Sejatinya, pernikahan adalah suatu ibadah dan kebahagiaan yang harus dikabarkan. Tapi tidak bagi Mila dan Elgar. Pernikahan siri mereka hanya diketahui oleh mereka berdua dan orang tua Mila dikampung.
"Ingat, pernikahan kita atas dasar saling membutuhkan. Aku membutuhkan kepuasan, dan kamu membutuhkan uang. Jadi jika salah satu diantara kita sudah merasa tidak butuh, kita berakhir." Itulah kata kata yang selalu Elgar ucapkan.
"Lebih dari uang yang aku butuhkan, aku butuh cintamu." Kata kata yang hanya mampu Mila ucapkan dalam hati, tapi tak pernah bisa dia lafalkan.
Saat berdua, mereka adalah suami istri. Tapi saat ada orang lain, mareka adalah dua orang asing.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GAUN
Mila memasukkan lembar demi lembar kertas ke paper shredder. Dia berusaha fokus bekerja meski saat ini pikirannya sedang kacau. Ini hari kedua Elgar tak masuk kerja. Dan sampai detik ini juga, dia belum mendapat kabar dari Elgar.
Mungkin waktunya dengan Elgar sudah berakhir. Berakhir lebih cepat dari perkiraan 3 bulan seperti yang Elgar katakan. Bukankah dia hanya persinggahan sementara saat Salsa tak ada. Dan sekarang, tak ada alasan lagi buat Elgar untuk tetap bersamanya. Ya, mungkin Elgar sudah mencampakkannya. Dia harus siap kapanpun Elgar akan menjatuhkan talak padanya.
"Jangan bengong, entar jari kamu yang masuk." Kata Tari yang tiba tiba datang sambil membawa setumpuk dokumen yang siap dihancurkan.
"Sekalian ini." Titahnya sambil meletakkan dokumen tersebut diatas tumpukan dokumen yang hendak Mila hancurkan.
"Iya mbak." Jawab Mila sambil melanjutkan pekerjaannya.
"Apa sih rahasia lo?"
"Rahasia?" Mila mengernyit bingung.
"Heran gue. Bisa gitu ya, Pak Devan mau sama lo. Padahal mantan istrinya dulu sangat cantik, dah gitu kaya raya, berpendidikan tinggi. Ya masak sekarang kecantol sama lo." Kata Tari sambil tersenyum miring.
Mila meremas selembar kertas hingga hancur tak berbentuk. Ucapan Tari barusan benar benar terdengar merendahkannya. Seolah olah, dia kaum rendahan yang tak pantas sama sekali disejajarkan dengan mantan istri Devan.
"Jangan jangan lo pakai susuk ya?" Tuduhnya tanpa perasaan.
"Kalau iya kenapa? Mau ikutan pasang susuk buat mikat Pak Elgar?" Tanya Mila sambil tersenyum mengejek. Orang seperrti Tari tak bisa dibiarkan, batinnya.
"Dih, buat apa gue pasang kayak gitu." Tari tampak tak terima.
Mila mematikan paper shredder lalu berdiri tepat didepan Tari sambil menatapnya tajam. Dia lagi galau, tapi Tari malah cari masalah.
"Mbak, kalau Pak Devan mau sama saya, itu artinya sama punya sesuatu istimewa yang bisa membuatnya tertarik." Mila mengambil cermin kecil yang ada disaku bajunya lalu menghadapkannya pada Tari.
"Coba deh mbak Tari ngaca. Kira kira ada gak hal istimewa dari diri mbak Tari yang bisa membuat Pak Elgar atau Pak Devan tertarik?"
Wajah Tari seketika mengeras karena emosi.
"Kok marah? gak ada ya ? sayang banget. Pantesan iri terus sama saya." Cibir Mila sambil tersenyum mengejek.
Tari yang kesal langsung pergi. Mulut wanita itu komat kamit, sudah pasti sedang mengumpati Mila dalam hati.
Mila geleng geleng. Tak habis pikir saja, kenapa ada orang yang jerjaanya sirik mulu. Mila kembali menyalakan mesin dan melanjutkan pekerjaannya.
Tak jauh dari tempat Mila, beberapa staf perempuan sedang mengobrol. Sudah pasti yang mereka bicarakan adalah persiapan untuk anniversary perusahaan. Kebanyakan pada sibuk mikir out fit dan nyari mua yang bagus.
