Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.
Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.
Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aroma Busuk Dari Nyalindung
"Kurap ini... bukan cuma penyakit. Ini warisan kutukan."
Sasmita menutup jurnal tuanya dengan satu helaan napas panjang. Halaman terakhir yang ia baca masih menyisakan bekas debu jimat yang remuk. Di antara lusinan entri siluman dan kutukan kuno, satu nama terpaku dalam pikirannya: Babiang Kurap.
Perutnya mual sejak melihat berita itu di TV. Warga desa satu per satu tubuhnya melepuh, kulitnya seperti membusuk dalam keadaan hidup. Beberapa menggaruk diri hingga tulangnya terlihat. Tapi tak ada darah. Hanya cairan kehijauan dengan bau amis seperti bangkai terendam.
Dan kini, Sasmita duduk di kursi dekat jendela bus malam ekonomi jurusan Garut–Tasikmalaya. Tujuannya: Desa Nyalindung, desa yang disebut-sebut dalam laporan TV tadi. Tak banyak yang tahu, tapi Sasmita pernah mendengar nama itu dari ayahnya dulu. Sebuah desa di perbatasan hutan, tempat katanya pernah terjadi "penyucian" makhluk gaib zaman dulu. Tapi ritualnya gagal.
Bus berderit melewati jalanan sempit dan gelap. Lampu jalan jarang, dan lebih sering hanya ditemani cahaya pucat bulan yang tertutup awan.
Penumpang lain mulai memperhatikan dirinya. Seorang ibu beranak dua mencubit lengan anaknya agar jangan melirik. Seorang pria muda tampak berbisik pada temannya, menunjuk keris yang tersembunyi setengah di balik jaket merah Sasmita.
Tapi Sasmita tetap tenang. Seolah tak ada yang aneh. Matanya hanya tertuju ke luar jendela. Tangannya meraba batang rokok di kantong, tapi urung. Dia butuh pikirannya tetap jernih malam ini.
Mobil bus tua itu memekik saat menuruni lereng. Remnya sedikit berderit. Bau oli dan parfum murah menyeruak dalam kabin, bercampur dengan aroma tubuh para penumpang yang sudah sejak sore duduk tanpa bergerak.
Dari speaker tua di atas kepala, suara radio lokal menggumamkan berita samar—potongan-potongan laporan cuaca dan... sesuatu tentang warga yang histeris di desa terisolasi.
> "...masyarakat mengaku mencium bau bangkai bahkan sebelum gejala muncul. Beberapa hewan ternak ditemukan mati dalam kondisi kulit terkelupas dan mata menghitam. Seorang dukun desa diduga meninggal karena ‘tersedak kutukan’..."
Sasmita menajamkan pendengaran. Matanya memicing.
“Tersedak kutukan...”
Pernah ada catatan seperti itu di jurnal. Korban pertama dari kutukan Babiang Kurap biasanya bukan penduduk, tapi penjaga spiritual desa. Orang yang dianggap bisa menolak aura negatif jadi target awal. Di zaman dulu, siluman ini muncul bukan untuk membunuh—tapi menguasai tubuh inangnya secara perlahan.
Bus akhirnya berhenti. Supirnya menoleh ke belakang dan berteriak pelan, "Nyalindung, terakhir. Habis ini putar balik ke Ciawi."
Sasmita bangkit. Sepatu boot tempurnya menjejak lantai bus, mengeluarkan bunyi berat. Penumpang lain sedikit menyingkir, seperti memberi jalan pada seorang tabib kematian. Dia menuruni tangga bus, menghirup udara malam yang dingin dan lembab. Ada kabut tipis, dan bau... aneh. Seperti kapur barus, darah, dan sesuatu yang dibakar setengah matang.
Gerbang desa terlihat seperti mulut neraka yang sedang menganga. Dua pohon kelapa tumbuh bengkok di kedua sisi, seperti tubuh yang membungkuk karena tua atau... ketakutan.
Sasmita berdiri di sana sebentar. Memandangi papan nama desa yang sudah usang.
"Nyalindung – Teguh Dalam Tradisi."
Tapi tidak malam ini. Tradisi di sini sudah lama dilanggar.
Langkahnya pelan tapi pasti. Jalanan tanah basah menyambut dengan suara "plek-plek" dari telapak boot-nya. Tak ada suara burung malam. Tak ada jangkrik. Bahkan angin pun seperti menahan napas.
Rumah-rumah panggung di sisi kiri dan kanan jalan gelap. Hanya ada satu cahaya, dari rumah yang tampaknya masih dihuni. Tapi jendela-jendelanya ditutup rapat. Seperti takut melihat sesuatu di luar.
Tiba-tiba... terdengar suara "krek" dari semak.
Sasmita berhenti. Matanya tajam menembus kabut.
Sesuatu berjalan dengan langkah terseret.
Krek... krek...
Seorang pria tua muncul. Bajunya compang-camping. Mukanya penuh bekas luka garukan. Kulit pipinya mengelembung seperti balon dan menghitam di ujungnya. Tapi matanya—ya Allah—putih. Tanpa bola mata.
Dia tersenyum, seolah mengenali Sasmita.
> “Kamu... cucu Wibisana... ya?”
Sasmita langsung refleks mengangkat tangannya. Jemari menyentuh jimat lingkaran di pinggang.
> “Kau siapa?” suaranya datar, tapi tegas.
> “Kami semua menunggu... Wibisana... datang lagi...” gumam si pria, lalu jatuh tersungkur.
Darah tak keluar dari mulutnya, hanya cairan hijau busuk. Sasmita mundur selangkah. Tiba-tiba tubuh si pria meletus dari dalam—kulitnya pecah seperti kelapa kering, dan keluar sejenis belatung kecil yang menggeliat.
Sasmita mengangkat kerisnya.
"Kutukan ini udah terlalu lama tidur." gumamnya.
Ia menoleh ke arah dalam desa. Satu demi satu cahaya dari rumah-rumah mulai padam. Seolah tahu, si pemburu sudah datang.
Tapi sesuatu juga sedang bangkit. Sesuatu yang berbau kurap. Berkulit lumpur. Dan menyimpan dendam terhadap darah keluarga Wibisana.
Bersambung....