Ana terpaksa menikah dengan seorang pria lumpuh atas desakan ibu dan kakaknya demi mahar uang yang tak seberapa. Pria itu bernama Dave, ia juga terpaksa menikahi Ana sebab ibu tiri dan adiknya tidak sanggup lagi merawat dan mengurus Dave yang tidak bisa berjalan.
Meskipun terpaksa menjalani pernikahan, tapi Ana tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dengan ikhlas dan sabar. Namun, apa yang didapat Ana setelah Dave sembuh? Pria itu justru mengabaikannya sebagai seorang istri hanya untuk mengejar kembali mantan kekasihnya yang sudah tega membatalkan pernikahan dengannya. Bagaimana hubungan pernikahan Ana dan Dave selanjutnya? Apakah Dave akan menyesal dan mencintai Ana? atau, Ana akan meninggalkan Dave?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu
Ketika malam tiba, Ana yang sudah menyiapkan makan malam di atas meja makan, bahkan Dave sudah duduk di sana bersiap untuk menikmati makan malam. Namun, Suasana di meja makan langsung berubah tegang ketika ponsel Dave bergetar.
Ana yang duduk di seberangnya menoleh sekilas. Nama Bella tertera jelas di layar ponsel. Entah kenapa perempuan itu menelpon Dave padahal mereka sudah lama tidak saling berkomunikasi.
Dave tidak ragu untuk mengangkatnya. "Ya, Bell? Ada apa?"
Ana tidak berniat mendengarkan, tapi suara Dave yang terdengar lembut dan hangat saat berbicara dengan Bella tidak bisa ia abaikan.
"Baiklah, aku akan ke sana malam ini," ucap Dave sebelum menutup teleponnya.
Ana langsung merasa tidak enak.
"Kamu mau pergi?" tanyanya.
Dave bangkit dari kursinya tanpa menyentuh makanan yang sudah Ana siapkan. "Ya."
Ana ikut berdiri, mencoba menahannya. "Tapi kamu belum makan. Aku sudah masak untukmu, Dave."
Dave menatap Ana sekilas, tatapannya dingin.
"Aku tidak lapar," jawabnya singkat.
Ana mengepalkan tangannya. "Setidaknya hargai usaha orang lain, Dave. Aku sudah memasak makanan ini untukmu."
Dave menghela napas, jelas tidak ingin berdebat. "Ana, aku tidak pernah memintamu memasak untukku."
Kata-kata itu menusuk tajam.
Ana tertawa kecil, tapi tawanya penuh kepedihan. "Kamu benar. Aku memang bodoh, ya? Selalu berusaha melakukan sesuatu untuk seseorang yang bahkan tidak peduli."
Dave tidak membantah. Sikapnya tetap dingin.
"Aku tidak ingin bertengkar, Ana. Aku hanya ingin pergi sekarang!" tegas Dave yang merasa kesal.
Ana menatapnya penuh kekecewaan. Untuk pertama kalinya, ia merasa lelah berusaha.
"Pergilah, Dave," ucapnya dengan suara pelan tapi tegas. "Ke perempuan yang benar-benar ingin kamu temui."
Dave terdiam sejenak, tapi kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, ia mengambil jaketnya di kamar dan pergi.
Ana hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh, membawa serta harapan yang perlahan mulai ia kubur.
___
Malam itu Dave pergi bersama Pak Wen, walaupun ia sudah bisa berjalan, tapi Dave masih ragu mengemudi mobil seorang diri. Dave pergi ke kafe tempat di mana Bella berada sekarang. Setelah beberapa saat, akhirnya Dave sampai di tempat tujuan. Kafe yang cukup sepi, Bella duduk di sudut ruangan dengan tatapan kosong.
Tangannya menggenggam gelas kopi yang sejak tadi tidak ia sentuh. Pikirannya kalut.
Begitu pintu kafe terbuka dan Dave melangkah masuk, Bella langsung melihatnya.
Tanpa menunggu, ia segera berdiri dan berlari ke arahnya.
"Dave...!"
Suaranya bergetar. Mata yang sembab menandakan ia sudah menangis sejak lama.
Begitu Dave cukup dekat, Bella langsung memeluknya erat, tubuhnya bergetar dalam isak tangis.
Dave sempat kaget. Tangannya terangkat, ragu-ragu untuk membalas pelukan itu.
"Lucki sudah membohongiku, Dave...!" isaknya, suaranya pecah. "Dia sudah punya istri! Punya anak! Aku ini cuma selingkuhannya selama ini!"
Dave akhirnya mengangkat tangannya, menepuk pelan punggung Bella, mencoba menenangkannya.
"Sshh... Bella, tenang dulu."