"Udah punya baju buat hari sabtu nanti?"
Mila terkejut saat Devan tiba tiba ada disampingnya.
"Gimana, udah ada baju belum?" Devan kembali bertanya karena Mila hanya diam saja.
Mila akhirnya menggeleng.
"Ada waktu gak pulang kerja nanti? Kalau ada, saya tunggu didepan halte dekat kantor." Sebelum Mila menjawab, Devan sudah pergi.
Halte dekat kantor. Mendengar nama tempat itu, seketika Mila teringat peristiwa 4 bulan yang lalu. Dimana pertama kalinya dia janjian bertemu dengan Elgar.
Elgar, Elgar, Elgar. Mila buru buru mengenyahkan pikirannya tentang Elgar. Kenapa setiap hal selalu mengingatkannya pada Elgar.
...****...
Beberapa orang tampak bersenda gurau sambil meninggalkan tempat kerja. Wajah wajah lelah itu tampak sedikit bersemangat lagi karena waktunya pulang. Berbeda dengan Mila, dia sama sekali tak bersemangat. Dia berjalan sendirian dengan pikiran tak karuan. Haruskah dia menemui Devan? Atau dia abaikan saja ajakan bertemu pria itu. Toh tadi dia belum mengatakan iya.
Keluar dari gedung, dia menuju pinggir jalan. Jari jarinya masih ragu untuk menekan pesan di aplikasi ojek online. Rasanya, dia tak tenang sebelum memastikan apakah Devan ada di halte atau tidak. Dan sialnya, meskipun dari jarak yang lumayan jauh. Dia bisa melihat mobil hitam Devan sudah terparkir di depan halte. Rasanya, Mila tak tega untuk tidak menemuinya.
Mila berjalan menuju halte. Dan saat dia sampai disamping mobil Devan, pintu bagian depan mobil itu langsung terbuka.
"Masuk." Ujar Devan saat Mila melongokkan kepala ke dalam mobil.
Karena tak ada pilihan lain, Mila pun masuk kedalam mobil Devan.
Devan mengambil sesuatu dari jok belakang lalu memberikannya pada Mila.
"Dari Pink." Ujar Devan sambil melajukan mobilnya.
Mila lalu membuka paperbag berwarna hitam berukuran lumayan besar itu. Tampak kain berwarna gold. Ingin tahu lebih jelas, Mila mengeluarkannya dari dalam paperbag. Ternyata isinya gaun mewah berwarna gold yang sangat cantik.
"Ini...." Mila masih tak paham.
"Pink ingin memakai baju couple saat anniversary perusahaan nanti." Devan mulai menjelaskan.
Mila mengernyit bingung. Sejauh ini, dia masih belum paham.
"Pink ingin couplean sama kamu."
What, Mila seketika melongo. Couplean dengan Pink di acara pertunangan Elgar. Tidak, ini tidak mungkin.
Mila segera melipat kembali gaun itu dan memasukkan kedalam paperbag.
"Maaf, saya tidak bisa."
Devan membuang nafas kasar. Dia sudah bisa menebak jika Mila pasti akan menolaknya.
Devan mengambil ponselnya lalu menyerahkan pada Mila. "Bilang sendiri pada Pink jika kamu menolaknya."
Hah, Mila merasa kian dipersulit. Kenapa juga bukan Devan sendiri yang bilang pada Pink.
"Saya hanya menyampaikan amanah. Jika kamu tak mau menerima, sampaikan sendiri hal itu pada Pink."
Ini jelas bukan perkara Mudah. Mila memegangi ponsel tersebut dengan perasaan tak karuan.
"Papanya Pink."
"Hah!" Mila tak paham.
"Kata sandinya." Sahut Devan sambil tersenyum. "Papanya Pink pakai huruf kecil semua."
Mila mengangguk lalu memasukkan sandi tersebut. Seketika gambar seorang wanita cantik sedang menggendong anak kecil mulcul dilayar. Mila bisa menebak jika itu adalah foto mantan istri Devan dan Pink saat masih kecil.
"Tekan monor 1. Akan langsung muncul nomor ponselnya Pink. Oh iya, di loudspeaker saja."
Mila mengangguk dan melakukan sesuai petunkuk Devan. Setelah tersambung, tak lama kemudian,terdengar suara sahutan dari Pink.
