Rengganis Larang

Rengganis Larang

Bunyi Dari Lantai Atas

Jam dinding antik di ruang keluarga berdentang pelan. Satu... dua... hingga sebelas kali. Suara detikannya menyerupai bisikan samar yang semakin menusuk di tengah malam yang sunyi.

Rumah itu berdiri megah di kawasan elite Lembang, dikelilingi pagar tinggi dan taman tropis yang terlalu rapi untuk terlihat alami. Dari luar, rumah itu seperti istana kecil. Tapi malam ini, ada yang tidak beres di dalamnya.

Di dapur, lampu temaram menggantung di atas meja marmer. Ibu rumah tangga bernama Maya berdiri mengenakan piyama sutra, tangannya sibuk memotong buah pir untuk camilan. Sesekali ia melirik ke arah pintu, gelisah, tapi mencoba tak memperlihatkannya.

Sementara itu, sang suami, Aditya, tengah duduk di sofa ruang keluarga, bersandar dengan mata terpaku ke layar laptopnya. Earphone terpasang di telinganya, memutar lagu-lagu jazz yang hanya dia sendiri yang tahu siapa penyanyinya.

“Yah, kamu denger nggak?” Maya bersuara pelan, tapi cukup tegas.

Aditya tak menjawab.

“Yah?” ulangnya, sedikit lebih keras.

Masih hening.

Maya menghela napas, meletakkan pisau dan berjalan mendekat. Ia mencabut salah satu earphone suaminya dengan gerakan cepat.

“Heh! Lagi kerja ini,” gerutu Aditya.

“Ada yang bunyi dari lantai atas,” bisik Maya, matanya melirik ke tangga yang menjulang gelap. “Kayak... suara seretan atau apa gitu.”

Aditya mendengus. “Mungkin kucing.”

“Kita nggak punya kucing.”

Diam. Mereka saling pandang beberapa detik. Suara detikan jam menjadi lebih keras dari seharusnya.

Dari lantai atas, terdengar suara lagi.

Sreettt...

Sesuatu seperti kursi diseret. Perlahan. Sangat pelan. Tapi cukup jelas.

Aditya berdiri, malas-malasan. “Mungkin anak kita,” katanya.

Maya langsung menggeleng. “Dia di kamar ngerjain PR. Jam segini masa masih main kursi?”

Aditya mengangkat alis. “Ya udah. Aku naik cek.”

Sambil mengambil senter kecil dari meja, Aditya menapaki tangga. Setiap langkahnya menimbulkan bunyi kayu berderit, seperti memperjelas bahwa malam ini tidak seharusnya ada yang bergerak di dalam rumah.

Lampu lorong lantai atas mati. “Kenapa lampunya nggak nyala?” gumamnya.

Ia menyinari lorong dengan senter. Ujung cahaya menabrak dinding putih, lalu berhenti pada sebuah lukisan tua—wajah perempuan dengan ekspresi datar, matanya seperti mengikuti dari manapun arah datangnya orang.

“Kita harus ganti lukisan ini...” gerutunya sambil melanjutkan langkah.

Pintu kamar anak mereka, Kenan, sedikit terbuka. Cahaya dari dalam menembus ke lorong.

Aditya mengetuk dua kali. “Ken?”

Dari dalam, suara bocah menjawab, “Iya, Ayah.”

Aditya mendorong pintu. Kenan duduk di meja belajarnya, menulis sesuatu dengan wajah serius. Di belakangnya, jendela terbuka. Tirai putih melambai pelan.

“Ken, denger suara dari lorong atas nggak?” tanya Aditya.

Kenan mengangguk tanpa menoleh. “Iya. Ada yang jalan tadi, Ayah.”

Aditya diam. “Yang jalan kamu, bukan?”

Kenan menoleh. Matanya serius. “Bukan. Aku kira Ayah atau Ibu.”

Aditya menelan ludah.

“Jendela kamu kenapa dibuka?” tanyanya lagi.

“Aku nggak buka, Ayah.”

Detik itu juga, angin bertiup dari luar. Tirai tersibak, dan untuk sepersekian detik, ada bayangan hitam berdiri di ujung luar jendela—bentuknya tinggi dan kurus, wajahnya kabur seperti ditutupi kabut.

Aditya berbalik, hendak memanggil Maya.

Tapi suara itu datang lagi.

Sreettt... sreettt...

Dari ruang tamu di bawah.

Bukan. Bukan suara kursi. Kali ini lebih berat. Seperti sesuatu yang diseret, tapi bukan perabot.

Tubuh manusia?

Aditya segera memeluk Kenan. “Tetap di sini. Kunci pintunya.”

“Ayah?”