Tapi Bella semakin terisak. "Aku bodoh! Aku meninggalkanmu untuk pria brengsek seperti dia! Aku menyesal, Dave..."
Dave terdiam. Hatinya terasa aneh.
Di satu sisi, ada rasa kasihan melihat Bella menangis seperti ini.
Tapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa dulu, Bella meninggalkannya tanpa ragu.
Setelah beberapa saat, Dave perlahan menjauhkan Bella darinya, menatap wajahnya yang basah air mata.
"Sudah cukup, Bell. Menangis tidak akan mengubah apa pun," ucapnya lembut.
Bella mengangguk kecil, berusaha mengatur napasnya.
Ia menggenggam tangan Dave. "Dave... Kamu masih mencintaiku, kan? Kamu pasti masih mencintaiku!"
Pertanyaan itu menusuk langsung ke hati Dave.
Tapi ia tidak langsung menjawab. Karena bahkan ia sendiri pun tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan.
Dave menarik napas dalam.
Tangannya perlahan melepaskan genggaman Bella dari tangannya. Tatapannya tenang, tapi dingin.
"Bella..." Suaranya terdengar lebih berat sekarang. "Dulu, aku mencintaimu dengan seluruh hatiku. Aku ingin menikah denganmu, menjalani hidup bersamamu. Tapi kamu meninggalkanku begitu saja untuk pria lain. Sekarang setelah dia menyakitimu, kamu datang kembali dan berharap aku masih mencintaimu?"
Bella terdiam. Air matanya masih mengalir, tetapi kini wajahnya memucat.
"Aku..." bibirnya bergetar, tapi tidak ada kata yang keluar.
Dave menatapnya dalam. "Aku bukan tempat pelarian, Bella. Aku bukan pilihan kedua. Aku pantas mendapatkan lebih dari itu. Saat aku jatuh, kau justru meninggalkan aku bahkan menghinaku. Apa kau lupa?"
Bella menggeleng cepat. "Tidak! Aku sungguh mencintaimu, Dave! Aku hanya... Aku hanya tersesat!"
Dave tersenyum tipis, tapi senyum itu bukan kebahagiaan.
"Dan aku sudah menemukan jalanku sendiri," ucapnya datar.
Bella menggeleng lagi, lebih kuat. "Tidak! Kamu tidak bisa meninggalkanku seperti ini, Dave! Aku menyesal! Aku benar-benar menyesal!"
Dave menatapnya lama, lalu menghela napas. "Bella... Aku sudah terlalu lelah untuk kembali ke masa lalu. Lebih baik kamu pulang dan pikirkan baik-baik apa yang kamu inginkan."
Lalu, tanpa berkata apa pun lagi, Dave bangkit dari kursinya dan pergi, meninggalkan Bella yang masih terisak di tempatnya. Dave meminta pak Wen untuk mengantarkannya ke rumah Andre, rencananya malam ini Dave akan menginap di rumah Andre.
"Pak, katakan pada Ana kalau aku tidak akan pulang malam ini," ucap Dave yang berpesan pada Pak Wen.
"Baik Tuan," jawabnya paham.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang menuju rumah Andre yang tak begitu memakan waktu. Kurang lebih sepuluh menit, akhirnya Dave sampai di depan rumah Andre, sedangkan Pak Wen langsung pulang.
____
Sesampainya di rumah, Pak wen menemukan
Ana duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong ke arah televisi yang tidak benar-benar ia tonton. Makanan di meja makan sudah dingin, tak tersentuh.
Pak Wen, pelayan setia di rumah itu, datang menghampirinya. "Ana, apa kau tidak mau makan?"
Ana tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. "Aku sudah kehilangan selera, Pak Wen. Lagipula, sepertinya ada yang lebih penting untuk Dave selain makan malam di rumah."
Pak Wen tidak berkomentar lebih jauh. Ia hanya menghela napas, memahami betapa rapuhnya perempuan di hadapannya ini meskipun Ana selalu berusaha terlihat tegar.
"Di mana Dave, bukankah dia pergi bersama Pak Wen?" tanya Ana yang tak menemukan Dave pulang.
"Tuan Dave tidak pulang malam ini. Dia menginap di rumah Tuan Andre," ucap Pak Wen memberitahu.
Ana membuang napas pelan, entah tidur di rumah Andre atau sedang menghabiskan waktu bersama Bella, Ana sendiri tidak tahu. Pak wen pun berlalu pergi ke kamarnya yang ada di belakang.
Malam itu, Ana tidur lebih awal. Bukan karena mengantuk, tapi karena lelah—lelah berharap sesuatu yang mungkin tidak akan pernah ia dapatkan dari seorang Dave.