Sebuah kecelakaan tragis merenggut segalanya dari leon—kesehatan, kepercayaan diri, bahkan wanita yang dicintainya. Dulu ia adalah CEO muda paling bersinar di kotanya. Kini, ia hanya pria lumpuh yang terkurung dalam kamar, membiarkan amarah dan kesepian melumpuhkan jiwanya.
Satu demi satu perawat angkat kaki, tak sanggup menghadapi sikap Leon yang dingin, sinis, dan mudah meledak. Hingga muncullah seorang gadis muda, seorang suster baru yang lemah lembut namun penuh keteguhan hati.
Ia datang bukan hanya membawa perawatan medis, tapi juga ketulusan dan harapan.
Mampukah ia menembus dinding hati Leon yang membeku?
Atau justru akan pergi seperti yang lain, meninggalkan pria itu semakin tenggelam dalam luka dan kehilangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Awal Perjalanan Baru
Pagi itu, udara terasa sedikit berbeda bagi Nayla. Ada degup jantung yang lebih cepat dari biasanya. Hari ini akan menjadi awal dari perjalanan barunya—perjalanan yang entah akan membawanya ke mana, namun ia yakin ini bukan sekadar soal pekerjaan.
Setelah memastikan ayahnya sudah sarapan dan bibinya sudah datang untuk menemani, Nayla duduk di tepi tempat tidurnya, menatap ponsel di tangan dengan gelisah. Di layar, tertera sebuah nomor yang semalam diberikan oleh seorang wanita baik hati bernama Gaby.
Lalu jari-jarinya mulai menekan angka demi angka.
Telepon mulai tersambung. Suara nada tunggu terdengar di telinga Nayla, dan tak lama kemudian...
“Halo?”
Suara lembut dan berwibawa terdengar dari seberang.
Nayla menarik napas pelan. “Selamat pagi, Nyonya. Ini saya, Nayla... perawat yang Nyonya temui kemarin di rumah sakit.”
“Oh, Nayla!” Suara Gaby langsung berubah menjadi hangat dan penuh harapan. “Saya sudah menantikan kabar darimu. Jadi... bagaimana, Nay?”
Tanpa berputar-putar, Nayla menjawab, “Saya menerima tawaran Nyonya, saya siap untuk membantu merawat putra Nyonya.”
Terdengar helaan napas lega dari Gaby.
“Terima kasih, Nay. Terima kasih banyak. Tolong kirimkan alamat rumahmu sekarang, ya. Saya sendiri yang akan menjemputmu bersama sopir.”
“Baik, Nyonya. Saya kirim sekarang juga.”
Setelah menutup telepon, Nayla segera bersiap. Tas kecil yang berisi beberapa helai pakaian, perlengkapan pribadi, dan buku catatan medis, ia letakkan di dekat pintu. Meski dadanya sesak, ia tahu ini jalan terbaik untuk saat ini.
Tak butuh waktu lama, mobil hitam berkilau berhenti di depan rumahnya. Dari dalam, Gaby turun dengan elegan namun penuh kehangatan.
“Selamat pagi,” sapa Gaby sopan ketika memasuki halaman rumah Nayla.
“Selamat pagi, Nyonya,” jawab Nayla yang sudah menunggu di teras. “Silakan masuk.”
Gaby disambut oleh sang bibi dan ayah Nayla yang duduk di kursi roda. Dengan penuh hormat, Gaby pun menjelaskan maksud kedatangannya.
“Saya ingin meminta izin, Pak, Bu. Saya butuh bantuan Nayla untuk merawat putra saya yang sedang lumpuh. Saya akan menjaga Nayla dengan baik, dan tentu saja... Nayla bisa pulang kapan saja untuk menjenguk Ayah.”
Ayah Nayla menatap wanita itu penuh syukur.
“Terima kasih, Bu... sudah mempercayai anak saya. Maaf kalau dia belum berpengalaman di rumah pribadi, tapi dia anak baik.”
Gaby tersenyum. “Saya yakin itu. Justru saya butuh orang yang berhati tulus seperti Nayla.”
Setelah berpamitan dan mencium tangan sang ayah serta memeluk bibinya, Nayla pun masuk ke dalam mobil bersama Gaby. Mobil mulai melaju meninggalkan rumah kecil itu. Meski berat meninggalkan ayahnya, Nayla menatap ke depan dengan penuh harapan.
Dalam perjalanan menuju rumah keluarga Mahesa, Gaby mulai membuka obrolan.
“Nayla... saya harap kamu bersabar nanti menghadapi Leon. Putra saya memang sulit diajak bicara sejak kecelakaan itu. Tapi saya benar-benar berharap padamu.”