“Apapun yang kamu denger, jangan buka pintu sampai Ayah bilang, paham?”

Kenan mengangguk, meskipun wajahnya mulai pucat.

Aditya menuruni tangga dengan lebih cepat. Napasnya memburu. Maya menunggu di bawah, tubuhnya kaku, tatapannya tak lepas dari ruang tamu.

“Yah... ada yang berdiri di sana.”

Aditya menoleh.

Dan memang ada.

Seseorang—atau sesuatu—berdiri di ujung ruang tamu, punggungnya menghadap mereka. Tubuhnya tinggi, rambut panjang menjuntai hingga ke lantai. Kakinya telanjang, berdarah. Gaun putihnya robek di banyak bagian, dan dari tempat berdirinya, darah menggenang membentuk pola seperti simbol kuno di lantai marmer.

Aditya mundur setapak. “Siapa itu?!”

Makhluk itu tidak menjawab. Tapi lehernya perlahan berputar. Bukan tubuhnya—lehernya saja. Membentuk sudut aneh, nyaris patah, hingga wajahnya menghadap ke belakang.

Wajah itu...

Bukan manusia.

Kulitnya pucat kehijauan. Matanya kosong, menghitam penuh. Dan senyumnya—lebar, terlalu lebar, hingga menampakkan barisan gigi seperti serpihan kaca.

Makhluk itu melangkah.

Dan setiap langkahnya menimbulkan jejak darah.

Maya menjerit. Tapi jeritannya langsung tertahan ketika lampu rumah padam seketika.

Gelap.

Benar-benar gelap.

“Pegang tangan aku,” kata Aditya cepat, “kita lari ke mobil!”

Mereka berlari. Tapi langkah Maya terhenti saat mendengar suara lain dari belakang.

“...Ibu...”

Suara itu kecil.

Suara Kenan.

Tapi... bukan dari atas.

Suara itu dari... ruang tamu.

Maya menoleh. “Kenan?!”

Aditya menariknya, “Itu bukan Kenan! Itu—”

Terlambat.

Maya sudah lepas dari genggaman dan mendekati sumber suara.

Cahaya kilat menyambar dari luar rumah, dan dalam sepersekian detik, tampak tubuh bocah berdiri di tengah ruang tamu. Tubuhnya penuh luka. Matanya kosong.

Tapi wajahnya... itu wajah Kenan.

“Kenan?” Maya gemetar.

“Kenan kamu masih di kamar,” teriak Aditya. “Itu bukan dia!”

Tapi Maya sudah terlalu dekat. “Sayang, kamu kenapa?”

Bocah itu mengangkat kepala. Senyumnya mulai tumbuh.

Lalu tubuhnya melompat dengan kecepatan tak wajar, menerkam Maya.

Aditya menjerit, menarik senter, dan menyinari makhluk itu—seketika tubuh bocah itu menguap seperti kabut, lenyap di udara.

Maya terduduk, terengah, matanya basah.

“Kenapa... itu tadi...?”

“Aku nggak tahu,” jawab Aditya, mencoba tegar, “tapi kita harus keluar sekarang.”

Belum sempat mereka melangkah, lonceng tua di sudut rumah berdentang sendiri. Pelan. Tapi terus-menerus. Tanpa henti.

Dari belakang lorong, suara langkah kaki terdengar lagi. Kali ini... lebih banyak. Bukan satu.

Empat... lima... tujuh...

Dan suara tawa kecil. Tawa anak-anak.

“Rasanya kayak... pesta ulang tahun yang sangat salah,” kata Maya lirih, mulai gemetar lagi.

Aditya menggertakkan gigi. “Kita butuh bantuan. Kita—”

BRAAAAK!

Pintu depan terbuka lebar, dan angin dingin menerpa masuk, membawa serta aroma anyir seperti daging busuk dan tanah basah.

Dan di ambang pintu, berdiri seseorang.

Perempuan.

Rambut panjang, wajah dingin.

Dia mengenakan mantel merah gelap yang berkibar seperti jubah.

Di tangannya—senapan berat dengan ukiran menyala merah membentuk tulisan aksara kuno. Di pinggangnya, sebilah keris melengkung, sarungnya dihiasi batik tua.

Dia menatap ke arah lorong gelap.

“Siapa pun kalian,” suaranya serak, malas, tapi tajam seperti bilah baja. “Pesta kalian resmi dibubarkan.”

Dia mengangkat senapan.

“Dan tolong, jangan bikin aku ngulang kalimat keren itu dua kali.”

Lalu—dor.

Satu tembakan meledak, dan makhluk pertama yang muncul tadi meledak jadi abu hitam.

Aditya dan Maya saling pandang.

Siapa... perempuan ini?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!