Penasaran dengan ceritanya yuk langsung aja kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28: Persemayaman di Tepian Sungai
Berita kepergian Aris menyebar lebih cepat daripada angin muson di sepanjang bantaran sungai. Hari itu, Sabtu, 27 Desember 2025, Jakarta seolah ikut berkabung. Langit mendung tanpa hujan, memberikan suhu yang sejuk bagi ribuan orang yang mulai memadati Sektor 12-B.
Atas permintaan terakhir Aris yang tertulis dalam wasiatnya di buku sketsa, ia tidak ingin dimakamkan di pemakaman mewah. Ia ingin "pulang" ke tempat di mana ia menemukan kembali jiwanya. Warga dengan sigap menyiapkan aula utama Rumah Senja sebagai tempat persemayaman terakhir sang arsitek sebelum dikebumikan di seberang taman atap yang menghadap langsung ke matahari terbenam.
"Hati-hati, pelan-pelan," bisik Hendra kepada para pemuda yang mengusung peti kayu sederhana—yang dibuat sendiri oleh Jaka dari sisa kayu jati terbaik proyek.
Peti itu diletakkan di tengah aula bambu. Tidak ada hamparan bunga lili mahal; warga menghiasinya dengan rangkaian bunga liar dari pinggir sungai dan janur kuning yang dianyam rapi. Cahaya matahari masuk melalui celah-celah struktur bambu, menciptakan pola-pola garis cahaya yang jatuh di atas peti Aris, seolah-olah bangunan itu sendiri sedang memeluk penciptanya.
Satu per satu warga memberikan penghormatan terakhir. Ibu-ibu bantaran yang dulu pernah diselamatkan Aris saat banjir, menangis tertahan sambil mengusap kayu peti. Anak-anak yang sering diajak Aris menggambar, meletakkan krayon dan kertas gambar di samping jenazahnya.
"Dia bukan orang asing bagi kami," ucap Pak RT di depan para wartawan yang meliput dari jarak jauh agar tidak mengganggu kesakralan acara. "Dia adalah bapak bagi gedung ini, dan bapak bagi harapan kami."
Maya berdiri di sudut aula, matanya sembab namun ia tetap tegar. Di tangannya, ia memegang cetak biru terakhir Rumah Senja yang sudah ditandatangani Aris. Ia teringat kata-kata Aris: "Maya, bangunan ini hanya wadah. Isinya adalah orang-orang di dalamnya. Jika aku pergi, pastikan isinya tidak tumpah."
Tiba-tiba, suasana yang tenang itu terusik oleh kedatangan sebuah karangan bunga raksasa yang dibawa oleh petugas kurir. Di sana tertulis: "Turut Berduka Cita – Keluarga Besar Grup Mahakarya". Warga sempat tegang, namun Yudha segera menenangkan mereka.
"Baskoro mengirimnya dari dalam penjara," bisik Yudha pada Maya. "Tampaknya di akhir perjalanannya, dia baru menyadari siapa yang sebenarnya menang dalam sejarah ini."
Sore harinya, saat matahari mulai condong ke barat—waktu senja yang selalu dicintai Aris—prosesi pemakaman dimulai. Peti diusung menuju sebuah gundukan tanah di sudut taman yang telah disiapkan. Tempat itu dikelilingi oleh pohon-pohon trembesi kecil yang baru ditanam.
Saat jenazah diturunkan ke liang lahat, suara azan dan lonceng gereja dari pemukiman sekitar bersahutan, menciptakan harmoni yang magis. Tidak ada pidato panjang dari pejabat. Hanya ada suara tanah yang jatuh menyentuh kayu, dan suara isak tangis yang tulus.
"Selamat jalan, Pak Aris," gumam Jaka sambil melempar segenggam tanah. "Terima kasih sudah tidak menyerah pada kami."
Tepat saat nisan kayu bertuliskan "Aris (1960 - 2025) – Sang Pelukis Senja" ditancapkan, awan di ufuk barat terbuka. Cahaya jingga yang paling terang menyoroti makam itu dan memantul ke dinding-dinding Rumah Senja. Seolah-olah alam sedang memberikan tepuk tangan berdiri bagi sang arsitek.
Malam harinya, warga tidak langsung pulang. Mereka menyalakan lilin di sepanjang dermaga bambu. Rumah Senja kini resmi memiliki "penjaga" yang abadi. Aris mungkin telah tiada, namun setiap sudut bangunan ini adalah nafasnya. Di bawah langit malam tahun 2025 yang mulai berbintang, Rumah Senja berdiri tegak sebagai bukti bahwa sebuah mimpi, jika dibangun dengan kejujuran, akan terus hidup melampaui usia sang pemimpi.