Nayla mengangguk perlahan. “ Nyonya. Saya akan berusaha sebaik mungkin. Saya tahu, merawat pasien bukan hanya soal fisik, tapi juga hati.”
Gaby tersenyum simpul. “Leon adalah anak semata wayang saya, Nayla. Dia dulu sangat ceria, pekerja keras, penyayang... bahkan perusahaannya berkembang pesat karena kerja kerasnya. Tapi sejak kecelakaan itu, dia berubah. Dia jadi pemarah, tertutup, dan kadang—maaf—bersikap kasar.”
Nayla sempat diam. Ia menelan ludah pelan. Tak bisa dipungkiri, perasaan takut mulai menyelinap.
Namun Gaby belum selesai.
“Bahkan... kekasihnya meninggalkan dia setelah tahu kondisinya tak bisa berjalan lagi,” ucapnya lirih, suaranya bergetar.
Nayla menoleh dengan tatapan prihatin. “Ditinggal di saat seperti itu?” gumamnya lirih.
“Iya. Leon belum bisa menerima kenyataan itu. Dia merasa kehilangan segalanya dalam satu waktu. Saya takut kalau dia terus seperti ini, luka batinnya makin parah.”
Gaby menoleh, menggenggam tangan Nayla pelan.
“Karena itu, saya mohon, Nayla. Jangan hanya jadi perawat bagi tubuhnya... tapi juga bantu sembuhkan jiwanya. Saya yakin, Tuhan mempertemukan kita bukan tanpa alasan.”
Hati Nayla terasa hangat meski juga gugup.
“Nyonya” ucapnya pelan, “saya tidak bisa menjanjikan apa-apa, namun saya akan berusaha semampu saya untuk melakukan yang terbaik untuk putra Nyonya.
Gaby mengangguk, air matanya nyaris jatuh karena terharu.
Mereka pun melanjutkan perjalanan dalam diam, namun bukan diam yang kosong—melainkan diam penuh doa dan harapan, bahwa semua ini akan menjadi awal yang baik, bagi Nayla... maupun bagi Leon yang terkurung dalam kesedihannya.
---
Perjalanan menuju rumah keluarga Mahesa cukup panjang, namun tidak terasa membosankan bagi Nayla. Ia lebih banyak diam, menyimak setiap penjelasan Nyonya Gaby tentang Leon, sambil mencoba menyiapkan hati dan mentalnya untuk menghadapi pria yang kelak akan menjadi tuan sekaligus tanggung jawabnya.
Tak lama kemudian, suara sopir dari kursi depan memecah keheningan.
“Kita sudah sampai, Nyonya,” lapor sang sopir sambil menoleh ke belakang.
Gaby mengangguk lalu tersenyum ke arah Nayla. “Ayo, Nay. Ini rumah kami.”
Begitu keluar dari mobil dan menapaki halaman depan, Nayla langsung dibuat takjub. Bangunan megah bergaya modern Eropa itu berdiri anggun di atas lahan yang luas. Pilar-pilar besar menjulang di bagian teras, dan taman yang tertata rapi menghiasi bagian depan rumah. Aroma bunga segar dari kebun samping menyambut kehadiran mereka.
Namun keterkejutan Nayla belum usai. Begitu memasuki rumah, ia kembali tertegun. Interiornya mewah dan elegan, dengan dominasi warna putih dan emas. Dinding dihiasi lukisan klasik, dan lampu gantung kristal raksasa tergantung di langit-langit ruang tamu, menyinari setiap sudut ruangan dengan cahaya hangat. Lantai marmer yang mengilap seolah menjadi cermin, mencerminkan bayangan setiap langkah yang mereka buat.
“Ini... seperti istana,” bisik Nayla dalam hati.
Gaby tersenyum samar saat melihat wajah Nayla yang penuh kekaguman. “Nanti kamu akan terbiasa, Nayla,” katanya lembut.
Nayla hanya tersenyum malu. Mendapati Nyonya Gaby seperti mengetahui kekagumannya.
Setelah melewati beberapa ruangan, mereka sampai di depan lift rumah.
“Di rumah ini memang ada lift, karena kamar Leon berada di lantai tiga. Sejak kecelakaan itu, kami memasang lift untuk memudahkan dia berpindah tempat,” jelas Gaby sambil menekan tombol.
Denting kecil terdengar saat pintu lift terbuka. Mereka masuk dan naik ke lantai tiga. Sesampainya di sana, mereka langsung disambut oleh Bibi Eli yang terlihat sedikit panik.
“Nyonya... tadi Tuan Leon jatuh dari kursi rodanya. Syukurlah Paman Juan cepat datang dan membantunya kembali duduk,” lapor Bibi Eli.