"Assalamualaikum papah."
"Waalaikumsalam. Ini tante Mila sayang."
Mengetahui Mila yang teleppon, Pink segera mengalihkan ke panggilan vidio. Dan mau tak mau, Mila menerimanya.
"Hai tante cantik." Sapa Pink sambil melambaikan tangan ke kamera. "Sudah terima baju dari Pink? Cantikkan? Tante suka tidak?"
"Em...iya, cantik sekali."
"Ye....itu artinya, tante mau pakai gaun kembaran sama Pink di pesta nanti?" Pink mengambil kesimpulan terlebih dahulu.
"Maaf sayang. Tante gak bisa."
Tawa Pink seketika pudar. Wajahnya langsung dipenuhi mendung. Membuat Mila benar benar merasa bersalah.
"Tante mau pulang kampung. Tante gak ikut pesta."
Mata Pink tampak mulai mengembun.
"Maafin tante ya Pink."
Pink mengangguk, bersamaan dengan itu, air matanya turun.
"Sayang...jangan menangis dong." Mila merasa bersalah. Mendengar jika Pink menangis, Devan langsung memanggilnya.
"Pink."
Mila segara mengarahkan kamera ke arah Devan.
"Anaknya papa gak boleh cengeng. Pink udah janjikan, kalau tante Mila gak mau, Pink gak akan maksa."
Pink mengangguk sambil masih terisak.
"Pink hanya ingin seperti anak lainnya Pah. Pergi ke pasta pakai gaun yang sama dengan mamanya. Tapi Pink gak punya mama." Tangis Pink kian pecah.
Astaga, Mila merutuki dirinya sendiri. Hanya permintaan sekecil itu tapi dia tak bisa mengabulkan. Andai saja dia belum menikah, dan ini bukan acara pertunangan Elgar, dia pasti akan langsung mengiyakan.
"Jangan nangis dong. Pink kan masih punya papa. Couplean saja sama papa. Kita pakai baju yang warnanya sama. Pink mau kan sayang?"
tut tut tut
Ternyata Pink lebih dulu mematika sambungan telepon.
"Maafkan Pink ya. Udah, gak usah dipikirkan." Devan merasa tak enak hati pada Mila.
"Gak papa Pak."
"Sejak mamanya gak ada. Pink menjadi prioritas utama saya. Saya ingin memberikan dia kebahagiaan yang utuh. Kasih sayang sebagai papa sekaligus mama. Saya tak mau dia merasa kurang kasih sayang karena tak ada mamanya. Tapi balik lagi, ada masanya, saya tak mampu melakukannya. Seperti kali ini. Saya tak mungkinkan pakai gaun." Kata Devan sambil tersenyum getir.
"Bolehkah saya memikirkannya dulu."
Devan seketika menoleh kearah Mila. Apa ucapan barusan, artinya masih ada kemungkinan.
"Saya tak mau membuat kamu merasa tertekan ataupun terpaksa. Semua keputusan ada ditangan kamu. Apapun itu, sudah kewajiban saya dan Pink untuk menerimanya."
Ucapan seperti inilah yang semakin membuat Mila tak tega menolak. Tapi, apakah dia mampu untuk hadir dipertunangan Elgar? Dan Elgar, apa yang akan pria itu pikirkan jika dia memakai gaun yang sama dengan Pink?
selama ini ga ada fungsi nya cmn diatas tempat tidur doank
minjem lagi kata kata di sebelah
terbiasanya di sodorkan pisau
ketika kita dikasih bunga kita pasti bingung menyikapi nya
hadeeeeh
kan sama ,lo juga selingkuh
mang salahnya harusnya ga usah main hati beb
kalau udah begini,kan aku ikutan mewek😭
sukuuuriiin lo
beda perempuan sama laki laki
kita selalu pakai hati, walaupun dari awal seharusnya jangan pake hati.. seharusnya
tapi entah kenapa,kok masih berasa sakittttt..
jadi...ga nambah dosa
tapi emang bener si.mamah ku juga bilang,jangan takut berbuat baik sama orang walaupun sama orang yg baru dikenal
tapi inget ya baiknya juga harus terukur
semua akan berbalik ke kita nantinya
bukan hukum karma,tapi hukum tuai dan tabur
yg terakhir nya