahlian.
Tapi sekarang?
Sofia berdiri di puncak kesuksesan, sementara dia—Robin—hanya bisa menyaksikannya dari jauh.
Mikaila menunduk, matanya berkedut. “Jadi … toko tadi miliknya?” pikirnya.
Namun, di tengah kebisuan itu, Vanessa yang geram langsung mengambil remote dan mematikan TV dengan kasar.
Semua orang tersentak. Robin menoleh ke Vanessa dengan tatapan tajam. “Kenapa kau matikan?” tanyanya.
Vanessa mencoba menutupi kegelisahannya dengan mencibir. “Apa istimewanya Sofia? Desainnya biasa saja.” katanya sinis.
Robin menatapnya dalam diam, matanya mulai dipenuhi sesuatu yang sulit ditebak.
Saskia masih sulit menerima kenyataan ini. Mikaila terdiam, pikirannya mulai kacau. Sementara itu, Vanessa menggertakkan giginya, menahan amarah yang siap meledak.
Setelah ketegangan akibat wawancara Sofia di TV, Saskia mulai menyadari sesuatu. Ia menatap Robin yang terlihat begitu bersemangat.
"Robin, kenapa kamu pulang cepat hari ini?" tanyanya penasaran.
Robin, yang tadi terpaku pada layar TV, akhirnya menghela napas dan tersenyum tipis. “Ada kabar baik,” katanya, membuat perhatian semua orang langsung tertuju padanya.
“Aku akan menjadi kandidat rektor di universitas tempatku mengajar.”
Seketika, mata Saskia, Vanessa, dan Mikaila berbinar terang.
“Apa? Benarkah itu?” tanya Saskia dengan suara penuh antusias.
Robin mengangguk. “Aku sudah mengikuti seleksi sejak lama. Sekarang aku masuk tahap akhir.”
Saskia menepuk tangannya dengan semangat. “Ini luar biasa, Robin! Bayangkan, kita akan punya seorang rektor dalam keluarga!” serunya bangga.
Mikaila pun ikut bersorak. “Papa, kalau jadi rektor, pasti makin keren!”
Sementara itu, Vanessa tersenyum penuh kemenangan. Ia berjalan mendekat dan merangkul Robin dengan penuh kebanggaan.
“Sudah aku bilang, kan? Ini pasti keberuntungan karena kau menikah denganku,” katanya dengan nada menyombongkan diri.
Robin hanya menatapnya sekilas, tidak mengatakan apa pun.
Vanessa tak menyadari bahwa Robin telah mendaftar sejak lama, bahkan sebelum menikah dengannya.
Yang lebih penting, keberhasilan ini tidak ada hubungannya dengan Vanessa sama sekali.
Tapi Vanessa terlalu sibuk menikmati pikirannya sendiri.
Setelah beberapa saat menikmati suasana bahagia, Vanessa tiba-tiba teringat sesuatu. “Oh, ngomong-ngomong … aku juga punya kabar baik!” katanya dengan senyum penuh percaya diri.
"Apa itu?" tanya Saskia.
Vanessa dengan semangat berkata, “Aku akan ikut lomba desain yang sebentar lagi akan diadakan.”
Saskia dan Mikaila menoleh dengan antusias. “Lomba desain?” tanya Mikaila.
Vanessa mengangguk. “Dan aku akan membuktikan bahwa aku lebih unggul dari Sofia.”
Mikaila langsung tersenyum sinis. “Bagus, Ma! Buktikan kalau Sofia itu tidak ada apa-apanya.”
Saskia pun mengangguk mendukung. “Kita harus memastikan Sofia kalah telak. Dia tidak pantas mendapatkan semua kesuksesan ini.” katanya tajam.
Vanessa tersenyum penuh ambisi. “Tenang saja, aku akan mengalahkannya. Aku akan membuatnya sadar bahwa dia bukan siapa-siapa dibandingkan aku.”
Mereka bertiga tertawa penuh percaya diri, seolah kemenangan sudah ada di tangan.
Sementara itu, Robin hanya diam, pikirannya masih tertuju pada wawancara Sofia di TV tadi.