Gaby langsung terkejut. “Ya Tuhan... kenapa bisa jatuh? Kenapa tak langsung kau kabari aku?”
“Saya takut mengganggu, Nyonya. Karena Nyonya sedang pergi,” jawab Bibi Eli cemas.
Gaby segera melangkah cepat menuju kamar Leon, diikuti Nayla dari belakang. Setibanya di kamar, Nayla langsung bisa merasakan aura dingin dan kelam yang berbeda dari ruangan lainnya. Kamar itu luas namun tampak suram. Tirai besar terbuka, membiarkan cahaya sore masuk dan menyinari sosok pria yang duduk membelakangi mereka di dekat jendela. Itulah Leon — pria yang akan menjadi tanggung jawab Nayla mulai hari ini.
“Leon... kamu tidak apa-apa, kan, Sayang?” Gaby bertanya khawatir sambil mendekat.
“Aku baik-baik saja... pergilah. Aku tidak butuh siapapun,” suara Leon terdengar berat, tajam, dan dingin. Bahkan Nayla bisa merasakan nada kemarahan yang disembunyikan di balik kalimat itu.
Nayla menelan ludah. Ini adalah pertama kalinya dia melihat langsung pria yang banyak diceritakan oleh Gaby selama perjalanan. Hanya mendengar suaranya saja sudah cukup membuat jantungnya berdegup kencang. Tapi bukannya takut, Nayla malah merasakan semacam tantangan yang harus dia taklukkan.
“Kalau ada bagian yang sakit, lebih baik segera diobati, Leon,” Gaby membujuk sabar.
“Aku bilang pergi!” bentaknya, masih tidak menoleh.
Gaby menghela napas. “Tapi Mama lihat tangan kamu membengkak... setidaknya izinkan Mama—”
“Aku tidak mau!” potong Leon cepat.
Belum sempat Gaby menanggapi, suara Nayla yang lembut terdengar di antara mereka.
“Maaf, Tuan Leon... jika Tuan berkenan, saya bisa membantu memijat tangan Tuan yang bengkak.”
Leon terdiam seketika. Itu suara yang asing. Ia baru menyadari bahwa sang mama ternyata tidak datang sendiri. Dengan cepat, ia memutar kursi rodanya, menatap ke arah suara tersebut.
Dan di sanalah Nayla berdiri — seorang gadis muda dengan wajah polos tanpa riasan. Rambut panjangnya dikepang sederhana, kulitnya bersih meski tidak putih pucat. Wajahnya menunjukkan kesopanan, namun tatapan matanya tampak tegas dan penuh keyakinan. Meski sederhana, penampilan Nayla menyiratkan kehangatan dan kejujuran yang sulit ditemukan.
Leon sempat tertegun. Pandangannya mengunci pada wajah Nayla beberapa detik lebih lama dari seharusnya, seperti ada sesuatu yang membuatnya sulit mengalihkan mata.
Nayla pun begitu. Meski sudah mendapat gambaran sebelumnya, melihat Leon secara langsung membuat hatinya bergemuruh. Wajah pria itu sangat tampan, dengan rahang tegas, mata tajam, dan alis tebal. Namun sorot matanya gelap, seolah menyimpan begitu banyak luka dan amarah. Sekalipun duduk di kursi roda, karisma Leon tetap kuat.
Sadar dari lamunannya, Leon akhirnya memalingkan pandangan dan menatap ibunya dengan sinis.
“Siapa gadis kampung ini? Kenapa dia bisa berada di sini?” ucapnya dingin dan tajam, dengan nada yang jelas meremehkan.
Gaby tetap sabar menanggapi.
“Dia Nayla. Mama yang membawanya ke sini. Mulai hari ini, dia akan tinggal bersama kita dan membantu merawatmu.”
“Merawatku?” Leon mendengus. “Aku tidak butuh perawatan, apalagi dari gadis tak dikenal seperti dia.”
Nayla menggigit bibir bawahnya, menahan kata-kata yang sempat ingin keluar. Tapi ia sadar, inilah awal dari tanggung jawab besarnya. Ia harus kuat.
Gaby menatap Leon dengan pandangan teduh. “Kamu memang tidak memintanya, Nak... tapi Mama yang memintanya. Setidaknya... beri dia kesempatan.”
Leon mendengus kesal dan memutar kursi rodanya kembali menghadap jendela, mengabaikan mereka.
Gaby menatap Nayla penuh harap, sementara Nayla menarik napas dalam, mencoba menyiapkan dirinya menghadapi hari-hari ke depan yang pasti tidak mudah.