Sebuah perasaan aneh mulai tumbuh di hatinya. Entah kenapa, dia tidak bisa menghilangkan bayangan Sofia dari pikirannya.
****
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Pengumuman sepuluh finalis lomba desain fashion yang sudah ditunggu-tunggu oleh banyak desainer dari seluruh negeri akhirnya akan diumumkan secara langsung di kanal YouTube penyelenggara.
Di butik S.A., Sofia duduk bersama karyawannya, Edward, Elleanor, dan juga Riven yang belakangan ini semakin sering mampir. Mereka semua menatap layar laptop dengan penuh harap.
“Ayo, Bu Sofia pasti lolos!” ujar Yaya penuh semangat.
Sofia menghela napas, berusaha tidak terlalu berharap.
Elleanor menyikut lengan Edward dan berbisik, “Kita harus percaya Mommy bakal lolos.”
Edward mengangguk. “Jelas dong, Mommy kan berbakat.”
Sementara itu, Riven duduk dengan tenang, menyesap kopinya dengan ekspresi percaya diri. “Sofia akan masuk finalis, aku yakin.” katanya santai.
Sofia tersenyum kecil. “Aku sudah melakukan yang terbaik. Kalau tidak lolos, tidak masalah.”
Pengumuman dimulai.
Di layar laptop, nama-nama finalis mulai disebutkan satu per satu. Finalis pertama … kedua … ketiga …
Ketegangan semakin meningkat.
Hingga akhirnya, nama Vanessa disebut sebagai finalis kesembilan.
Vanessa yang sedang menonton di rumahnya langsung berdiri dengan senyum lebar.
“Lihat! Aku masuk finalis! Aku pasti akan menang!” serunya sambil menoleh ke arah Saskia dan Mikaila.
Di butik S.A., Sofia mulai merasa dirinya tidak lolos. “Sepertinya aku bukan finalis.” katanya pelan.
Namun, Edward, Elleanor, dan Riven tetap santai.
“Belum tentu, Tante Sofia.” ujar Edward.
“Tunggu sampai akhir.” tambah Elleanor.
Sofia hanya tersenyum. Ia sudah siap menerima apa pun hasilnya.
Lalu … pengumuman finalis terakhir…
“Finalis kesepuluh adalah … Sofia Amara dari butik S.A.!”
Suasana butik langsung meledak dengan sorakan gembira!
"Uhuy! Bu Sofia menang!" teriak para pegawai.
“Ya!! Mommy lolos!!” teriak Elleanor sambil memeluk Sofia erat tanpa sadar keceplosan.
“Aku sudah bilang Mommy pasti lolos!” Edward menepuk meja dengan semangat juga ikut keceplosan tapi sepertinya Sofia tidak sadar.
Riven, yang awalnya duduk santai, langsung berdiri dengan penuh semangat dan memeluk Edward. Edward, yang terkejut, membalas pelukan itu.
"Ye! Lolos!" seru Edward dan Riven bersamaan sambil berpelukan dan berputar-putar.
Namun, setelah beberapa detik … Keduanya tersadar. Mereka saling menatap.
Sunyi.
Lalu…
“Ahem.”
Edward segera melepas pelukannya dan menunjuk ke arah Riven. “Daddy yang peluk aku duluan.”
Riven menatap Edward tajam. “Jangan ngarang! Jelas kamu yang peluk aku duluan.”
“Bohong! Aku cuma refleks, Daddy yang mulai duluan!” bela Edward.
Sofia dan Elleanor tertawa melihat ayah dan anak itu gengsi mengakui kebahagiaan mereka.
Yaya dan pegawai lainnya ikut tertawa melihat kehebohan di dalam butik.
Sofia menatap layar laptop dan menghela napas lega. Ia berhasil lolos sebagai finalis.
.
Berlian & batu kali tu beda jauh loh
Kau aja yg buta
Dan itu KAU...Vanessa
Siap² kau terlempar ke jurang kesengsaraan
Cukup melihat...menyimak & kehancuran akan dtg utk Vanessa & keluarga laknat itu
Nyesel...nyesek...
Penderitaan kalian baru dimulai 🤣🤣🤣